oleh: Okky Madasari

Setiap kali terjadi bencana alam, akan selalu ada orang-orang yang percaya itu azab, sebuah peringatan dan hukuman dari Tuhan. Kemudian akan selalu ada kaum rasional nan berpengetahuan yang menolak dan menertawakan. Bagi mereka, bencana alam adalah bentuk aktivitas alam semesta yang semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah dengan dalil-dalil ilmu pengetahuan. 

Pandangan bahwa bencana adalah azab telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, baik dari sudut pandang agama maupun tradisi lokal.

Dalam Islam, kisah yang paling populer adalah banjir besar untuk umat Nabi Nuh dan gempa bumi dahsyat disertai dengan letusan petir, keluarnya gas alam, serta lautan api untuk umat Nabi Luth. Dalam Kristen, selain kisah tentang banjir besar yang menimpa umat Nabi Nuh, juga dikisahkan tentang kekeringan hebat di Israel pada zaman Nabi Elia. Semua bencana itu dipercaya akibat dari kelakuan manusia yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan. 

Dari perspektif kearifan lokal, banyak sekali cerita-cerita tentang gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor yang semuanya diakibatkan oleh tingkah polah manusia. Cerita-cerita yang kita dengar sejak kecil lekat sekali dengan kisah kemarahan alam semesta terhadap manusia. Begitu banyak legenda tentang tempat-tempat di Indonesia yang asal muasalnya adalah kemarahan semesta pada kesalahan manusia. 

Ada kisah desa yang ditenggelamkan hingga berubah jadi danau, ada manusia-manusia yang dikutuk jadi batu, juga ada manusia-manusia yang berubah jadi binatang karena kelakuannya. 

Semua kisah-kisah itu dijejalkan kepada kita sejak kecil, didongengkan dari generasi ke generasi bahkan sejak bayi masih dalam kandungan. Pandangan bahwa bencana alam adalah bentuk hukuman, kemarahan penguasa alam pada manusia telah tertanam dalam ingatan dan benak, jauh sebelum masing-masing kita masuk sekolah, belajar ilmu pengetahuan, membaca buku-buku ilmiah. 

Hampir semua dari kita yang pernah belajar di bangku sekolah tahu bahwa gempa disebabkan oleh pergeseran lapisan bumi, dan gunung meletus disebabkan oleh mekanisme dapur magma. Tapi, apakah pengetahuan itu akan serta merta menghilangkan ruang ingatan dan kesadaran yang telah dibentuk oleh narasi agama dan tradisi yang sudah telanjur tertanam? Rasanya tak semudah itu. 

Itulah yang kemudian menyebabkan di era teknologi ini, setiap kali bencana alam terjadi, akan selalu saja ada twit dan status Facebook yang mengaitkannya dengan azab, mengartikannya sebagai hukuman manusia.

Apakah itu salah? Jelas salah --itu jawaban saya yang dulu. 

Namun, perjalanan kesadaran dan penjelajahan pengetahuan justru kini mengantarkan saya pada jawaban sebaliknya. Mengaitkan bencana alam dengan azab adalah hal yang tidak salah, wajar, dan boleh-boleh saja. Apalagi jika kita memahami bagaimana pandangan itu tidak muncul tiba-tiba, tapi dibentuk oleh narasi pengetahuan yang telah dijejalkan pada kita sejak kecil. 

Sebagai pengarang, saya pun sangat percaya semua dongeng-dongeng yang kita dengarkan di masa kecil tentang hukuman alam semesta pada manusia yang menyalahi aturan sesungguhnya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi cara pandang dan membentuk karakter manusia di masa depan. 

Semua cerita-cerita tentang kemarahan alam semesta itu pada hakikatnya ingin mengajak setiap manusia untuk mawas diri dan memeriksa diri sendiri. Yang menjadi persoalan, kebanyakan manusia lebih memilih untuk menghakimi, saling tuding kanan-kiri.

Persoalan kedua adalah cara pandang kita dalam mengidentifikasi, memaknai, dan menarik kesimpulan atas kesalahan seperti apa yang membuat alam semesta marah hingga terjadi bencana. 

Doktrin sempit ajaran agama membuat kita -kebanyakan umat- hanya berpikir soal dosa-dosa yang sifatnya personal: berzina, LGBT, tidak menjalankan ibadah, berpakaian seksi, pesta, dan mabuk-mabukan. Maka, selalu saja ketika terjadi bencana hal-hal seperti itu yang diingat. 

Sejak kecil kita tak pernah dibiasakan untuk memaknai tindakan baik dan pahala sebagai sesuatu yang sifatnya lebih luas, yang mewujud pada relasi keseharian dalam kehidupan nyata antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta. Kita tak pernah dikenalkan pada "dosa sosial".

Maka ketika terjadi bencana sulit sekali bagi kita untuk mengingat dan melihat persoalan ketidakadilan, penindasan, ketimpangan, korupsi, pengrusakan dan eksploitasi alam yang tak lagi mempertimbangkan suara Ibu Bumi.

Menilik gempa bumi yang baru saja terjadi di Lombok, lebih mudah memanfaatkan azab untuk kepentingan politik dengan mengatakan bahwa itu akibat Tuan Guru Bajang mendukung Jokowi, dibanding mawas diri dan bertanya-tanya: jangan-jangan itu karena pembangunan yang berlebihan? Jangan-jangan itu karena masih ada sesama warga Lombok yang diperlakukan tak adil, yang harus kehilangan rumah dan haknya untuk hidup hanya karena keyakinannya? ***

Diterbitkan oleh Detik.com Bencana, Azab, dan Logika Pengetahuan

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan