oleh: Okky Madasari

Selama ini saya selalu malas berbicara tentang jilbab. Baik dari sisi yang berusaha mengkritik penggunaan jilbab karena dianggap sebagai bagian dari penindasan terhadap kebebasan perempuan. Maupun dari sisi yang berusaha menunjukkan bahwa memakai jilbab merupakan bentuk kemerdekaan perempuan.

Saya tak pernah sepakat dengan segala argumen yang ingin meyakinkan perempuan untuk tak memakai jilbab. Mulai yang menunjukkan berbagai tafsir bahwa memakai jilbab itu tak wajib dalam Islam hingga menunjukkan foto-foto perempuan Indonesia yang memakai baju adat hanya untuk berkata: ini lho baju Indonesia asli, bukan jilbab yang datang dari negeri jauh itu.

Sebaliknya, saya juga sangat muak dengan berbagai kampanye berjilbab yang semakin marak, bahkan intimidatif, belakangan ini. Tak hanya menganjurkan agar perempuan menutup kepala, kampanye-kampanye itu juga terus mengoreksi bagaimana seharusnya berpakaian sesuai cara Islami. Dari soal jilbab yang kurang panjang hingga soal kaus kaki.

Saya selalu menganggap urusan jilbab tak selayaknya terus-menerus dibicarakan dan menguasai ruang diskusi kita. Tapi, apa yang terjadi di Prancis sekarang ini sekali lagi menunjukkan bahwa cara perempuan berpakaian, entah itu berjilbab atau tidak berjilbab, masih belum selesai untuk dibicarakan dan diperjuangkan.

Bagaimana perasaan kita melihat perempuan memakai baju renang –yang menutup rapat tubuh dari rambut hingga mata kaki– diborgol, digiring ke kantor polisi, dikenai sanksi, dan dipaksa membuka bajunya itu di depan banyak orang? Apa yang salah dengan baju renang macam itu?

Itu bahkan model baju renang yang banyak digunakan di Indonesia sekarang ini. Mulai oleh remaja hingga para orang tua. Mulai oleh yang sehari-hari memakai baju muslim dan jilbab hingga yang sengaja memilih baju renang macam itu hanya karena ingin melindungi tubuh dan rambutnya dari air dan terik matahari.

Tentu kita semua sedih, marah, frustrasi, dan sekaligus ingin terbahak-bahak menertawakan kebodohan manusia di negara maju seperti Prancis yang konon menjunjung tinggi semangat kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan manusia. Kita yang tinggal di Indonesia –negara yang jauh tertinggal dari Prancis dalam berbagai hal– tak habis pikir betapa konyolnya orang-orang Prancis hingga harus melarang perempuan mengenakan burkini di pantai.

Sedemikian menakutkankah sebuah pakaian sehingga harus diatur, dilarang, dan diancam dengan hukuman? Tak bisakah perempuan memilih sendiri baju renang macam apa yang akan dipakainya?

Lalu sebagian dari kita yang kebetulan beragama Islam akan mengutuk lebih dalam. Bahwa itu adalah diskriminasi terhadap orang Islam. Bahwa melarang burkini sama saja dengan melarang orang untuk menjalankan apa yang diyakini. Bahwa jilbab dan menutup aurat bukan sekadar pilihan fashion, tapi juga merupakan bagian dari perintah agama. Tidak bisakah kita memilih pakaian sesuai dengan apa yang kita yakini?

Sementara kita mengecam apa yang terjadi di Prancis, di Aceh perempuan-perempuan yang memakai jins ditangkap dan dipermalukan. Larangan memakai bikini dipasang di pantai-pantai. Atas nama syariat, perempuan pun harus selalu wajib berjilbab, menutup aurat.

Bukan hanya di Aceh yang jelas-jelas memberlakukan hukum syariat, di beberapa kota di Jawa, urusan baju perempuan juga diatur dalam peraturan resmi daerah, peraturan kantor, dan peraturan sekolah. Perempuan harus berbusana muslim dan berjilbab di muka umum, saat bekerja di instansi pemerintah, juga saat di sekolah meski jelas-jelas itu sekolah negeri yang diperuntukkan bagi masyarakat umum tanpa memandang agama.

Apa yang salah dengan memakai jins atau seragam kantor dengan rok selutut dan membiarkan rambut terurai? Haruskah anak-anak SD, SMP, dan SMA –yang bahkan berdasar aturan agama pun belum memiliki kewajiban untuk berjilbab– memakai rok panjang dan jilbab saat bersekolah di sekolah negeri? Lalu apa bedanya itu semua dengan larangan memakai burkini saat berenang di pantai-pantai Prancis?

Ketika kita bisa turut merasakan apa yang dialami perempuan-perempuan yang memakai burkini di Prancis, tentu tak sulit juga bagi kita merasakan apa yang dialami perempuan-perempuan yang ingin memakai jins, bikini, dan rok mini di tengah-tengah tatanan yang menghendaki segalanya serba terlihat Islami.

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan