Oleh: Okky Madasari
Aku memang berbeda. Sejak umur tujuh tahun aku merasa ada sesuatu yang terpenjara dalam tubuhku. Sesuatu yang ingin segera dibebaskan.
- Dorce Gamalama, 2005 -
Dorce kini telah bebas. Kepergiannya telah membebaskan dirinya dari segala sakit yang dideritanya beberapa tahun terakhir, kesulitan ekonomi karena tak lagi bisa bekerja sementara pengobatan tetap membutuhkan biaya, kerinduan untuk berkarya, hingga pertanyaan: kalau mati akan dimakamkan sebagai perempuan atau laki-laki.
Dorce yang bernama lahir Dedi Yuliardi, telah dimakamkan sebagai laki-laki. Keputusan yang dibuat anak angkatnya karena konon, Dorce sudah menyerahkan pada mereka – pada yang hidup – untuk dimakamkan sebagai apa. Padahal dalam sebuah tayangan YouTube, Dorce sempat menyampaikan keinginan untuk dimakamkan sebagai perempuan. Sebuah keinginan sederhana tapi ternyata bukan hal sederhana di Indonesia. Sesaat setelah tayangan YouTube itu beredar, berbagai komentar berdatangan. Dari ulama, kyai, pesohor, memberi pendapat bagaimana semestinya Dorce dimakamkan.
Sebagaimana seksualitas, perlakuan setelah mati bukanlah sebuah pilihan personal dalam masyarakat kita. Tubuh kita tak pernah menjadi milik kita. Ia adalah milik dari aturan, tatanan, adat dan kebiasaan yang hidup di sekitar kita. Dan puncak dari ketidakkuasaan kita atas tubuh kita terlihat saat kita mati dan kita tak bisa memilih mau dimakamkan sebagai apa dan dengan cara apa.
Pemakaman Dorce sebagai laki-laki adalah puncak dari penolakan atas perjuangan sepanjang hidup Dorce untuk menjadi perempuan. Keberaniannya untuk menjadi dirinya sendiri, kerja kerasnya di industri hiburan dengan identitasnya sebagai perempuan, dedikasinya sebagai seorang ibu angkat atas anak-anak yang diadopsinya dari panti asuhan, nyatanya tetap tak bisa menghilangkan penolakan dan kebencian yang mengakar pada transgender.
Dalam buku biografinya, Aku Perempuan (2005), Dorce menceritakan bagaimana sejak kecil tubuhnya menjadi sumber bullying dari orang-orang sekitarnya, termasuk dari keluarganya sendiri. Situasi yang dialami oleh hampir semua transgender, baik itu yang dari laki-laki menjadi perempuan (transpuan) maupun yang dari perempuan jadi laki-laki (transman).
Wajah Lelucon
Televisi dan industri hiburan sesungguhnya bukanlah tempat yang ramah untuk transgender. Bukan hanya transgender, televisi adalah representasi wajah dari norma yang dominan berlaku dalam masyarakat. Ketika televisi penuh dengan kegermelapan, tayangan bertabur kemewahan dan konsumerisme, karena memang seperti itulah nilai yang berlaku dalam masyarakat; bahwa kehidupan yang ideal dan diimpikan semua orang adalah yang serba mewah dan konsumtif.
Ketika televisi dipenuhi wajah-wajah artis perempuan yang serupa keglowingannya, bentuk alisnya, dan bentuk tubuhnya, karena memang itulah definisi cantik yang sedang berlaku dalam masyarakat kita. Ketika sekarang banyak tayangan sinetron dengan tokoh utama perempuan berhijab atau banyak siaran ngaji di televisi, itu karena semangat religiusitas Islam yang sedang meningkat dalam masyarakat.
Namun, ketika seorang waria atau transpuan muncul di televisi, bukan berarti waria sudah diterima dalam kehidupan masyarakat. Lihat saja bagaimana waria tampil di televisi. Sejak puluhan tahun lalu, waria di layar televisi selalu tampil sebagai bahan lelucon, sebagai pelengkap agar suasana semakin gayeng. Mereka harus tampil dengan dandanan dan kostum yang berlebihan, sebagai penanda bahwa mereka bukan benar-benar perempuan. Mereka harus terlihat bodoh, karena waria tak mungkin pintar. Peran mereka sebagai pembantu, pengamen, atau pekerja di salon.
Potret waria di televisi serupa dengan bagaimana masyarakat kita melihat dan memperlakukan waria dalam kehidupan nyata. Waria tak pernah berada di panggung utama, mereka selalu ada di pojokan, jadi bahan tertawaan dan hiburan. Ketika banyak dari mereka mengamen di jalanan, dianggap itu memang sudah wajar dan itu adalah pilihan yang mereka nikmati. Padahal itu adalah bentuk ketidakberdayaan mereka atas keterbatasan pilihan.
Seorang waria, karena berbagai tekanan, banyak yang tak bisa menyelesaikan sekolah. Dorce pun demikian. Karena tak punya ijazah, sulit bagi mereka untuk bekerja di sektor formal. Bahkan, punya ijazah sekalipun tetap tak akan membuat mereka mudah bekerja. Apakah bisa seorang waria melamar jadi pegawai negeri? Apakah bisa seorang waria jadi pegawai bank? Sampai hari ini pun, banyak waria masih kesulitan untuk mendapatkan KTP.
Dalam buku biografinya, Dorce menceritakan bagaimana keberhasilannya memasuki industri hiburan tak bisa dilepaskan dari peran Titiek Puspa. Dorce muda nekad untuk bernyanyi keras-keras di depan rumah Titiek Puspa yang kala itu sudah menjadi bintang, demi mendapat perhatian. Setelah beberapa kali beraksi, Titiek akhirnya menyadari potensi Dorce. Titiek membuka pintu pagar rumahnya bahkan membukakan pintu karier bagi Dorce.
Dorce telah memanfaatkan pintu itu dengan penuh ketangguhan, menunjukkan bagaimana transpuan bisa mendapat tempat karena bakat, keterampilan dan intelektualitasnya. Lewat Dorce Show yang tayang di televisi Januari 2005 hingga April 2009, Dorce menambahkan keterampilan lain yang harus dimiliki semua pelaku industri hiburan bahkan oleh semua orang; kemampuan untuk mendengar dan berempati.
Namun, ketangguhan dan kegemilangan Dorce tetap tak bisa meruntuhkan norma yang terlanjur kokoh mengakar dalam masyarakat. Kesukseskan Dorce juga tak mampu mengubah wajah waria di televisi, apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Kini, ketika Dorce telah pergi, semangatnya akan terus menemani perjuangan panjang dan berliku mencapai kesetaraan dan keadilan di negeri ini.
Terbit di Jawa Pos Dorce