oleh: Okky Madasari
Alkisah, di sebuah negeri yang pancasialis, ada seorang pemuda mengaku ateis. Pemuda itu membuat halaman di Facebook yang bernama Atheis Minang, merujuk pada identitas kesukuannya. Rupanya banyak yang tak terima dengan keateisan pemuda itu. Sang pemuda digeruduk massa di rumahnya, lalu ditangkap polisi dan dikenai pasal penistaan agama. Pemuda itu akhirnya dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara.
Kisah itu adalah kisah nyata yang terjadi di Indonesia, tahun 2012 lalu. Pemuda berumur 22 tahun itu bernama Alexander Aan, saat kasus itu terjadi ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Sumatra Barat. Kasus Aan adalah bukti bahwa mengaku sebagai ateis di Indonesia adalah pelanggaran hukum yang bisa didakwa sebagai bentuk penistaan pada agama. Dalam KUHP yang baru disahkan DPR pada Desember 2022, terdapat pasal yang mengatur bahwa seseorang yang mengajak orang lain untuk tidak beragama alias menjadi ateis, bisa dihukum maksimal 2 tahun penjara. Definisi “mengajak” bisa dimaknai dalam beragam bentuk mulai dari menyatakan di depan umum bahwa dirinya adalah ateis hingga mendiskusikan tentang ateisme. Sungguh sebuah ironi di tengah zaman teknologi yang penuh kemajuan pemikiran, sebuah kemunduran besar bagi sejarah panjang pemikiran di negeri ini.
Perbincangan terbuka tentang ateisme sudah hadir dalam masyarakat kita ketika novel berjudul Atheis karya Achdiat K. Mihardja terbit tahun 1949. Novel ini kemudian diadaptasi ke dalam layar lebar tahun 1974 oleh sutradara Sjuman Djaya dan diperankan oleh bintang-bintang papan atas pada masa itu, mulai dari Christine Hakim hingga Kris Biantoro.
Melalui kisah fiksi, Atheis secara spesifik dan langsung menghadirkan pertanyaan tentang Islam, Tuhan dan agama, dibenturkan langsung dengan nihilisme, marxisme, juga psikoanalisis. Pendeknya, dibenturkan dengan pemikiran dan ideologi dari Barat. Achdiat mampu mengolah pertarungan ideologi dan pemikiran itu dalam watak dan perilaku karakter, mewujud dalam dialog dan konflik cerita yang mengesankan bagi pembaca. Atheis adalah pembuktian atas kedalaman pemahaman Achdiat atas isme-isme di jagad pemikiran sekaligus kemahirannya dalam meramu cerita.
Atheis menghadirkan empat tokoh utama yang menjadi representasi dari beragam paham pemikiran. Ada Hasan yang mulanya tumbuh dalam keluarga Islam yang taat, bahkan cenderung mengikuti ajaran tarekat. Perjumpaan dengan Rusli, seorang Marxist yang terlibat dalam organisasi komunis dan tak percaya Tuhan, berhasil meruntuhkan keyakinan Hasan. Lalu ada Anwar, seorang nihilisme, relativisme, anarkis – yang tak percaya pada hakikat kebenaran. Baginya benar atau salah itu relatif! Dan ada Kartini, seorang feminis yang percaya pada kesetaraan dan kemajuan.
Sikap ideologis masing-masing karakter bisa dilihat dalam kutipan-kutipan berikut:
Sebagai anak kecil aku sudah dihinggapi perasaan takut kepada neraka. Itulah, maka aku sangat taat menjalankan perintah ayah dan ibu tentang agama, dan kalau aku lengah sedikit saja, maka segeralah aku diperingatkan kepada hukuman dan siksaan dalam neraka. – Hasan
Mengapa misalnya dunia dan kehidupan ini selalu kacau saja, padahal agama sudah beribu-ribu tahun dipeluk manusia? Mengapa ketidakadilan dan kelaliman malah sekarang makin merajalela saja? Ingatlah kepada imperialisme dan bahaya fasisme yang menyeringai hendak menyergap kemanusiaan. – Rusli
Tuhan itu adalah aku sendiri. – Anwar
Mencuri dari penindas halal. – Anwar
Lagi orang-orang yang malang. Korban kapitalisme! Mereka menjual kehormatannya, karena tak sanggup mencari sesuap nasi. Karena masyarakat terlalu bobrok, tak sanggup memberi pekerjaan yang halal kepada orang-orang yang malang itu! Tjih! Masyarakat bobrok kayak gini. Mana jaminan hidup untuk warganya! – Kartini
Refleksi Zaman
Kelahiran Atheis tidak bisa dilepaskan dari situasi dan gejolak pemikiran generasi pada zaman itu Sebuah karya dan pemikiran bukan semata buah kecerdasan pribadi seorang pengarang, namun lebih merupakan potret atas kesadaran kolektif masyarakat di sekitarnya. Tentu saja masyarakat yang dimaksud di sini masih terbatas pada kelompok elite intelektual, kaum terdidik yang mendapatkan akses pada sekolah, buku, dan terhubung dengan dunia pemikiran Barat.
Achdiat adalah bagian dari sastrawan generasi Gelanggang yang pada periode itu mewarnai produksi pengetahuan Indonesia dengan karya sastra dan diskursus pemikiran yang dihasilkan. Semangat dari generasi yang juga melahirkan penyair Chairil Anwar dan sastrawan Idrus ini – selain terlihat dari karakter karya yang ditulis – juga bisa dilacak dari pernyataan yang mereka tulis yang dinamai sebagai Surat Kepercayaan Gelanggang yang dipublikasikan tahun 1950. Generasi Gelanggang mendeklarasikan diri sebagai ahli waris dari kebudayaan dunia yang alih-alih sibuk memoles dan membanggakan kebudayaan lama Indonesia, memilih untuk menghasilkan kebudayaan baru dengan nilai-nilai baru.
Dengan semangat yang diusung Gelanggang, agama dan keimanan hadir tak semata sebagai sebuah dogma yang tak bisa lagi dipertanyakan, melainkan sebagai ruang diskusi yang bisa dikritik, digugat – bahkan bisa ditinggalkan.
Tentu saja pandangan seperti ini bukanlah pandangan dominan dalam masyarakat kita. Ketika Atheis terbit pun banyak yang menganggap novel tersebut sebagai propaganda ateis. Majalah Aliran Islam bahkan menyerukan agar berhati-hati terhadap buku-buku Balai Pustaka karena Balai Pustaka lah yang menerbitkan Atheis. Hamka, ulama yang juga pengarang, meski memuji Achdiat atas keberanian dan kejujuran melalui karya yang indah dan kuat, tetap mengkritik tajam novel tersebut.
Untungnya, zaman itu belum ada polisi yang siap menangkap orang-orang yang dituduh menyebar ateisme. Bagaimana sekarang? **
Terbit di Omong-Omong Media: Atheis di Negeri Pancasialis