oleh: Okky Madasari
Istilah crazy rich mulai dikenal luas lewat novel Crazy Rich Asians (2013) karya penulis Amerika kelahiran Singapura, Kevin Kwan. Novel ini berkisah tentang Nick Young, seorang dosen di New York University yang ternyata adalah anak konglomerat Singapura, orang kaya lama. Nick berpacaran dengan sesama dosen, Rachel Chu, yang dibesarkan ibu tunggalnya sebagai seorang imigran di Amerika. Nick tak pernah membuka identitas dirinya, sampai kemudian dia mengajak pulang Rachel ke Singapura untuk menghadiri pernikahan sahabatnya. Lalu drama pun dimulai. Status sosial yang jauh berbeda antara keluarga Nick dan keluarga Rachel menjadi pangkal utamanya.
Crazy Rich Asians menghadirkan formula kisah klasik drama percintaan beda status sosial. Ia menawarkan mimpi menjadi bagian dari keluarga super kaya atau setidaknya mimpi menjadi Rachel: bertemu dengan pangeran tampan super kaya yang jatuh cinta padamu dan siap melakukan apa saja untukmu. Memang cerita seperti itu yang ingin dinikmati banyak orang dan cepat laku. Crazy Rich Asians pun menjadi best seller. Ketika diadaptasi dalam film tahun 2018, filmnya pun laku keras.
Crazy Rich Asians telah menciptakan tren pemakaian istilah crazy rich di masyarakat Asia. Berbeda dengan cerita dalam Crazy Rich Asians yang menggambarkan konglomerat, old money, mereka yang merupakan generasi ketiga atau bahkan keempat dari pewaris gurita bisnis, crazy rich yang belakangan digunakan di Indonesia justru dilekatkan pada orang kaya baru, mereka yang mendapatkan popularitas karena memamerkan gaya hidup super mewah di media sosial; naik pesawat pribadi ke mana-mana, pakai mobil harga miliaran, liburan super mewah, termasuk gemar membagikan uang dan hadiah bagi para pengikutnya di media sosial. Lalu lahirlah crazy rich Surabaya, crazy rich Malang, crazy rich Medan, crazy rich Bandung, crazy rich Bali, hingga crazy rich Tanjung Priok.
Julukan yang awalnya diberikan oleh pengguna media sosial, digunakan juga dalam narasi berita media arus utama, hingga dibawa ke layar televisi melalui berbagai program acara yang semakin menasbihkan para crazy rich sebagai sesuatu yang faktual. Seseorang menjadi crazy rich hanya karena banyak orang dan media menyebutnya demikian. Dengan uangnya, para crazy rich masuk ke lingkaran selebritis. Selebritis dibayar untuk menjadi bintang iklan dan memberi endorse, selebritis diajak jalan-jalan naik jet pribadi, selebritis diberi berbagai hadiah. Maka kian kokohlah gelar dan kepopuleran crazy rich.
Hingga kemudian yang disebut crazy rich Medan dan crazy rich Bandung ditangkap polisi karena sumber penghasilannya ternyata adalah robot trading yang serupa judi. Mereka mengumpulkan uang dari masyarakat yang berniat investasi karena tergiur keuntungan besar, syukur-syukur bisa juga menjadi crazy rich. Alih-alih mendapat untung, investasinya ternyata investasi bodong. Aset dua crazy rich itupun disita polisi. Mereka dimiskinkan.
Lalu media massa, selebritis, dan pengguna media sosial seolah lupa atau memang tak sadar bahwa dari merekalah sesungguhnya predikat crazy rich itu berasal.
Sekitar delapan tahun lalu, ada nama Anniesa Hasibuan dan Andika Surachman, yang tiba-tiba menyeruak dan mendapat lampu sorot di mana-mana. Anniesa dengan citra sebagai perancang busana, membawa karyanya ke berbagai pekan mode dunia dan bahkan sempat mendapat pemberitaan besar sebagai perancang busana pertama yang menghadirkan model berhijab di New York Fashion Week. Ia membayar banyak selebritis kondang untuk mempromosikan baju rancangannya. Melalui bisnis travelnya, ia memberangkatkan selebritis untuk umrah dengan memberikan fasilitas super mewah. Tujuannya jelas untuk meningkatkan popularitas dan terutama untuk membuat publik berbondong-bondong menggunakan jasa travelnya. Apalagi saat itu tarif umrahnya terbilang sangat murah dibanding agen-agen yang lain. Ternyata, itu semua hanyalah cara untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Puluhan ribu orang tak bisa berangkat umrah seperti yang dijanjikan. Tahun 2017, keduanya pun masuk penjara.
Tren Global
Upaya untuk meraih kekayaan dengan berpura-pura kaya di media sosial ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di New York, seorang perempuan muda usia awal 20an yang baru datang dari Jerman, Anna Sorokin, bisa mengelabuhi banyak orang terpandang dan berpengaruh, dari sosialita hingga pengacara. Anna memanfaatkan Instagram untuk membangun citra dan membuat orang percaya bahwa ia adalah Anna Delvey, seorang keturunan bangsawan Eropa. Tahun 2019 Anna dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dihukum penjara. Kisah Anna sekarang hadir dalam serial Netflix berjudul Inventing Anna.
Demikian juga cerita dalam dokumenter The Tinder Swindler. Seorang pemuda Israel, Simon Leviev, mengaku sebagai pemilik bisnis berlian di aplikasi pencari jodoh, Tinder. Ia memasang foto bepergian dengan pesawat pribadi, ia selalu menggunakan pakaian mewah. Setiap kali mendekati perempuan yang diincar, ia akan mengajak bertemu di restoran mewah. Ternyata itu semua adalah modus untuk mengincar uang si perempuan, termasuk memaksa si perempuan untuk mengambil pinjaman di bank. Ketika dua korban akhirnya melaporkan kasusnya ke polisi dan bersuara di media, korban-korban lain di berbagai negara pun bermunculan.
Apa yang bisa disimpulkan dari ini semua? Pertama, media sosial adalah jalan pintas untuk mobilitas sosial. Kedua, media massa hanyalah mesin fabrikasi narasi yang turut memanipulasi. Ketiga, sudah waktunya kita kembali ke pepatah Jawa: ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh.
Terbit di Jawa Pos: Crazy Rich