oleh: Okky Madasari

Tahun 2016 adalah tahun kerumunan. Tahun untuk orang-orang yang berkerumun, orang-orang yang lebur di tengah kerumunan, orang-orang yang mendadak jadi beringas dan berani karena berada di tengah kerumunan.

Tahun 2016 adalah tahun di mana kita dibungkam oleh kerumunan, tahun untuk sederet kekalahan ketika kita semua takut menghadapi kerumunan. Tahun kejayaan para kerumunan, tak peduli mana yang salah dan mana yang benar, asal ada yang berkerumun di situlah letak kebenaran.

Kerumunan mengepung saya bulan Mei lalu, ketika saya menggelar festival sastra, ASEAN Literary Festival (ALF), untuk kali ketiga. Seperti orang yang merasa menjadi pemilik satu-satunya negara ini, kerumunan itu meminta ALF membatalkan beberapa mata acara, mulai yang terkait dengan isu LGBT hingga isu ’65. Jika tak dituruti, mereka mengancam akan membatalkan keseluruhan festival itu.

Tentu saja permintaan seperti itu tak akan pernah kami turuti. Siapa mereka? Gerombolan dari mana mereka itu? Kerumunan macam apa yang memiliki hak untuk membubarkan kerumunan-kerumunan lainnya –apalagi kerumunan yang sedang merayakan hasil pikir manusia dalam kesusastraan dan kesenian? Sialnya, negara hanya mau mendengar kerumunan yang suaranya paling keras, yang lagaknya paling galak, dan ancamannya paling kasar.

Saya mengalami sendiri bagaimana akhirnya kepolisian, representasi sah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mencabut izin penyelenggaraan ASEAN Literary Festival satu hari sebelum acara dimulai. Hanya karena ada yang berkeberatan, karena ada sebagian kecil masyarakat yang resah, karena ada kerumunan yang mengancam akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan jika festival tetap diselenggarakan.

Keberpihakan polisi pada kerumunan yang mengandalkan ancaman serta-merta diikuti sikap tak berdaya Taman Ismail Marzuki, salah satu pusat kebudayaan, kesenian, dan intelektualitas terbesar serta tertua di negeri ini. Mereka tidak memberikan izin pada festival untuk menggunakan ruangan yang telah jauh-jauh hari disewa dan dibayar.

Apa yang terjadi pada ASEAN Literary Festival hanya satu contoh saja dari sederet kegiatan kesenian, kesusastraan, dan pemikiran yang diancam serta dipaksa bubar oleh kerumunan orang dan kepolisian sepanjang tahun 2016.

Saya dan ASEAN Literary Festival adalah satu yang beruntung karena bisa mendapat dukungan dari banyak orang, dari kerumunan-kerumunan lain yang juga bersuara keras di media sosial dan di media massa. Dukungan itu membisikkan keberanian dan kekuatan yang membulatkan tekad kami untuk bertahan serta tak tunduk pada segala ancaman.

Di saat yang bersamaan, begitu banyak kegiatan kebudayaan yang berada di luar jangkauan arus utama informasi. Mereka pun tak berdaya untuk melawan, mereka pun memilih menyerah dan mengikuti kemauan kerumunan yang mengancam mereka. Akibatnya bisa kita lihat sendiri, sederet kegiatan yang dibubarkan atau dibatalkan sepanjang tahun 2016, mulai diskusi hingga pemutaran film, pertunjukan seni hingga acara musik.

Tapi, tak jarang juga, ketidakberdayaan itu semata karena ketakutan penyelenggara acara itu sendiri. Karena mereka tak mau repot, karena mereka tak mau cari masalah, karena bagi mereka membatalkan satu atau dua bagian acara bukanlah soal jika dibandingkan dengan kesuksesan seluruh acara.

Keberanian untuk melawan kerumunan dan otoritas memang bukan hal yang bisa dimiliki semua orang. Di negeri ini, kita sudah terbiasa dibuat untuk takut dan tunduk. Sekolah dan sistem pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak terbiasa berpikir kritis. Birokrasi dan aparat hukum justru menciptakan rasa tidak aman bila dibandingkan dengan memberikan jaminan keamanan.

Maka, ketika sensor merupakan dosa besar dalam berpikir dan berkesenian, di negara ini memiliki keberanian adalah hal pertama yang harus dimiliki setiap orang, utamanya mereka yang bekerja untuk merayakan pemikiran, kesusastraan, dan kesenian. Hanya dengan keberanian untuk melawan segala bentuk sensor kita bisa berharap agar tahun 2016 tak menjadi kerumunan terakhir untuk kita.

Selamat datang tahun 2017. Selamat berkerumun dengan akal sehat dan hati nurani.

*Dimuat di Jawa Pos

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan