oleh Okky Madasari
Dalam Pidato Kenegaraan HUT RI ke-78, Presiden Jokowi menggarisbawahi persiapan sumber daya manusia sebagai strategi pertama mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Setelah gaung Revolusi Mental tak lagi terdengar, apakah pidato ini akan juga berakhir jadi basi?
Posisi kunci sumber daya manusia dalam pelaksanaan pembangunan tidak perlu lagi dipertanyakan, dan apa yang disampaikan Presiden Jokowi tentang peningkatan sumber daya manusia (SDM) sebagai langkah pertama dalam mencapai apa yang disebut sebagai visi Indonesia Emas 2045 sudah tepat.
Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, harus diperjelas dulu apa sih visi Indonesia Emas 2045 itu?
Visi ini sebenarnya adalah target-target yang dirumuskan oleh pemerintahan Jokowi yang akan dicapai Indonesia dalam 20 tahun ke depan dengan memanfaatkan bonus demografi atau kondisi di mana penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih besar daripada penduduk tidak produktif (usia 0-14 dan usia di atas 64 tahun). Target-target ini antara lain mencapai pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia menjadi 30.300 dolar AS, atau setara pendapatan penduduk negara-negara maju pada tahun 2045, dari yang sekarang yang hanya 4.350 dolar AS. Target lainnya adalah mencapai tingkat kemiskinan di bawah 1 persen dari sekitar 9.5 persen (26-27 juta orang) sekarang ini serta ketimpangan antara kelompok miskin dan kaya yang semakin berkurang.
Target-target ini sangat ambisius dan bisa dikatakan sangat sulit dicapai dengan melihat bahwa selama sembilan tahun di bawah Jokowi Indonesia hanya jalan di tempat. Memang pendapatan per kapita naik dari sekitar 3.500 dolar AS di akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sekitar 4.350 dolar, atau tumbuh sekitar 37 persen. Tetapi ini adalah peningkatan yang tidak luar biasa dan bisa dikatakan wajar dengan melihat sumber daya alam yang dikuras.
Kemudian yang lebih mustahil lagi adalah target turunnya angka kemiskinan di bawah 1 persen (0,5-0.8 persen) dari kurang lebih 9 persen sekarang ini meskipun pemerintahan Jokowi sendiri selama sembilan tahun terakhir tidak mampu menurunkan kemiskinan secara signifikan, atau hanya menurun sekitar 1 persen saja. Dan bagaimana dengan ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia? Indonesia masih saja termasuk negara dengan kesenjangan tertinggi di dunia.
Jadi apakah Visi Indonesia Emas 2045 ini cuma basa-basi Jokowi saja untuk menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin besar yang punya visi ke depan dan punya warisan besar? Atau, apakah ini juga akan bernasib seperti konsep Revolusi Mental yang diusungnya tetapi sudah terlupakan sebelum dilaksanakan?
Butuh Strategi
Kelemahan revolusi mental adalah ketidakjelasan konsepnya dan strategi apa untuk mencapainya. Visi Indonesia Emas 2045 lebih jelas rancangannya. Pidato Jokowi yang mengatakan bahwa peningkatan SDM sebagai strategi pertama untuk mencapainya perlu dihargai dan didukung.
Inti dari peningkatan SDM adalah pendidikan dan pelatihan. Tetapi pendidikan dan pelatihan macam apa akan mendukung lompatan raksasa mencapai Visi Indonesia Emas 2045 yang sangat ambisius tersebut? Jepang, Korea dan sekarang Tiongkok sudah membuktikan dan dapat menjadi contoh bahwa pendidikan adalah kunci lompatan peradaban.
Pidato Jokowi mengingatkan kita kepada Kaisar Meiji dari Jepang. Ketika Kaisar ini mulai memodernisasi Japan pada 1868, hal yang pertama yang ia lakukan adalah usaha meningkatkan SDM dan pendidikan Jepang. Ia memusatkan anak muda Jepang untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dan mengirim ribuan pelajar Jepang ke berbagai negara Barat. Hasilnya? Hanya perlu kurang lebih 30 tahun Jepang menjadi negara industri dan kekuatan militer Asia, bahkan mengalahkan Rusia dalam perang 1905 yang menjadi penanda pertama kalinya bangsa Asia dapat mengalahkan bangsa Eropa.
Lebih dari 60 tahun yang lalu Soedjatmoko, salah satu pemikir terbesar Indonesia, sudah mengingatkan perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru serta penumbuhan daya cipta atau kreativitas dan kemampuan berpikir kritis dalam usaha-usaha pembangunan dan pendidikan.
Bagaimana kondisi sekarang? Pelajar Indonesia termasuk yang terendah di Asia Tenggara dalam hal kemampuan berpikir, matematika, membaca dan science. Dari waktu ke waktu Indonesia selalu yang terbawah dalam tes Pisa yang mengevaluasi anak sekolah berumur 15 tahun (SMP) dalam mata pelajaran tersebut.
Bahkan survey Bank Dunia 2018 menemukan bahwa saking rendahnya kualitas pendidikan Indonesia, 55 persen lulusan sekolahnya buta huruf fungsional (functional illiterate) yang berarti tidak mampu mengerti teks atau tulisan yang agak panjang dan kompleks.
Jadi, pendidikan macam apa? Mengikuti Kaisar Meiji dan Soedjatmoko, pendidikan yang meleburkan kebebasan berpikir dan kemampuan berpikir kritis dalam setiap mata pelajaran. Mata pelajaran macam apa? Mata pelajaran yang fokus pada ilmu-ilmu dasar seperti matematika, bahasa, science, ilmu-ilmu humaniora dan pengembangan teknologi terbaru.
Semua ini akan percuma jika guru, tulang punggung pendidikan Indonesia, tidak diperhatikan. Kemampuan guru di Indonesia sangat memprihatinkan dan jika mengacu pada kondisi ini mereka tidak mungkin diharapkan dapat menjadi fasilitator alih-alih menjadi inspirasi bagi anak didik. Bagaimana bisa mengajarkan kreativitas dan berpikir kritis jika mereka sendiri tidak mampu berbuat demikian?
Dalam hal guru, Vietnam bisa menjadi contoh. Majalah terpandang the Economist menurunkan laporan memuji mutu pendidikan Vietnam sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Kuncinya? Penggajian yang adil dan memadai (misalnya guru yang mengajar di pelosok justru mendapat gaji tertinggi) serta training yang berkelanjutan untuk guru.
Jika dikelola dengan jujur, bersih dan bertanggungjawab, dana 20 persen APBN untuk pendidikan yang tahun ini berarti sebesar 612 triliun rupiah akan lebih dari cukup untuk memperbaiki pendidikan kita, melakukan training terhadap guru dan menggaji mereka secara layak, dan demikian bisa mendukung tercapainya Visi Emas Indonesia 2045.
Masalahnya adalah jujur, bersih dan bertanggungjawab adalah justru hal yang juga langka di Indonesia. Ha-hal ini – yang seharusnya bisa diperbaiki dengan Revolusi Mental yang sudah terlupakan itu – bahkan bisa lebih langka daripada pendidikan yang baik itu sendiri. ***
Terbit di Jawa Pos