Apa yang menjadikan kita Indonesia?

Beragam teori telah dikemukakan. Mulai dari fakta sejarah bahwa kita berada di wilayah bekas Hindia-Belanda atau yang lebih jauh lagi bahwa kita sama-sama dipersatukan oleh Gadjah Mada lewat Sumpah Palapa. Atau, barangkali yang terasa lebih modern dan penuh kesadaran adalah sumpah perwakilan pemuda dari beragam suku bangsa yang bersumpah menjadi satu kesatuan tanah air dan bangsa.

Tapi, sekali lagi, apa yang membuat Gadjah Mada bersumpah menaklukkan Nusantara, dan apa yang menggerakkan pemuda-pemudi dari berbagai suku bersumpah menjadi satu bangsa: Indonesia? 

Sesungguhnya tak ada satu pun dasar yang mengikat dan mewajibkan kita bersatu dalam satu bangsa dan tanah air. Baik Sumpah Palapa pada abad ke-14 atau Sumpah Pemuda pada 1928 yang kemudian mengantarkan bangsa ini pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, semuanya dibentuk semata oleh kesadaran dan pikiran kita. Oleh bayangan yang ditanamkan atau sengaja kita ciptakan, oleh sebuah imajinasi yang dibentuk oleh cerita, dongeng, mitos, dan fiksi yang diteruskan dari masa ke masa, yang dirawat oleh generasi ke generasi.

Cerita macam apakah itu? Cerita tentang kebesaran sebuah bangsa, dongeng tentang kekayaan Tanah Air yang terbentang di kepulauan Nusantara, narasi tentang beragam manusia dari berbagai suku bangsa dan agama yang sama-sama bergerak untuk menjadi sebuah bangsa, imajinasi tentang masa depan dan cita-cita bersama yang hanya bisa diwujudkan jika kita teguh bersama sebagai sebuah bangsa. 

Adakah yang salah dengan cerita-cerita dan imajinasi itu? Tidak. 

Memang seperti itulah kenyataan terbentuknya masyarakat dan bangsa. Dan, memang hanya dengan seperti itulah kawanan manusia-manusia bisa digerakkan, bisa dengan sukarela melakukan sesuatu, bisa dengan sadar menjadikan dirinya bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan merasa ada hal lain yang lebih besar dari dirinya dan kepentingannya.

Apa yang membuat anak manusia bisa memiliki identitas agama? Tentu saja narasi tentang Tuhan, kehidupan setelah mati, kisah-kisah kenabian, dan cerita-cerita tentang perintah dan larangan Tuhan. Hal yang sama juga berlaku untuk identitas kesukuan. Sekadar persamaan warna kulit atau bentuk rambut tak cukup untuk membuat seseorang merasa menjadi bagian sebuah suku. Manusia butuh cerita tentang silsilah, tentang leluhur, tentang asal-usul dirinya. 

Bahkan ketika sekarang kita memulai pembicaraan tentang Indonesia dengan cerita Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda, kedua sumpah itu pun bagian dari narasi utama dongeng keindonesiaan yang terus kita pelihara dan menjadi alasan untuk terus bersama. 

Berawal dari sebuah dongeng yang kemudian menjelma menjadi imajinasi bersama lebih dari dua ratus juta manusia, bangsa ini bisa tetap berdiri hingga tujuh puluh tiga tahun lamanya. Merawat dongeng keindonesiaan adalah satu-satunya cara bagi bangsa ini untuk tetap bersatu dan bergerak bersama sebagai Indonesia.

Pada usia yang ke-73 tahun ini, banyak hal telah dicapai oleh bangsa ini melebihi imajinasi yang dimiliki Gadjah Mada, pemuda-pemudi yang bersumpah tahun 1928, atau proklamator Soekarno-Hatta. Terutama jika kita melihat bagaimana bangsa ini telah dan sedang berproses menjadi negara demokrasi yang memberi sepenuhnya kedaulatan pada rakyatnya untuk memilih pemimpinnya, untuk menentukan arah kebijakan negaranya melalui wakil-wakil yang dipilihnya.

Pilihan untuk menjadi negara demokrasi pun muncul atas dasar imajinasi akan suatu bangsa yang menghargai persamaan hak tiap warga negara, yang menghormati kebebasan untuk memilih, berpendapat, berkeyakinan, yang percaya akan perlunya pembatasan kekuasaan dan pengawasan pada setiap pejabat negara. Pun sesungguhnya imajinasi-imajinasi inilah yang menjadi dasar terbentuknya bangsa Indonesia dan dituangkan dalam dasar negara UUD 1945.
 

Tentu, sebagaimana umumnya perjalanan mewujudkan sesuatu, upaya bangsa ini dalam mewujudkan demokrasi penuh dengan luka dan koyakan di sana-sini. Perjalanan yang sama sekali tak mulus dan tak sempurna yang seringkali membuat kita nyaris putus asa. 

Setelah cerita kepahlawanan dan sumpah persatuan di masa lalu, perjalanan bangsa ini dalam berdemokrasi akan menjadi cerita besar yang akan kita teruskan dari generasi ke generasi. Kita yang akan menentukan apakah kita hendak bersama-sama mewujudkan imajinasi negara demokrasi itu atau menyerah di tengah jalan dan di masa depan bercerita dengan penuh penyesalan. 

Menjadi negara demokrasi bukan melulu persoalan pemilu dan prosedural penyelenggaraan negara. Mustahil kita mewujudkan negara demokrasi tanpa adanya pengakuan atas persamaan hak warga negara, jaminan atas kemerdekaan untuk setiap warga negara, dan keadilan untuk semua. Ini juga terkait dengan imajinasi awal yang membentuk kita menjadi Indonesia. 

Bagaimana bisa kita punya alasan untuk tetap bersama dalam satu bangsa jika hanya karena keyakinan yang berbeda orang-orang diusir dari rumahnya bahkan kehilangan nyawa? Bagaimana kita percaya pada cita-cita bersama jika seorang keturunan Cina masih dianggap setengah Indonesia? Bagaimana bisa kita berjalan bersama menuju imajinasi negara demokrasi Indonesia, jika tiap hari kita masih membaca berita korupsi penyelenggara negara dan keculasan penguasa? 
 

Dalam peringatan Sumpah Pemuda kali ini, menjadi tugas kita bersama untuk terus menjaga agar dongeng keindonesiaan tetap relevan sekaligus merajut imajinasi baru untuk Indonesia di masa depan. ***

Diterbitkan oleh Detik.com 90 Tahun Dongeng Keindonesiaan

 

 

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan