oleh: Okky Madasari

Dunia selalu butuh orang-orang yang menabrak aturan, yang melanggar norma dan etika, yang mau menjadikan dirinya sendiri seorang kriminal demi sebuah kepentingan yang besar. 

Maka ketika seorang bocah laki-laki Australia memecahkan telur di kepala politisi, Fraser Anning, dunia pun menyambut hadirnya pahlawan baru. Si bocah yang disebut "egg boy" seketika menjadi ikon akal sehat dan keberanian di tengah dunia yang semakin penuh dengan kebencian, prasangka, dan ketakutan. Berbagai meme dengan wajah si egg boy diproduksi dan disebarkan di media sosial, seolah sebuah pernyataan bahwa dengan mendukung aksi si egg boy kita masih tetap manusia berakal sehat yang siap melawan segala bentuk terorisme dan fasisme.

Fraser Anning adalah senator sayap kanan Australia yang selama ini memiliki sikap anti-imigran dan cenderung menyuburkan Islamophobia. Sesaat setelah tragedi penembakan di dua masjid di Selandia Baru, Anning mengeluarkan pernyataan yang menyalahkan meningkatnya jumlah muslim di Selandia Baru sebagai pangkal penyebab peristiwa tersebut.

Apa yang dikatakan Anning jelas memicu kemarahan banyak orang. Bahkan sudah lama publik Australia mengecam Anning. Tapi semuanya hanya berupa "gerundelan" yang tak pernah bisa mengubah keadaan atau setidaknya mengubah sikap Anning. Ia tetaplah seorang senator yang terpilih secara demokratis, yang didukung cukup banyak orang hingga bisa menduduki kursi senat. 

Tak ada yang bisa dilakukan setiap kali kekecewaan dan kemarahan bertemu dengan kata "demokrasi". Kita harus berhadapan dengan fakta bahwa orang-orang yang seperti Anning telah melalui proses yang legal dan memiliki hak sepenuhnya untuk mewakili orang-orang yang mendukung sikap politiknya. 

Hingga kemudian rasa frustrasi itu begitu memuncak dan menuntun seorang anak laki-laki untuk bertindak dengan tangannya sendiri. Apa yang dilakukan si egg boy memang tak bisa mengubah apa-apa. Sikap politik Anning tak akan serta merta berubah hanya karena telur yang dipecahkan di kepalanya. Tapi setidaknya, si egg boy telah mewakili apa yang ingin dilakukan oleh banyak orang di luar pendukung Anning. 

Satu dekade sebelum kemunculan si egg boy, dunia juga merayakan kepahlawanan wartawan Irak, Muntadhar al-Zaidi, yang melempar sepatu ke George W. Bush yang saat itu merupakan Presiden Amerika Serikat. Wartawan itu tentu paham lemparan sepatunya tak akan membuat Bush mengubah kebijakannya. Malah ia bisa dengan mudah ditembak karena telah membahayakan keselamatan presiden negara adidaya. 

Dunia juga mengenal sosok Julian Assange yang telah membobol data banyak negara di dunia dan membocorkannya pada publik melalui situs Wikileaks. Assange hingga kini adalah seorang buronan yang harus bersembunyi di Kantor Kedutaan Equador di Inggris. Sekali dia keluar dari kantor kedutaan, otoritas Inggris atau Amerika Serikat akan menangkapnya.

Si egg boy, si jurnalis pelempar sepatu, dan Assange adalah orang-orang yang jelas telah melanggar hukum. Dengan mudah kita bisa mencari pasal-pasal hukum yang bisa menjerat mereka, mengadili mereka, lalu menjatuhkan hukuman. Bagi para penjunjung tinggi etika, memecahkan telur di kepala orang atau melempar sepatu pada seseorang jelas adalah bentuk perilaku yang tidak etis, tidak sopan, tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat. Bagi para penjunjung privasi, Assange tentu tak lebih dari seorang pencuri data yang tak layak dibela dengan alasan apapun.

Tapi toh tetap akan lebih banyak orang yang mengelu-elukan mereka, yang membenarkan apa yang mereka lakukan, yang berharap semakin banyak orang memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan hal serupa --termasuk diri mereka sendiri. Sebab, diam-diam kita semua sudah muak. Sebab kita tahu betapa omong kosongnya peraturan hukum yang disusun oleh elite. Sebab kita juga tahu, betapa kerap tak berdayanya kebenaran jika harus dihadapkan pada pasal-pasal, jika harus bertemu dengan norma kebenaran yang diyakini banyak orang. 

Keterkungkungan atas hukum dan demokrasi prosedural juga yang membuat kita di Indonesia kerap tak berdaya. Lihat saja kasus penistaan agama yang menimpa Ahok atau yang terbaru kasus Meliana di Medan. Ada pasal hukum yang memang jelas bisa menjerat mereka. Atau dalam kasus Baiq Nuril, seorang guru yang melaporkan pelecehan yang dilakukan kepala sekolah tapi malah dijerat UU ITE. Semua proses hukum sudah dilalui oleh Baiq Nuril dan putusan hakim malah menjadikannya narapidana.

Alih-alih ikut melawan ketidakadilan piranti hukum, kita kerap menjadi bagian dari orang-orang yang memanfaatkan ketersediaan aturan itu. Maka muncullah generasi pelapor --mereka yang sedikit-sedikit mengadukan orang lain ke polisi-- mumpung ada pasal-pasal yang bisa dimanfaatkan. Menjadi bocah pelempar telur dan jurnalis pelempar sepatu rasanya jauh lebih membanggakan dibanding menjadi bagian dari masyarakat pelapor yang justru memanfaatkan aturan yang tidak adil seperti ini. 

Dalam situasi lain, apa yang bisa kita lakukan ketika melihat deretan baliho calon anggota legislatif yang hendak mewakili daerah kita yang kita tahu sama sekali tak pernah melakukan sesuatu untuk daerah yang diwakilinya? Lalu atas nama partisipasi politik dalam demokrasi prosedural, kita dipaksa untuk memilih salah satu dari mereka, untuk berpura-pura punya harapan padahal kita tahu tak ada yang bisa kita harapkan. 

Lagi-lagi, menjadi para pembangkang rasanya jauh lebih terhormat dibanding menjadi orang-orang patuh tanpa akal sehat dan keberanian yang hanya ingin masuk sistem dan merayakan kebusukannya. ***

Diterbitkan Detik.com: Egg Boy dan Kefrustrasian Kita
 

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan