oleh: Okky Madasari
Beberapa minggu lalu saya membaca berita tentang temuan foto-foto karya naturalis Italia, Odoardo Beccari, di perpustakaan di Italia yang menggambarkan keberadaan orang-orang Aborigin, penduduk asli benua Australia, di Makassar. Foto-foto yang berusia sekitar 150 tahun itu memperkuat bukti bahwa interaksi dan perdagangan antara orang-orang Aborigin dan penduduk Asia khususnya Sulawesi telah terjalin berabad-abad, jauh sebelum kolonialisme bermula. Orang-orang Aborigin juga berdiaspora dan menetap di banyak wilayah di Asia, termasuk di Makassar.
Proyek penelitian untuk menelusuri hubungan antara suku asli Australia dan suku-suku di Sulawesi sudah berjalan bertahun-tahun dan salah satu orang yang terlibat di dalamnya adalah Lily Yulianti Farid, peneliti post-doctoral di Monash Indigenous Studies Centre yang juga pendiri Makassar International Writers Festival (MIWF). Penelurusan hubungan antara suku asli bangsa-bangsa benua Australia dan Asia merupakan salah satu upaya untuk mengubah narasi sejarah dunia. Ketika pengetahuan selalu ditulis dengan kacamata Barat maka sejarah peradaban akan selalu dimulai oleh mereka, mengesampingkan interaksi manusia yang telah dimulai jauh sebelum bangsa Eropa menginjakkan kaki di benua Australia dan Asia.
Tahun lalu, Lily bersama sejarawan Lynette Russell mempresentasikan penelitian mereka di National Gallery Singapore. Inisiatif akademik ini adalah dedikasi terbaru Lily dalam kerja-kerja keilmuan dan kemanusiaan.
Saya pertama kali mendengar nama Lily Yulianti Farid sekitar tahun 2006, ketika Lily mendirikan situs jurnalisme warga berbasis di Makassar dengan nama Panyingkul – yang dalam bahasa gaul Makassar berarti persimpangan. Kala itu, saya sebagai wartawan muda di Jakarta, sedang tergila-gilanya mempelajari ide-ide baru terkait media dan jurnalisme. Bagi saya, Panyingkul telah sukses menjadi medium perlawanan atas dua hal; Pertama, adalah distribusi sumber informasi yang tidak lagi dikuasai oleh media arus utama dan mereka yang secara profesional bekerja sebagai wartawan. Kedua, Panyingkul adalah perlawanan atas arus informasi yang Jakarta-sentris dan Jawa-sentris. Meskipun usia Panyingkultak terlalu panjang, hanya hingga tahun 2010, Panyingkul telah menjadi catatan bagian sejarah generasi awal jurnalisme warga di Indonesia.
Berakhirnya kiprah Panyingkul, tak mengakhiri kiprah Lily. Lily kembali merumahkan gagasan-gagasan dalam kepalanya melalui penyelenggaran sebuah festival penulis di Makassar pada tahun 2011. Festival yang kemudian dinamai sebagai Makassar International Writers Festival (MIWF) itu menjadi sebuah ajang tahunan yang mempertemukan penulis Indonesia dan penulis internasional dengan publik pembaca di Makassar. Lebih dari sekadar festival penulis, MIWF adalah sebuah pendobrak atas kuasa dan dominasi. Lagi-lagi, dengan kebijakan Jawa-sentrisme yang membuahkan ketimpangan pembangunan dan ketimpangan ruang ekspresi dan apresiasi, MIWF adalah salah satu pintu bagi penulis-penulis yang berada di wilayah timur Indonesia. Melalui programnya yang mengundang penulis muda di wilayah timur dan penerbitan antologi karya Dari Timur, MIWF bukan hanya sebuah aksi afirmasi, tapi ini adalah upaya nyata dalam memproduksi pengetahuan alternatif yang bisa menampilkan perspektif utuh tentang Indonesia.
Menyelenggarakan festival tahunan secara independen – yang artinya bukan merupakan program pemerintah yang didukung APBD dan APBN – jelas bukan hal yang mudah. Artinya setiap tahun Lily harus melakukan berbagai cara untuk mendapat dukungan dana, tanpa ada kepastian dan jaminan bahwa dukungan bisa didapatkan. Belum lagi ketika bicara tentang tantangan di luar pendanaan. Sebagai penyelenggara festival, Lily pun tak bisa melarang orang untuk berkomentar, mengkritik atau mencaci. Berbagai kesulitan itu tak menggoyahkan Lily. Ia tetap bisa terus berjalan, menyelenggarakan festivalnya dari tahun ke tahun, meskipun ia tinggal di Australia.
Di tengah perjuangan melawan sakit, MIWF pun sedang bersiap menyelenggarakan festival untuk bulan Juni 2023. Ya, saya tahu Kak Lily sedang sakit. Namun, setiap kali saya melihat unggahan Instagram yang menceritakan aktivitasnya atau bahkan cerita pengobatannya, saya selalu merasa bahwa Kak Lily sedang baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Minggu lalu, entah apa alasannya, saya tergerak memotret tampilan layar (screenshot) yang mengumumkan akan ada acara online untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar MIWF bersama Lily. Tapi kemudian saya baca pengumuman, bahwa acara tersebut ditunda.
Ketika tadi malam kabar kepergiannya tiba, saya benar-benar terhenyak. Ada rasa bolong di dada yang ganjil. Rasa kehilangan… atau rasa penyesalan karena saya belum sempat untuk sungguh-sungguh menyampaikan apresiasi saya padanya. Saya terlambat menulis catatan ini untuk bisa dibaca oleh Kak Lily. Tapi saya yakin, catatan tentang Kak Lily tak akan terlambat untuk menginspirasi….
Singapore, 10 Maret 2023
***
Terbit di Omong-Omong Media: Dari Panyingkul ke Aborigin, Lily Melawan Hirarki