Saya membaca cerpen Ibu yang berjudul ‘Sarap’ dan ‘Bahagia Bersyarat’ kental akan isu keberadaan kaum disabilitas di tengah keluarga dan masyarakat pada umumnya. Tema itu sangat menarik bagi saya, mengingat—sepanjang pengalaman membaca saya yang minim ini—jarang sekali isu-isu disabilitas diangkat dalam karya sastra. Pertanyaan saya, riset/pengalaman apa yang Ibu lakukan/alami sebagai landasan/inspirasi menulis cerita-cerita tentang keberadaan kaum disabilitas di tengah keluarga dan masyarakat?
Betul, cerpen “Sarap” dan “Bahagia Bersyarat” bercerita tentang disabilitas. Keduanya juga lahir dari pengalaman personal saya bertemu dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. “Sarap” itu inspirasi utamanya dari tetangga saya di Jakarta. Ia seorang yang dianggap cacat mental, harus minum obat setiap hari, tidak bisa berinteraksi normal dengan orang lain. Tapi ia seperti mau ngobrol terus dengan saya, mau terus berinteraksi. Dan saya kadang bisa mendengar dan melihat diam-diam dia cerdas, kecerdasan yang tak bisa dilihat semua orang. Itu yang menjadi dasar saya menulis cerpen sarap. Saya menuliskannya dari sudut pandang si orang yang dianggap sarap itu. Untuk menunjukkan pada kita semua bahwa dibalik setiap orang kita anggap sarap, cacat mental, gila dan sebagainya, bisa jadi ia punya kemampuan berpikir yang tak kita ketahui.
Di “Bahagia Bersyarat” saya mengangkat cerita tentang suami yang mau menikah lagi karena anaknya cacat. Saya beberapa kali melihat realitas seperti itu dalam kehidupan nyata.
Bagaimana pandangan Ibu tentang diskriminasi terhadap individu-dengan-disabilitas di tengah keluarga dan masyarakat?
Ini jelas tergambar dalam “Bahagia Bersyarat”. Bagaimana anak cacat dianggap sebagai beban, lalu ibunya yang disalahkan. Yang menyalahkan bukan hanya orang luar, tapi juga keluarga sendiri termasuk suami. Lalu dalam skala yang lebih luas, masyarakat juga belum bisa menerima keberadaan penyandang cacat dalam lingkungannya. Mereka menertawakan (seperti yang tergambar di Sarap), mereka menghendaki yang cacat itu dikurung saja di rumah dan sebagainya.
Ibu kerap mengangkat isu hamil-di luar-nikah dalam cerpen-cerpen yang Ibu tulis, misalnya pada cerpen ‘Yang Bertahan dan Binasa Perlahan’, ‘Janin’, dan ‘Keumala’. Bagaimana pandangan Ibu terhadap fenomena tersebut dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini? Adakah fenomena atau realita yang melatarbelakangi Ibu mengangkat tema-tema tersebut?
Masyarakat kita memandang hamil di luar nikah adalah sebuah musibah besar, aib yang tak tertandingi. Masalahnya, alih-alih fokus pada pencegahan misalnya memberikan pendidikan tentang seksualitas, yang terjadi selalu rentetan ketidakadilan pada perempuan yang terlanjur hamil. Di “Janin” itu terlihat jelas bagaimana si perempuan itu sendiri tak menghendaki bayinya tapi tak tahu harus bagaimana dan malah berpotensi membahayakan nyawanya. Di “Keumala” itu inspirasi utamanya dari kasus bunuh diri anak perempuan di Aceh karena tak bisa menahan malu.
Apakah tokoh Keumala dalam cerpen ‘Keumala’ diciptakan untuk merepresentasikan seseorang yang nyata, atau subjek kolektif tertentu?
Itu representasi dari anak perempuan di Aceh. Silakan cari tulisan saya judulnya “Atas Nama Kehormatan Perempuan”.
