oleh: Okky Madasari
Ingatan paling awal saya tentang pemilu adalah ketika saya menemani ibu saya dalam sebuah pertemuan RT. Petugas dari kecamatan berbicara di tengah-tengah ruangan sambil memamerkan selembar kertas.
Pria tersebut memberi tahu bagaimana cara membuka, mencoblos, dan melipat. Ada banyak gambar pohon beringin yang ditunjukkan pria itu.
Kata ibu saya, malam itu adalah pengarahan untuk pemilu. Semuanya terekam begitu saja dalam ingatan saya. Tanpa ada kesan apa-apa. Belakangan, setelah mencocokkan penanggalan pemilu dengan ingatan saya, saya tahu pertemuan tersebut dilakukan menjelang Pemilu 1992. Saya masih kelas II SD waktu itu.
Potongan puzzle ingatan saya berikutnya tentang pemilu nyangkut di pohon mangga yang tertanam di halaman sebelah rumah. Waktu itu saya bersama dua teman sedang duduk di cabang-cabang pohon. Lalu satu truk lewat di depan kami. Isinya orang-orang berkaus merah yang mengacungkan kelingking, telunjuk, dan ibu jari.
Kami bertiga hanya diam. Tidak berani ikut bersorak atau mengacungkan tiga jari. Lalu salah seorang teman saya berkata, ”Kita semua Golkar. Yang bukan Golkar harus pindah desa.”
Lalu ingatan saya beralih ke ruang tamu saat saya duduk bersama ayah dan ibu. Entah kapan waktu persisnya dan apa yang kami obrolkan waktu itu. Yang jelas saya ingat adalah cerita ayah tentang teman kantornya yang dipindah ke Irian (kini Papua) karena dekat dengan orang-orang PPP.
Kemudian ingatan saya meloncat ke panggung besar, penyanyi dangdut, dan orang-orang berkaus kuning yang berjoget memenuhi lapangan di halaman rumah saya. Bercampur dengan sedikit ingatan tentang muka Harmoko yang sedang ngomong panjang lebar di TVRI.
Potongan-potongan ingatan itu kembali meloncat-meloncat dalam pikiran saya hari-hari belakangan ini ketika hiruk pikuk politik begitu terasa di sekitar kita. Meski pemilu masih tiga tahun lagi dan pilkada di beberapa daerah baru akan digelar tahun depan.
Ingatan saya tentang politik nyatanya hanyalah serentetan kemuakan, kekecewaan, dan ketakutan. Kini, di usia saya yang dewasa dengan segenap kesadaran yang terbentuk oleh pengetahuan dan pengalaman, rupanya politik masih tetap sama dengan apa yang dilihat mata kanak-kanak saya: kemuakan, kekecewaan, dan ketakutan.
Seorang presiden yang kita percaya akan memutus rantai kekuasaan Orde Baru justru menunjuk seorang pensiunan jenderal dari era itu jadi menteri. Mengabaikan berbagai catatan sejarah, seolah-olah tak ada lagi orang lain yang tersisa di negeri ini.
Kue kekuasaan dibagi-bagi hanya untuk mendapatkan dukungan partai politik demi mengamankan kekuasaannya. Konon, memang seperti itulah realitas politik.
Seorang calon gubernur yang awalnya memberikan harapan untuk melawan partai politik karena keberaniannya mencalonkan diri lewat jalur independen akhirnya memutuskan untuk mencalonkan diri lewat partai politik saja. Mengabaikan sejuta lebih KTP yang telah susah payah dikumpulkan.
Pura-pura tak tahu bahwa orang-orang memberikan KTP-nya karena ingin menjadi bagian dari sebuah perlawanan: perlawanan kepada partai politik. Perlawanan kepada apa yang selalu disebut sebagai realitas politik.
Atas nama realitas politik juga, barisan orang berakal bisa menjadi kerumunan fanatik yang hanya bisa mencari pembenaran atas segala hal yang jelas-jelas berlawanan dengan nalar. Pro-Jokowi dan anti-Jokowi, teman Ahok atau bukan teman Ahok, kini menjadi label-label baru serupa label Golkar atau bukan Golkar pada zaman Orde Baru dulu.
Atas nama realitas politik, haruskah segala yang melawan akal sehat kita terima dan kita maklumi? Atas nama realitas politik, haruskah kita menurunkan ukuran-ukuran kita, menegosiasikan prinsip-prinsip kita, melupakan tujuan utama kita? Atas nama realitas politik, haruskah kita turut menjadi penggembira yang terus bertepuk tangan melihat tingkah polah badut-badut kekuasaan?
Lalu ketika semua harus kembali pada realitas politik, masih percayakah kita kepada pemimpin yang kita pilih? Masih percayakah kita kepada partai-partai politik, kepada politisi? Masih butuhkah kita dengan segala hiruk pikuk politik?
Barangkali ini akan dianggap sebagai pertanyaan naif dari seseorang yang sama sekali tak paham politik dan realitas politik. Tapi, jika memang harus demikian, apa boleh buat.
Barangkali hanya kenaifan yang akan membuat kita bertahan di tengah segala kekecewaan. Hanya kenaifan yang bisa membuat kita terus memelihara harapan bahwa tak selamanya politik selalu tentang hal-hal yang memuakkan, mengecewakan, dan menakutkan. Dan hanya kenaifan pula yang tetap membuat kita percaya bahwa realitas tidaklah selebar tikar kekuasaan dan politik tidaklah semurah kursi jabatan.**
*Dimuat di Jawa Pos