oleh : Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno
Tak ada kriteria apapun untuk menilai kehebatan sebuah novel, yang oleh Bakhtin dan sejumlah pakar dunia dianggap sebagai genre yang sangat terbuka dan bebas. Tapi saya merasa pasti bahwa banyak pengamat dan ahli sastra yang akan setuju bahwa Entrok dapat dianggap sebagai novel klasik yang akan bertahan dalam ruang dan waktu. Semua aspeknya mengesankan, ceritanya kaya, penceritaan mengalir, tema-temanya kuat, dan memang sang pengarang ingin menyampaikan sesuatu dan banyak hal. Sebuah novel indah yang membuat seorang pengamat bingung memilih aspek apa yang akan difokusnya karena fasetnya begitu banyak. Sebagai novel sejarah, Entrok sangat menarik, tema feminisme dan alienasi, juga menarik, begitu pula masalah estetetik, bahasa, budaya dan masih banyak lagi yang lain. Entrok adalah novel yang “scriptoble” menurut istilah Roland Barthes, yang bisa mengilhamkan teks-teks baru di kepala pembacanya, yang makin dibaca makin menampakkan pemandangan yang luas dan beragam.
Dalam hal narasi, Entrok memperlihatkan strategi yang diperhitungkan untuk mengikat pembaca dengan keingintahuan : dengan menyajikan episode terakhir di awal cerita di bawah judul bab yang wingit pula “Setelah Kematian”. Pilihan episode momen pada momen-momen yang tepat membuat irama novel terasa riil dan wajar. Selain itu, penggunaan narator stereoskopis dan konsekuen. Dalam Entrok, kedua penutur “aku” relatif kuat dalam memperlihatkan perbedaan watak dan pandangan hidup melalui bahasa yang berbeda pula. Suara Marni polos, berani, nekad, kadang-kadang apologetik dan defensif, dan seperti umumnya orang desa, sangat ekspresif, kadang kasar. “Apa itu cinta? Prek! Cinta kan omongan kosong orang-orang zaman sekarang setelah nonton TV.” (hal 114) katanya ketika berbicara tentang suaminya yang sering mengkhianatinya dengan seorang kledek. “Aku tidak minta pegat karena tidak mau semua yang sudah kumiliki ini dibagi dua. Kok enak banget. Semuanya ini aku yang kerja keras. Aku yang bertengkar saat orang-orang nagih. Dia dari dulu cuma nunut.” Banyak sisipan kata Jawa yang memperkuat warna lokal. Sebaliknya, suara Rahayu, sang anak yang sudah mengenyam sekolah, lebih halus, kritis, lebih jarang disisipi kata Jawa, kecuali ketika ia menyampaikan peristiwa-peristiwa yang dialami si ibu sebagai arus bawah sadar, memperlihatkan usahanya untuk memahami sang ibu.
Tokoh-tokohnya non-urban tersebut sangat menarik, karena khas; khususnya Marni yang telah disebutkan di atas. marni yang mulai bekerja sebagai kuli pembawa belanjaan ibu-ibu di pasar karena ingin memiliki entrok, kemudian meningkat menjadi bakul keliling, bakul duwit, menyewakan pikup, lalu berkat ketekunan dan tekad, serta prinsip hidupnya menjadi juragan tebu dan orang terkaya di Singget, desanya. Anaknya yang dibesarkan dalam kecukupan berkat keberhasilan finansial si ibu dapat bersekolah di GAMA, menjadi aktivis yang membela penduduk yang tanahnya tergusur akibat pembangunan sebuah waduk.
Ceritanya sederhana : perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini : tema perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama.
Novel ini adalah novel tentang perempuan (tapi perlu dibaca oleh lelaki yang ingin mawas diri), tepatnya perjuangan perempuan melawan kodrat, takdir, budaya, dan dirinya sendiri. Tema perempuan, yang sudah terlihat dari judul dan ilustrasinya, mencakup banyak subtema : hubungan ibu dan anak perempuannya, istri pertama dan madunya, hubungan suami istri, perempuan penggoda, perempuan sebagai pengusaha dan lain lain. Banyak sekali tema perempuan yang dapat digali dari novel ini.
Tema profesi jarang kita temukan dalam novel-novel Indonesia. Profesi khas dalam Entrok adalah bakul duwit yang mempuyai banyak sinonim negatif. Awam lebih suka menggunakan sinonimnya yang berkonotasi negatif : rentenir, lintah darat dengan sederetan perifrase yang tak sedap, seperti “tukang bikin sengsara orang susah”. Yang menarik adalah tema rentenir tersebut dibaca dari kacamata si rentenir sendiri, Marni. Baginya, rentenir bukan pekerjaan yang salah atau dosa, tetapi pekerjaan yang dibutuhkan dan sangat membantu orang lain. Ia mulai ketika seorang tetangga membutuhkan uang karena anaknya sakit dan menawarkan sendiri memberi bunga. Selanjutnya Marni mempromosikan dagangannya dengan “menawarkan pinjaman uang pada semua orang sebagaimana dia menawarkan dagangan” (hal 69). Dalam novel ini, seorang bakul duwit profesional menuntut kualitas tertentu : harus mempunyai ketegaran, telinga tebal, keyakinan, disiplin, seperti pekerjaan lain. “Saya kan potang ke orang susah, mbantu orang yang lagi butuh, mereka nyicil sedikit-sedikit. Satus repes sehari. Nggak bisa ditagih sakpenake dewe.” (hal 79). Bekerja merupakan hal yang sangat dihayati oleh tokoh utama novel ini, Marni.
Tema politik berhubungan dengan perubahan kebijakan pemerintah yang makin lama makin cenderung pada militer, membuat militer makin lama berkuasa dan merajalela, apalagi setelah PKI dihancurkan. Keputusan seorang lurah bahkan dapat dinisbikan oleh seorang komandan militer yang wajarnya tak mempunyai kaitan dengan urusan kependudukan. Rakyat kecil benar-benar ditekan. Marni harus menyetor uang secara teratur untuk “keamanan”, untuk pemilu, untuk kecelakaan pikupnya. karena tak sengaja “kentut” tukang becak disiksa direndam di tengah malam yang dingin dan dibunuh ketika peristiwa itu muncul di koran. Tentu saja pelapor dan wartawannya dihukum langsung oleh instansi masing-masing tanpa diadili. Dan dengan mudah setiap orang dicap PKI dan dijebloskan ke penjara. Pemerintah yang sewenang-wenang menghasilkan pembangkang dan terorisme. Peledakan stupa Borobudur, pembangkangan pada pembangunan waduk disajikan dalam novel ini dari mata rakyat kecil. Setiap bab yang disertai keterangan tahun dalam novel ini merujuk pada suatu peristiwa politik penting yang memang terjadi di Indonesia. Waktu cerita merentang dari 1950 sampai 1999.
Tema agama dan kepercayaan yang kaya dalam novel ini antara lain menampilkan tokoh Marni yang menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, rajin membuat tumpeng panggang yang diletakkan di bawah pohon asam. Animisme Marni mewakili penduduk desa yang melakukan hal sama, termasuk festival “temanten tebu” yang diselenggarakan pabrik gula Purwodadi. di lain pihak, Koh Cayadi dan keluarganya pergi ke kelenteng. Dan Rahayu yang belajar agama Islam tentu saja menentang si ibu yang dianggap murtad. Sumber konflik ibu dan anak antara lain terletak pada masalah tersebut. Namun Rahayu yang kritis juga melihat kemunafikan guru agamanya, Pak Waji. Ia tahu sang guru tak mau membayar utang yang cukup besar pada ibunya tetapi tak malu menjelekkan ibu dan dirinya di depan kelas. Sebuah perbuatan tercela dalam dunia pendidikan dan agama. Sebuah kritik sosial yang tajam. Masih masuk lagi masalah pesugihan : Marni diajak Cayadi ke Gunung Kawi mencari ilham untuk mengembangkan usaha. Dia tidak tahu bahwa kunjungannya yang singkat ke Gunung Kawi di kemudian hari mengakibatkan masalah besar : penduduk Singget mengira dia mencari tumbal, mengorbankan manusia untuk mendapat kekayaan. Orang menjauhi dirinya secara terang-terangan.
Mengingat usia pengarang yang masih muda, darinya bisa diharapkan akan lahir novel-novel yang lebih hebat. Dia bisa menjadi Pramoedya kedua.
* Apsanti Djokosujatno adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia