Borders Bookstore, kawasan Orchard, Singapura, Jumat kedua November.

Saya menghabiskan siang yang diguyur hujan dengan membaca Mrs Kennedy : The Missing History of the Kennedy Years. Buku karya Barbara Leaming ini menceritakan kehidupan Jacqueline Kennedy semasa mendampingi John F Kennedy. Mulai dari perkenalan hingga saat Jacky harus meninggalkan Gedung Putih setelah suaminya tewas terbunuh.

Entah kepiawaian Leaming dalam merangkai setiap kata atau memang ketertarikan saya pada kisah Nyonya Kennedy yang membuat buku itu bisa tuntas hanya dalam hitungan jam. Leaming adalah penulis biografi tokoh-tokoh terkenal, diantaranya Marilyn Monroe dan Katharine Hepburn. Sementara Jacky Kennedy adalah bagian tak terpisahkan dari dinasti Kennedy yang belakangan ini sering menjadi bahan pembicaraan di tempat tinggal kami, terutama setelah suami saya berkesempatan mengunjungi John F Kennedy Presidential Library and Museum di Boston.

Adalah Joseph P Kennedy yang menjadi orang pertama dalam dinasti ini. Laki-laki berdarah Irlandia ini pada mulanya adalah seorang pebisnis yang kemudian sukses dan menjadi salah satu orang terkaya di Amerika. Dengan modal itulah ia masuk ke dunia politik dan menjadi Duta Besar Amerika di Inggris, sebuah jabatan penting dan bergengsi di Amerika.

Lalu dimulailah dinasti politik itu. Anak-anaknya mendapat pendidikan di universitas-universitas bergengsi di Amerika, menjadi anggota kongres dan senat di usia muda, jaksa agung, pahlawan perang, duta besar, bahkan salah satunya berhasil menjadi presiden. Meski kemudian dua orang dari generasi kedua Kennedy terbunuh dengan latar belakang sentimen etnis dan agama, tak menyurutkan langkah generasi ketiga Kennedy untuk terjun ke politik.

Di negara lain, misalnya India, terdapat nama Gandhi sebagai keluarga yang turun-temurun berkiprah di politik. Di Indonesia, meski tak 'seramai' dinasti Kennedy atau Gandhi, keluarga Soekarno juga telah membentuk dinasti politik. Setelah generasi kedua, diantaranya Megawati, Guntur, dan Guruh, sekarang generasi ketiga, Puan Maharani, menjadi anggota DPR. Masih terdapat keluarga-keluarga lain yang juga eksis di pentas politik Indonesia meski belum menduduki jabatan nomor satu di negeri ini.

Biasanya anak seorang presiden atau ketua DPR atau pejabat apapun tidak akan kesulitan mendapatkan kesempatan untuk berada di lingkaran jabatan bapaknya.

Jika seseorang memiliki bapak yang banyak uang atau seorang duta besar seperti Joseph Kennedy, tentu tak terlalu sulit baginya untuk bisa mendapat pendidikan yang bagus lalu terjun ke politik. Begitu juga bagi seorang Megawati atau Puan, tentu bukan hal yang terlalu aneh jika mereka bisa menjadi pengurus partai, menjadi anggota DPR, bahkan presiden. Atau bagi seorang Agus Yudhoyono yang sekarang sedang belajar di Harvard, tak terlalu menakjubkan jika dua periode kepresidenan mendatang dia menjadi orang nomor satu di negeri ini. Semuanya terbuka bagi mereka : uang, kemampuan, kesempatan, dan nama besar.

Yang hebat dan luar biasa adalah mereka yang menjadi perintis dinasti. Orang-orang yang bukan anak siapa-siapa, yang dengan keterbatasan kesempatan dan keadaan membuat segalanya jadi mungkin. Sayangnya, tak semua orang bisa melakukannya.

Dalam beberapa pertemuan dengan anak-anak di berbagai daerah di Indonesia, saya kerap membayangkan tentang kemungkinan masa depan bagi mereka. Katanya mereka bisa jadi presiden, bisa jadi jenderal, bisa jadi anggota DPR, bisa jadi ilmuwan, atau bahkan bisa pergi ke bulan. Katanya siapapun bisa meraih cita-citanya, asal mau berusaha, asal mau belajar. Memang begitulah teorinya.

Departemen Pendidikan sangat gemar menggunakan jargon-jargon ini. Membuat iklan televisi yang ditayangkan berpuluh kali sehari, membuat poster besar yang ditempelkan di penjuru negeri. Isinya tentang anak-anak sekolah di berbagai daerah, berseragam lengkap dengan topinya, sedang membaca buku atau mendengarkan guru. Semua orang ingin diberitahu pemerintah sudah membuat sekolah di mana-mana. Semua anak bisa sekolah, berseragam, dan membaca buku.

Di bagian lain, Departemen Pendidikan suka mengulang-ulang kisah bagaimana seorang anak yang bapaknya sopir bisa jadi pilot. Seorang anak tukang bangunan bisa jadi astronot atau yang bapaknya loper koran bisa jadi wartawan. Pesannya jelas, semua anak bisa menjadi apapun yang lebih baik dari orang tuanya, asal mau belajar, asal rajin berdoa. Dan saya tak selalu percaya.

Lupakan soal nasib, lupakan soal takdir, lupakan soal satria piningit. Kenyataanya, untuk menjadi presiden atau anggota DPR orang paling tidak harus lulus SD, lalu ke SMP, lalu SMA (di Indonesia lulusan SMA bisa jadi presiden). Untuk jadi dokter orang harus kuliah kedokteran yang biayanya tak murah. Kalau mau jadi jaksa, pengacara, wartawan, pilot, orang juga harus sekolah sampai universitas.

Bagaimana bisa pemerintah begitu berbangga ketika bisa membangun sekolah dasar di satu daerah? Lalu apa setelah itu? Kenyataanya, setelah lulus sekolah dasar banyak dari mereka memilih ikut berjuang mencari makan. Yang bisa lulus SMP atau SMA pun hanya melanjutkan apa yang biasa dilihatnya : pekerjaan orang tua, pekerjaan paman, pekerjaan tetangga. Terlalu mewah bagi mereka untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Membayar biaya kuliah yang tak lagi murah, menanggung biaya hidup di kota lain, dan di saat bersamaan keluarga di desa serba kekurangan.

Novel Laskar Pelangi seringkali menjadi sebuah 'kitab suci' bagi anak-anak miskin atau anak-anak yang tinggal di daerah terpencil. Mereka seperti mendapat gambaran bahwa seseorang seperti mereka juga bisa kuliah sampai ke Perancis. Tapi jangan lupa, Laskar Pelangi juga menyampaikan fakta, bagaimana Lintang - seorang anak yang pintar - harus melepaskan semua cita-citanya, berhenti sekolah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Saya percaya pendidikan yang baik (bukan sekedar sekolah dasar ala kadarnya) adalah cara sesorang untuk memperbaiki kondisi hidupnya. Dengan pendidikan seseorang bisa keluar dari kemiskinan, merambat ke atas, lalu memainkan peran yang berbeda dengan orang tuanya atau tetangganya. Menjadi presiden, politikus, jenderal, dokter, pengacara, atau apapun yang menjadi cita-cita.

Dengan pendidikan yang bermutu, siapapun bisa mendapatkan apa yang dimiliki generasi Kennedy atau generasi Soekarno. Masalahnya, bagaimana ketika pendidikan yang bermutu hanya terbuka bagi orang-orang yang punya uang saja? ***

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan