oleh Okky Madasari
Negara kecil, the red dot, di antara negara-negara besar. Negara mayoritas keturunan Tionghoa di antara bangsa-bangsa Melayu. Kok bisa-bisanya berani menolak masuk seorang ustad terkenal dari negara tetangga yang punya banyak pendukung?
—
PERTANYAAN semacam itu pasti tebersit di hati banyak orang ketika mendengar Ustad Abdul Somad Batubara (UAS) ditolak masuk ke Singapura untuk berwisata. Lewat video YouTube, UAS menceritakan apa yang dialaminya di pos pemeriksaan imigrasi Singapura setelah menyeberang dari Batam dengan kapal feri. UAS yang sempat ditahan di ruangan kecil dipulangkan kembali ke Batam pada hari yang sama.
Tentu saja pengakuan UAS ini langsung membuat gempar. Pendukungnya marah, tak terima, kok bisa-bisanya ulama besar yang mereka kagumi dan ikuti ditolak masuk ke Singapura. Pejabat negara, mulai anggota DPR sampai menteri, ikut-ikutan bersuara. Menghardik, menggugat, mengancam. Kok bisa-bisanya negara seupil belagu seperti itu.
Saya, yang sekarang tinggal di Singapura, pun mulanya berpikir bahwa ini adalah sebuah langkah yang blunder. Kok bisa-bisanya Singapura menyulut keributan seperti ini. Hanya karena menolak UAS, bisa berimbas pada ekonomi kalau banyak orang memboikot Singapura. Bisa juga berdampak pada hubungan diplomatik kalau pejabat dan pemerintah melayangkan protes. Sebagai negara pragmatis yang setiap kebijakannya dijalankan dengan efisien, penolakan pada UAS ini jelas bukan langkah yang efisien. Kalaupun curiga pada UAS, kan bisa saja dengan memantaunya selama di Singapura. Lagi pula, seperti yang ditanyakan UAS di videonya, apa dasarnya UAS ditolak?
Hingga kemudian pemerintah Singapura mengeluarkan pernyataan resmi tentang alasan penolakan UAS. Sebuah penjelasan yang blak-blakan, tak berbelit-belit, dan tanpa menggunakan bahasa diplomatis. Singapura menolak UAS karena ceramah-ceramahnya menyebarkan ekstremisme dan segregasi. Melalui pernyataan yang dipublikasikan di website resmi Kementerian Dalam Negeri Singapura tersebut, disebut beberapa contoh isi ceramah UAS. Antara lain UAS membenarkan bom bunuh diri dalam konteks konflik Israel-Palestina. Somad juga dianggap menista umat Kristen dengan menyebut salib adalah tempatnya jin dan menyebut penganut agama lain sebagai kafir.
Di titik ini, we are done! Tak ada lagi yang bisa digugat dan dipertanyakan. Selain bahwa menolak kedatangan atau mendeportasi orang merupakan hak sepenuhnya sebuah negara, Singapura ternyata menggunakan analisis konten dari ceramah-ceramah UAS sebagai dasar kebijakannya. Sebuah metode yang sahih dalam produksi pengetahuan maupun dalam pengambilan kebijakan publik.
Belagu?
Negara kecil itu nyatanya memang tak gentar dalam menjalankan kebijakannya. Singapura sama sekali tak memandang bahwa UAS adalah ustad terkenal dengan jutaan pendukung –yang bahkan jumlah pendukungnya lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura. Singapura ternyata juga tak takut kebijakannya itu dianggap sebagai Islamofobia atau kebencian terhadap Melayu, padahal sudah bukan rahasia lagi bahwa politik luar negeri Singapura sejak dulu kala selalu dijalankan dengan ketakutan pada negara-negara tetangganya. Singapura yang bergantung pada pasokan air, listrik, bahan pangan, kunjungan wisata, hingga tenaga kerja pada Indonesia bisa teguh berdaulat pada prinsip yang dipegangnya.
Singapura adalah rumah dari berbagai agama dan etnis. Ada sekitar 15% warga muslim atau sekitar 500 ribu orang serta 72 masjid di Singapura. Jumlah masjid yang cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah umatnya. Di negara ini pula, berdiri madrasah-madrasah terbaik dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah. Setiap bulan puasa, bazar Ramadan diselenggarakan secara meriah di berbagai lokasi. Di setiap hawker, pusat jajan yang dikelola pemerintah, sudah pasti ada penjual makanan halal. Acara formal yang diselenggarakan oleh institusi publik juga wajib menyediakan makanan halal.
Di negara ini, setiap orang memiliki kebebasan menjalankan keyakinannya. Minoritas seperti Ahmadiyah atau Syiah tak akan pernah mendapat gangguan di negara ini, berbeda dengan di Indonesia atau Malaysia. Bukan karena pemerintah peduli pada apa yang diyakini, tapi sesederhana bahwa setiap gangguan pada individu atas keyakinannya adalah tindakan melanggar hukum.
Ekstremisme tak akan pernah mendapat tempat, baik itu ekstremisme Islam maupun ekstremisme Kristen, ekstremisme India, atau ekstremisme ateis. UAS bukanlah pemuka agama pertama yang ditolak Singapura. Sebelumnya, ada juga pendeta Kristen yang ditolak masuk.
Penolakan pada kedatangan UAS adalah wujud dari pragmatisme ideologi Singapura. Dalam kepragmatisannya, Singapura menempatkan kepentingan untuk menjaga harmoni kehidupan beragama masyarakatnya. Pragmatisme Singapura tak lagi melihat kepopuleran sebagai sebuah dasar pengambilan sebuah kebijakan. Sebagai bangsa yang pragmatis, mengikuti aturan main yang sudah ditentukan adalah kunci.
Tentu pragmatisme Singapura bukan hal yang selalu sempurna. Ketika pertumbuhan ekonomi adalah panglima, Singapura pun tak segan-segan mengambil langkah yang menguntungkan negara walaupun bertentangan dengan nilai moral atau merugikan negaranya. Singapura juga bukan negara yang menjalankan demokrasi sepenuhnya. Tak akan ada demo mahasiswa di jalanan, tak akan ada mural-mural poster di dinding-dinding kota. Di tengah pragmatisme ekonomi, kebebasan berpendapat dan geliat kreativitas bukanlah sebuah prioritas. Tentu ini bukan kondisi yang ideal.
Singapura memang bukan surga. Tapi ia juga bukan bangsa yang Islamofobia. Apa yang harus kita renungkan bersama dari penolakan UAS adalah apakah isi ceramah-ceramah UAS adalah hal yang wajar untuk diterima oleh masyarakat kita?
Terbit di Jawa Pos Ditolak Negeri Singa