Bagi saya, ‘Yang Bertahan dan Binasa Perlahan’ merupakan cerpen yang kompleks. Di dalamnya diangkat isu urbanisasi, hamil di luar nikah, intervensi mertua dalam rumah tangga, kematian, dan kemiskinan. Adakah fenomena atau realita yang melatarbelakangi penciptaan cerpen tersebut?
Cerpen “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan” ide utamanya adalah masalah kemiskinan dan bagaimana upaya keluar dari kemiskinan itu dengan membangun kehidupan dan bahkan dunia baru. Sebenarnya awalnya saya hendak menjadikannya sebuah novel. Tapi entah kenapa di tengah jalan saya merasa sudah tiba di akhir cerita dan tak lagi bisa melanjutkan.
Fokus penelitian saya adalah disorganisasi keluarga dalam kumpulan cerpen’Yang Bertahan dan Binasa Perlahan’ dengan pendekatan strukturalisme genetik. Pendekatan tersebut saya gunakan untuk melihat karya sastra sebagai buah dari pengalaman dan latar belakang pengarang terkait lingkungan sosialnya. Jika berkenan, maukah Ibu ceritakan seperti apa lingkungan sosial tempat Ibu tumbuh dan ketika Ibu mulai bisa menyerap pengalaman menjadi inspirasi dalam menulis?
Saya tumbuh di keluarga yang tinggal di sebuah desa, dengan berbagai persoalan nyata yang juga dialami oleh banyak keluarga di Indonesia. Kebutuhan hidup saya tercukupi, tapi keluarga saya bukan keluarga kaya. Hanya mengandalkan penghasilan bapak yang seorang PNS. Nenek saya pekerja keras, tidak berpendidikan, dan dengan keringatnya bisa mengumpulkan harta. Semuanya serba tidak teratur dalam keluarga saya. Dalam kekacauan itulah, saya tumbuh dengan kepekaan dalam melihat realitas. Tapi saya baru bisa memakna semua pengalaman itu dan menuliskannya ketika saya pindah ke Jakarta di usia 22 tahun, menjadi wartawan, dan banyak membaca karya sastra.
Apakah menurut Ibu latar belakang pendidikan yang Ibu miliki turut berpengaruh terhadap proses kreatif Ibu dalam menulis karya sastra? Jika iya, seperti apa pengaruhnya?
Saya menyelesaikan pendidikan S1 di HI UGM, S2 di Sosiologi UI, dan sekarang menempuh pendidikan doctoral di Department of Malay Studies NUS. Semua ilmu yang saya peroleh, teori yang saya pelajari, memberi saya landasan dalam melihat permasalahan dalam masyarakat yang saya tuangkan dalam fiksi-fiksi saya.
Berkaitan dengan riset pustaka yang Ibu lakukan dan latar belakang Ibu yang juga sebagai seorang akademisi, adakah buku-buku bacaan tertentu yang menurut Ibu telah membentuk pola pikir Ibu dalam melihat suatu persoalan sosial sebagai landasan/inspirasi dalam menulis karya sastra?
Saya cukup terpengaruh oleh karya-karya Foucault dan Gramsci.
Dalam sebuah artikel, saya membaca bahwa suami Ibu yang berprofesi sebagai jurnalis kerap dilibatkan dalam proses kreatif Ibu sebagai pengarang. Pada artikel lainnya, saya membaca bahwa serial cerita anak yang Ibu tulis terdorong dari keinginan Ibu menyediakan bacaan-anak yang sesuai untuk anak Ibu. Pertanyaan saya, seberapa besar peran keluarga dalam proses kreatif Ibu sebagai pengarang?
Peran keluarga besar sekali dalam proses kreatif saya. Suami saya adalah pembaca pertama karya-karya saya. Ia orang pertama yang sejak awal percaya karya saya layak dibaca banyak orang. Ia teman diskusi saya dalam berbagai hal. Sementara anak saya, ya, karena dialah saya menulis novel anak-anak.
Apa makna keluarga dan pernikahan bagi Ibu?
Keluarga dan pernikahan adalah kapal saya dalam menjalankan tugas kehidupan.
Wawancara dengan Ghufroni An’ars dari Universitas Lampung, November 2019