Oleh: Okky Madasari
Bahasa menguasai segenap aspek kehidupan kita. Dari percakapan manusia sehari-hari hingga beragam bentuk komunikasi resmi antar institusi. Bahasa menghasilkan narasi, fiksi, sejarah, kebenaran, hukum, pengetahuan, beragam makna dan intepretasi.
Ketika kita bicara “bahasa” itu bukan hanya bahasa dalam makna “language” seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Buton, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Spanyol dan sebagainya. Bahasa adalah bagaimana kita bertukar pesan. Gerakan tangan adalah bahasa, kibaran bendera adalah bahasa, simbol-simbol manusia purba yang tertulis di gua-gua adalah bahasa. Jika kita bicara generasi hari ini, emoji-emoji, emoticon, adalah bahasa penting dalam komunikasi zaman ini. Hanya dengan emoji :) kita bisa memberi tahu seseorang bahwa kita tersenyum, begitu juga menangis, tertawa, kebingungan, mengantuk, atau marah. Alat komunikasi modern menyediakan beragam pilihan simbol, yang bisa mewakili emosi dan perasaan kita, dan itu semua adalah bahasa.
Bahasa membentuk masyarakat tapi juga sekaligus bergerak dinamis mengikuti dinamika masyarakat. Kekuatan besar bahasa menempatkannya tak lagi hanya sekadar menjadi alat dalam bertukar pesan, tapi juga alat utama kekuasaan dalam menaklukkan dan menguasai. Pidato pemimpin, iklan dan baliho politisi, sejarah resmi versi penguasa, pengetahuan yang masuk kurikulum sekolah, hukum dan undang-undang yang dihasilkan legislator, itu semua adalah bentuk kerja bahasa dalam menguasai kehidupan kita semua.
Bahasa pun kemudian menjadi sebuah komoditas yang harus dijaga, yang harus diatur bagaimana yang baik dan benar, yang harus diseragamkan, yang harus disensor.
Dalam kuasa teknologi informasi, negara bukan satu-satunya kekuatan yang bisa mengontrol cara bekerjanya bahasa. Masyarakat pun kini bisa ikut berperan. Melalui Facebook, Twitter, setiap orang memiliki kontrol dan kuasa untuk memberi makna dan intepretasi, untuk menggunakan bahasa sesuai kepentingan mereka.
Maka kita kenallah ada kecebong dan kampret, ada istilah anak zaman now dan milenial, ada beragam cerita diciptakan dan disebarkan baik yang sesuai kenyataan maupun hanya sekadar isapan jempol. Itu semua adalah kekuatan bahasa.
Lalu bagaimana bahasa digunakan dalam tindak pidana korupsi? Buku karya Sabir Laluhu, Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi (2017), mengungkapkan kekuatan sekaligus keluwesan bahasa yang terekam dalam perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apa yang terlintas dalam pikirkan kita ketika mendengar “apel Malang” dan “apel Washington”? Yang ada dalam pikiran kita – terutama jika kita memang selalu mengkuti berita politik dan hukum - tak lagi hanya buah apel berwarna hijau dan berwarna merah. Apel Malang dan apel Washington akan mengingatkan kita pada korupsi, pada suap, pada Angelina Sondakh.
Apel Malang dan Apel Washington bisa disebut sebagai sandi paling populer dalam kasus korupsi. Bisa jadi karena terkait kepopuleran orang yang terlibat sehingga membuat pemberitaannya meluas. Bisa jadi juga karena pemilihan sandi apel yang unik, cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga membuat banyak orang merasa terkoneksi.
Bandingkan dengan kasus lain dengan tersangka Anggoro yang menggunakan sandi titipan, bungkusan, pesanan, barang, rezeki. Diksi-diksi ini bersifat umum, tak langsung mewujud dalam imaji benda yang spesifiki dalam kehidupan masyarakat, dan lebih dari itu, semuanya terasa lazim untuk menggambarkan sebuah pemberian apapun isinya, termasuk uang.
Hal yang tak bisa diingkari adalah bahwa berbahasa adalah soal rasa. Pilihan seseorang untuk menggunakan diksi tertentu terkait dengan latar belakangnya, kebiasaannya, pengetahuannya. Kenapa Angelina menggunakan apel dan dalam salah satu percakapan juga menggunakan semangka? Besar kemungkinan karena dia adalah penggemar buah-buahan. Apalagi percakapan itu terjadi antara sesama perempuan. Sementara untuk Anggoro, yang mampu ia utarakan hanya sebatas titipan dan bungkusan. Karena ia merasa tak perlu bermanis-manis, yang penting adalah isinya.
Bisa dilihat juga bagaimana seorang insinyur dalam kasus yang melibatkan SKK Migas menggunakan kata ledakan, kedipan, suntikan, dan peluru dalam menggantikan kata uang dan suap. Diksi-diksi itu hanya mungkin digunkan ketika si pelaku akrab menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana latar belakang sesorang membentuk pilihan berbahasa termasuk dalam memilih sandi korupsi terlihat sangat kentara dalam kasus pengadaan Al Quran dengan pelaku Zulkarnaen. Di sini, sandi-sandi korupsi terasa begitu Islami. Ada kata santri, pengajian, murtad, kyai, imam. Permainan kata-katanya begitu rapi, hingga nyaris tak menunjukkan sebuah percakapan di mana si A hendak memberikan suap pada si B. Kata pengajian dipilih untuk menggantikan setiap kata pertemuan yang berujung transaksi atau suap. Bahkan untuk menjelaskan sebuah kesepakat, kalimat yang dipilih adalah: Kita diajarkan kyai untuk taat mahzab ahli sunnah.
Yang luar biasa, dalam situasi korupsi seperti itu, pelaku masih sempat berpesan: “Pokoknya yang mengerjakan jangan Cina, robekannya Quran diinjak-injak.”
Kasus Zulkarnain ini menjadi cermin paradoks dalam masyarakat kita ketika berhadapan dengan kasus korupsi. Penggunaan sandi yang demikian rapi, sesungguhnya bukan sekadar untuk menyamarkan atau menghindari adanya bukti, tapi lebih karena para pelaku tersebut merasa risih, sungkan, malu hati untuk bicara langsung apa adanya. Lagi-lagi kita tak bisa menampik bahwa bahasa adalah soal rasa. Itu sebabnya dalam percakapan sehari-hari pun, kerap kita sengaja untuk tak menggunakan kata-kata tertentu karena merasa itu kasar, kurang sopan, dan sebagainya. Maka kita pun memilih menggunakan kata lain yang sering bersifat kiasan dan bukan makna sebenarnya tapi sudah sama-sama dimengerti dan digunakan.
Paradoks berikutnya adalah betapa korupsi tak dianggap sebagai sebuah perilaku dosa yang bisa menciderai kesalehan seseorang. Bagi Zulkarnain terlihat jelas, ia masih menganggap dirinya adalah seorang muslim yang baik dan akan selalu membela agamanya termasuk dari kemungkinan kitab sucinya diinjak-injak orang.
Serupa dengan apa yang terjadi pada Zulkarnain adalah kasus yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan dan Fathanah. Percakapan mereka pun penuh dengan sandi-sandi Islami dan penggunaan bahasa Arab. Mulai dari ustads, annukud yang artinya fulus atau uang. Sampai-sampai yang menggegerkan masyarakat adalah penggunaan kata fustun untuk menyebut suap dalam bentuk perempuan penghibur.
Seakan-akan ada kepercayaan bahwa ketika bahasa Arab yang digunakan, maka proses korupsi akan lebih Islami, uangnya jadi halal, dan tak ada dosa yang ditimbulkan.
Di sini pilihan sandi, sekali lagi bukan dimaksudkan untuk menghindari bukti dalam pemeriksaan oleh KPK dan aparat hukum. Sebab, siapapun orangnya, pasti ketika berani bertransaksi, ia punya keyakinan aksinya tak akan terendus oleh aparat.
Sumbangan terbesar dari buku karya Sabir Laluhu ini pada akhirnya adalah membongkar hipokrisi, kemunafikan dan kepura-puraan masyarakat kita dalam menggunakan bahasa yang sopan dan religius untuk menyembunyikan kebobrokan dan kejahatan mereka termasuk dalam soal korupsi. Dan pada akhirnya, bahasa pun setara dengan segala yang kasat mata, penampilan, cara bicara dan cara berpakaian. Maka tak heran ketika semua orang berlomba-lomba tampil Islami dan pergi ke tanah suci, tapi korupsi masih terus terjadi. ***