oleh: Okky Madasari

Memancing keributan antara orang Indonesia dan Malaysia itu mudah. Ada banyak perkara yang serupa bara, sewaktu-waktu bisa disulut, ribut, begitu terus berulang kali entah sampai kapan. Dari soal batik, rendang, wayang kulit, nasi goreng, hingga yang baru-baru ini diributkan adalah soal bahasa. Manakah yang lebih layak dijadikan bahasa resmi ASEAN: Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia?

Adalah Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, yang Maret lalu menyampaikan akan mengusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa kedua ASEAN. Ini bukan kali pertama Malaysia mengusulkan hal ini. Tahun 2017, PM Najib Razak juga sudah menyampaikan usulan tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim, tak tinggal diam. Ia menolak usulan Malaysia dan menyatakan Bahasa Indonesia yang lebih layak menjadi bahasa kedua ASEAN karena pertimbangan sejarah, hukum, linguistik – walaupun tak ada penjelasan rinci soal ini.

Lalu, seperti biasa, percakapan dan keributan akan melebar. Tentu saja tanpa berusaha memahami permasalahan dengan melihat kembali fakta sejarah, hukum, budaya, sosiologis, dan linguistik.  

Bahasa Indonesia berakar dari Bahasa Melayu adalah fakta yang tak terbantahkan. Para elite pergerakan kemerdekaan, dengan sadar telah memilih menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan bagi bangsa-bangsa di kepulauan yang saat itu masih menjadi jajahan Belanda. Bukan bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Makassar, Banjar, atau bahasa-bahasa yang berasal dari Maluku dan Papua.

Sutan Takdir Alisjahbana mengungkapkan alasan memilih bahasa Melayu adalah sebagai berikut: “Bahasa perhubungan jang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan jang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakjat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan didjundjung  sebagai bahasa persatuan.”

Sutan Takdir pula yang kemudian merumuskan tata bahasa baru Bahasa Indonesia melalui bukunya yang terbit tahun 1936, Tatabahasa Baru Melayu Indonesia. Buku ini kemudian terbit di Kuala Lumpur pada tahun 1963. Tata bahasa baru ini membuat Bahasa Indonesia berbeda dengan Bahasa Melayu yang digunakan di Sumatra atau di Malaysia. Kebijakan politik pasca kemerdekaan semakin membuat Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam kesadaran kebangsaan dan nasionalisme.

Kekuasaan selalu terobsesi mengatur bahasa. Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial Belanda melalui Balai Pustaka menstandardisasi bahasa Melayu yang kala itu disebut sebagai Melayu Tinggi. Bahasa Melayu yang tak sesuai pakem itu, atau yang disebut bahasa Melayu Pasar, dianggap tak memenuhi kriteria Bahasa Melayu yang baik dan benar. Pembedaan ini berimplikasi pada tidak bisa diterbitkannya buku-buku yang menggunakan Bahasa Melayu di luar standard oleh Balai Pustaka, penerbit resmi pemerintah kala itu. Buku-buku yang terbit di luar Balai Pustaka pun disebut sebagai bacaan liar.

Pasca kemerdekaan, melalui serangkaian kongres dan keputusan pemerintah, kita mengenal ada istilah ejaan lama, ejaan yang disempurnakan, kata baku atau tak baku. Itu semua merupakan cara untuk membuat sebuah standardisasi, untuk membuat definisi tunggal atas apa itu Bahasa Indonesia yang baik dan benar – yang tentu saja tak bisa dilepaskan dari kepentingan penguasa, khususnya kepentingan untuk mengontrol. Misalnya, buku-buku lama yang menggunakan ejaan lama tentu akan sulit mendapat ruang tanpa lebih dulu disempurnakan ejaannya. Dalam proses penyempurnaan ejaan ini banyak bacaan-bacaan yang tersingkir dengan berbagai alasan.

Perkembangan yang biasa disebut sebagai “penyempurnaan” Bahasa Indonesia juga berdampak pada semakin berjaraknya kita dengan Bahasa Melayu. Kita kian tak kenal dengan karya-karya dari negeri jiran, pun sebaliknya. Padahal, di masa lalu, para pemikir bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara ini saling berinteraksi, bertukar pikiran dan saling membaca karya masing-masing bangsa tanpa terhalang sekat nation-state. Tentu faktor politik juga berpengaruh. Salah satunya adalah konfrontasi Indonesia-Malaysia di bawah Orde Lama yang membuat hubungan dua bangsa kian renggang secara politik dan budaya.

Inovasi

Dalam perkara rendang, orang Indonesia kerap meradang atas klaim bahwa rendang berasal dari Malaysia. Apalagi ketika chef atau pengusaha Malaysia bisa membawa rendang ke panggung global dan memperkenalkannya sebagai makanan Malaysia. Salah satu contohnya adalah ketika peserta Masterchef 2018 membawa sajian Malaysia lengkap dengan rendang ke ajang tersebut.

Dalam pemahaman banyak orang Indonesia, rendang adalah makanan khas Minang, Minang berada di Sumatra Barat yang jelas merupakan wilayah Indonesia. Tak banyak yang memahami bahwa orang Minang merantau ke banyak wilayah di dunia, membawa tradisi dan budaya mereka. Di Malaysia, perantau Minang jumlahnya cukup besar, bahkan merupakan populasi mayoritas di negara bagian, Negeri Sembilan.  Sehingga wajar saja rendang menjadi bagian dari budaya dan identitas Malaysia.

Hal yang sama terjadi pada batik. Batik sebagai sebuah teknik pewarnaan kain yang tumbuh di Jawa, dibawa oleh orang Jawa ke tanah rantau, dikembangkan dengan beragam inovasi dalam corak, motif, dan warna. Maka jangan heran, di Singapura pun ada seniman batik skala internasional, peraih penghargaan Cultural Medallion, Sarkasi Said.

Bukan bahwa Malaysia dan Singapura mencuri batik dan rendang dari Indonesia, tapi bahwa warga mereka mampu mengembangkan dan berinovasi dengan batik dan rendang sehingga mendapat perhatian dari dunia internasional. Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? ***

Terbit di Jawa Pos: Bahasa Upin Ipin

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan