oleh: Okky Madasari

Mustahil bicara sejarah sastra dan intelektualisme Indonesia tanpa menyebut nama Hamka. 

Sebagai ulama besar, Hamka telah menghasilkan banyak pemikiran yang menjadi panduan bagi Muslim di Nusantara. Pandangannya tentang “akal yang berpedoman” adalah manifestasi dari semangat intelektualisme Muslim untuk menggunakan akal dan pemikiran sesuai panduan akhlak dalam Islam. Dengan semangat akal yang berpedoman pula Hamka menolak taklid buta yang menghalangi umat menuju kemajuan, dan mengkritik adat istiadat yang tak sejalan dengan Islam dan akal yang berpedoman.

Sebagai sastrawan, novel-novel Hamka bukan hanya meledak di pasaran, tapi juga menjadi cikal bakal dari lahirnya cerita cinta Islami di Indonesia. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1927 adalah sebuah tonggak pencapaian dalam sejarah industri penerbitan buku. Berkat kesuksesan dua buku tersebut, Hamka mendapatkan ketenaran, kekaguman dan cemoohan. Sebutan “seorang alim pengarang novel” cukup merepresentasikan olok-olok pada Hamka. Seorang guru agama yang belajar hingga ke Mekah dan negara-negara Arab lainnya kok malah menulis cerita percintaan, begitu kira-kira pandangan miring pada Hamka.  

Toh nyatanya roman Hamka terus menginspirasi lahirnya cerita-cerita sejenis bahkan hingga masa sekarang, di tahun 2000an. Formula cerita Hamka yang menawarkan kisah cinta berbalut mimpi bahwa orang miskin pada akhirnya bisa kaya dan sukses masih terus menjadi formula baku dalam penulisan banyak cerita, baik di sastra maupun di layar kaca. Ketika sekarang banyak buku atau konten kreator yang membagikan angan untuk pergi jauh ke negeri seberang, mimpi-mimpi seperti itu pun sudah dihadirkan Hamka dalam cerita-ceritanya. 

Hamka memang menulis novel percintaan. Sebuah fakta yang tak perlu malu untuk diakui atau pun harus ditutup-tutupi. Menjadi ahli agama nyatanya tak membendung hasrat kreativitas dan imajinasi Hamka atas cinta antara laki-laki dan perempuan. Hamka tak merasa perlu untuk mematikan fantasinya, tak malu untuk menunjukkan bahwa dalam diri seorang ulama juga ada imajinasi romantis yang perlu untuk terus dipelihara. 

Meski demikian, keterbukaan Hamka dalam menyambut gairah imajinasi dan kreativitas mendadak hilang ketika dihadapkan pada cerita pendek Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin yang terbit tahun 1968. Hamka berada di barisan terdepan dari mereka yang mengecam dan meminta pertanggungjawaban dari pengarang dan editor cerpen, H.B. Jassin. 

Ketika berhadapan dengan karya fiksi yang menceritakan tentang Nabi Muhammad dikirim Allah untuk turun ke bumi demi mengetahui kenapa umatnya banyak yang tak masuk surga, Hamka yang seorang pengarang seolah tak paham bahwa tak ada yang bisa mengatur dan melarang imajinasi seorang pengarang.

“Murtad saya dari Islam kalau karangan itu saya muat,” kata Hamka. Bagi Hamka, Kipandjikusmin memiliki imajinasi kotor yang merendahkan aqidah Islam yang tidak hanya menghina ulama, tapi juga menghina semua orang yang percaya pada aqidah Islam. 

Hamka juga dengan tegas menyatakan antipatinya pada orang komunis, mereka yang ia sebut sebagai golongan merah. Penolakan Hamka pada komunisme juga terselip dalam karya fiksinya. Misalnya dalam kutipan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck:

“Dalam tahun 1923 bergoncang pergaulan murid-murid sekolah-sekolah agama itu lantaran salah seorang di antara guru-guru yang begitu banyak, pulang dari perlawatannya ke Tanah Jawa telah membawa paham “merah” (komunis), sehingga sebagian besar murid-murid kemasukan paham itu.” 

Kutipan dalam fiksi ini menunjukkan bagaimana Hamka sudah berseberangan dengan komunis sejak jauh sebelum Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1962 menerbitkan artikel yang menuduhnya plagiat. Pram menuduh Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menjiplak Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis, Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diambil dari saduran penyair Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, yang berjudul Majdulin atau Magdalena. 

Kontestasi ideologi pada masa itu dengan posisi Lekra yang dominan membuat dakwaan atas karya sastra tak ubahnya sebagai pengeroyokan. Dalam situasi itu, H.B. Jassin - yang kelak didakwa Hamka akibat cerpen Kipandjikusmin - dengan tegas membela Hamka dengan menyatakan bahwa dalam kepengarangan, pengaruh-mempengaruhi itu hal yang biasa dan tak serta merta bisa dikatakan sebagai plagiat. 

Berkemajuan

Sikap keras Hamka dalam kontroversi cerpen Langit Makin Mendung dan antipatinya pada komunis bisa dikatakan adalah cerminan dari pemikiran Hamka yang konservatif. Meski demikian, jika membaca novelnya Merantau ke Deli yang terbit tahun 1939, akan kita temukan sisi progresif dari seorang Hamka. 

Berbeda dengan dua novel pendahulunya, Merantau ke Deli tak lagi menghadirkan kisah percintaan yang mendayu-dayu. Merantau ke Deli adalah ekspresi lugas Hamka dalam memotret perempuan yang menjadi korban kemiskinan, adat-istiadat, dan manipulasi atas nilai agama. 

Alih-alih membenarkan dan meromantisasi poligami dengan berbagai dalih dan dalil, Hamka membuka kesadaran bahwa pernikahan yang tak lagi berdasar penghargaan pada kedua belah pihak sudah sepatutnya ditinggalkan. 

Meskipun enggan menyebut dirinya seorang feminis, Hamka adalah seorang ulama dengan tafsir progresif dalam mewujudkan kesetaraan laki-laki dan perempuan menuju masyarakat yang berkemajuan. **

Terbit di Omong-Omong Media: Hamka yang Picisan, Hamka yang Berkemajuan
 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan