Oleh: Okky Madasari

Siapa yang tidak nelangsa sekaligus geram mendengar seorang remaja bunuh diri karena malu dan  merasa bersalah?

Putri,  perempuan Aceh berusia 16 tahun itu bunuh diri  setelah ditangkap polisi syariah saat sedang menonton pertunjukan musik. Ia ditangkap karena dianggap melanggar peraturan syariah. Putri  juga dituduh sedang menjajakan  diri. Kabar beredar cepat dan disebarluaskan oleh media setempat.  Didera rasa malu dan bersalah,  Putri memilih mengakhiri hidupnya.

Ada dua pertanyaan yang kemudian muncul dari peristiwa ini. Pertama, kenapa Putri memilih bunuh diri. Kedua, kenapa ia  harus ditangkap  oleh polisi syariah.

Sebelum bunuh diri, Putri meninggalkan surat untuk ayahnya. Dalam surat tersebut ia meminta maaf karena  sudah membuat malu ayahnya. Rasa malu yang pasti begitu besar sehingga bisa membuat seorang remaja putus asa dan merasa  tak ada lagi  yang berarti dalam hidupnya.

Rasa malu yang ditanggung Putri merupakan hasil bentukan nilai-nilai dalam masyarakat, baik yang lahir dari  tradisi setempat maupun  dari agama. Sejak lahir,  perempuan menyunggi beban berat di kepalanya.  Beban itu tak boleh dilepas, tak boleh jatuh, apalagi hilang. Nilai seorang perempuan ada dalam beban yang dia sunggi itu.  Sekali  jatuh  atau hilang,  perempuan itu tak  lagi ada artinya. Maka  seumur hidup seorang perempuan harus berjalan hati-hati, melawan  sekuat tenaga jika ada orang  yang hendak merampas beban yang ia bawa. Bahkan beban yang  disunggi itu jauh lebih berarti daripada dirinya sendiri.

Beban itu dinamakan “kehormatan”. Sebuah  konsep yang sebenarnya sangat abstrak, buah dari dari konstruksi sistem sosial yang patriarki. Kehormatan bagi perempuan menempel pada tubuhnya, pada keperawanannya, pada apa yang disebut  sebagai “kesucian”. Konsep kesucian pun lagi-lagi sebuah konstruksi sosial  yang terpaksa harus ditelan dan diterima setiap perempuan. Maka seorang  perempuan yang  tak perawan telah kehilangan kesucian  dan kehormatan. Habislah nilainya sebagai perempuan.  Jatuhlah nilainya di mata laki-laki. Tak akan ada laki-laki yang mau menikahinya. Dan itu artinya ia dan keluarganya  akan menanggung malu seumur hidup. 

Putri  tak mau terpenjara oleh rasa malu  dan  rasa bersalah. Ia tak mau hidup tanpa nilai diri. Ia telah kehilangan kehormatan -- satu-satunya ukuran dalam masyarakatnya untuk menilai seorang perempuan.

Mengikuti rumusan Emile Durkheim tentang tipe-tipe bunuh diri, bunuh diri Putri  ini bisa dikategorikan sebagai bunuh diri altruistic. Bunuh diri yang dilakukan  karena merasa bersalah, merasa gagal, merasa tak lagi  punya harga diri dan kehormatan sebagai manusia. Bunuh diri altruistic terjadi karena seorang individu terikat terlalu kuat dengan masyarakat di sekitarnya. Seperti itulah  gambaran masyarakat di  Indonesia pada umumnya, terutama di Aceh.  Ikatan nilai dan moral, baik secara tradisi dan agama, menempatkan  nilai diri seorang individu tak  lebih penting dari sistem sosial itu sendiri.

Sewenang-wenang

Permasalahan semakin pelik ketika nilai-nilai tradisi dan agama yang bersifat subyektif dan tidak mengikat secara formal diakomodasi dalam sebuah hukum negara. Konsep “kehormatan” yang mengikat perempuan jelas bukan bagian dari  ranah negara.  Tapi berbagai aturan untuk perempuan yang  berpangkal dari konstruksi sosial menjadi hukum  formal dalam wadah Perda Syariat.

Dalam Perda Syariat di Aceh termuat  larangan seorang perempuan berada di luar rumah  pada malam hari bersama laki-laki yang bukan kerabat langsung.  Selain itu juga terdapat aturan bagi perempuan untuk berpakaian sesuai dengan hukum Islam. Atas dasar hukum inilah Putri ditangkap.

Pelembagaan hukum agama sebagai hukum formal dalam sebuah negara yang tidak berdasarkan agama adalah bentuk kesewenang-wenangan dan ketidakdilan. Perda syariat menjadi pembenar untuk tindakan sewenang-wenang. Seseorang ditangkap, dipermalukan, bahkan mendapat hukuman tanpa ada proses pembuktian.  

Putri bukan satu-satunya korban. Kerap polisi syariah menggelar razia untuk menangkap orang-orang yang dianggap  melanggar perda.

Perempuan yang tidak berpakaian sesuai hukum Islam  digiring ke  kantor polisi, dipermalukan seolah mereka adalah pencuri atau  pelaku kriminal.

Desember 2011, puluhan anak muda penggemar musik Punk yang hendak menonton konser ditangkap. Di kantor polisi mereka dipertontonkan pada wartawan. Gambar anak-anak Punk  dilucuti baju dan digunduli beredar luas. Seeorang anak perempuan berurai air mata saat rambut panjangnya digunting paksa.  Sama seperti  Putri, anak-anak muda ini  juga  menanggung malu seolah mereka adalah pelaku kejahatan.

Merazia dan mempertontonkan orang yang dianggap melanggar norma kesusilaan adalah bagian dari peradaban masa lalu.  Tak selamanya nilai-nilai yang berakar dari tradisi dan agama layak dipertahankan. Lebih tak masuk akal lagi ketika nilai-nilai itu menjadi hukum formal yang mengikat warga negara. Perda Syariat di Aceh telah menjadi piranti untuk membenarkan kesewenang-wenangan, kekerasan dan melanggengkan ketidakadilan.    

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan