oleh: Okky Madasari

Setelah tujuh puluh lima tahun, kapal kembali bersandar di pulau ini. Dengungan sirinenya menggetarkan seluruh penjuru pulau, membangunkan Bandiman yang tertidur pulas di dalam rumahnya. Laki-laki tua itu tergagap. Itu pasti terompet sangkakala, pikirnya. Suara dengungan kian terasa dekat. Bandiman tersenyum lebar. Tiba juga akhir hidupku, gumamnya dalam hati.

Bandiman bangkit, membuka pintu rumah, berjalan menuju pojok pekarangan. Ada delapan belas gundukan tanah, dengan bunga dan rerumputan tertanam rapi di atasnya. Delapan belas lubang yang turut digali, ditutup, dan kemudian dirawat sendiri oleh Bandiman. Ia jongkok, lalu memeluk salah satu gundukan. Itu kuburan istrinya. Ia sedang mengatur posisi terbaik untuk bertemu dengan ajalnya.

Bandiman memejamkan mata. Sudah tak sabar ia berjumpa kembali dengan istri dan anak-anaknya, juga tetangga-tetangganya dulu. Kembali terbayang jelas ingatan tujuh puluh lima tahun lalu, ketika mereka sama-sama meninggalkan kampung halaman, menyeberangi lautan dengan kapal besar untuk membangun hidup baru di pulau ini. Di pinggir hutan, di tanah yang diberikan cuma-cuma oleh negara, mereka membangun rumah dan kampung baru. Dengan bekal bahan pangan yang bahkan tak cukup untuk hidup dua minggu, mereka dipaksa untuk menanam apa saja yang bisa dimakan dan berburu di hutan setiap malam untuk mendapat daging segar.

Tak ada manusia baru yang tumbuh di pulau ini. Setiap kali salah satu di antara mereka melahirkan bayi, bayi-bayi itu akan lahir mati, atau mati bersama ibunya. Tak pernah ada yang tahu penyebabnya. Hingga kemudian satu per satu dari mereka mati. Menyisakan Bandiman seorang, di usianya yang hampir seratus tahun.

Selama tujuh puluh lima tahun, tak pernah ada lagi kapal yang datang ke pulau ini. Tidak ada satu pun orang yang datang, tidak juga petugas-petugas yang dulu mengantar dan menjejali mereka dengan berbagai harapan.

Semakin lama ingatan masa lalu semakin mendatanginya. Bandiman gusar. Ia sedang tak mau bersedih. Kakinya gemetar, terasa ada yang menggigit perlahan. Ah… ia pun membuka mata.

Mana kiamatku? Kenapa aku masih belum mati juga?

Bandiman meloncat kaget. Di sekelilingnya penuh dengan tikus berukuran besar. Hampir seukuran kucing. Dari mana tikus-tikus ini datang? Seumur hidupnya tinggal di pulau ini, tak pernah sekalipun ia melihat tikus sebesar ini, dengan jumlah sebanyak ini. Apakah ini tikus-tikus yang dikirim dari langit untuk menghancurkan bumi dan seluruh isinya?

Tikus-tikus itu mengepung Bandiman. Bandiman meraih tongkat yang tergeletak di tanah, dipukul-pukulkan ke arah tikus agar tikus-tikus itu menjauh. Tapi tikus-tikus itu malah berjalan mendekati Bandiman. Tikus-tikus itu berkelit gesit setiap kali ayunan tongkat Bandiman hendak mengenai tubuh mereka.

Bandiman, si laki-laki tua yang berjalan saja sudah kepayahan itu, kini berlari menuju rumahnya, menutup pintu rapat-rapat. Persetan dengan tikus-tikus itu!

Suara dengungan itu tak lagi terdengar. Tak jadi kiamat, kata Bandiman pada dirinya sendiri. Eh tunggu, sekarang ada suara lain. Ada suara deru mesin yang bergerak mendekat. Bandiman menempelkan telinga ke pintu, berusaha untuk mengenali suara apa itu. Apakah suara dari hutan? Tapi tak ada hewan yang mengeluarkan suara seperti itu. Bahkan hantu-hantu hutan pun suaranya tak seperti itu, pikir Bandiman.

Dari lubang pintu, ia mengintip ke luar. Tikus-tikus itu berjalan-jalan di pekarangannya, menggigit apa pun yang bisa digigit, menggali-gali tanah, menghancurkan aneka tanaman yang puluhan tahun dirawat Bandiman.

“Aaaargh!” Bandiman tak bisa menahan diri lagi saat tikus-tikus itu menghancurkan semua bunga dan rerumputan yang ada di atas gundukan makam istri dan anaknya. Ia lari keluar rumah, mengayun-ayunkan tongkatnya sambil berteriak-teriak mengusir tikus-tikus itu.

Darah Bandiman mendidih. Harga dirinya terasa diinjak-injak. Tikus-tikus ini harus tahu, ia adalah seorang pemburu handal. Setiap malam ia selalu berhasil pulang dengan bermacam tangkapan, yang kemudian disantap keluarganya juga tetangganya. Jangankan tikus, harimau hutan pun sudah tunduk padanya. Tapi, itu dulu. Sejak kematian istri dan anak-anaknya, Bandiman tak mau lagi berburu. Ia memilih memakan apa saja yang ada di pekarangannya sembari diam-diam berharap ia kekurangan gizi lalu mati. Tapi, sial, jangan-jangan justru karena tak memakan daging umurnya jadi sepanjang ini. Kini Bandiman malah terpikir untuk menangkap tikus-tikus itu lalu menjadikannya sate.

Dengan penuh gairah Bandiman memburu tikus-tikus itu. Kini, setelah lebih dua puluh tahun hidup sendiri, Bandiman mendadak merasa punya tujuan hidup kembali. Tikus-tikus itu juga jadi seperti teman bermain untuk Bandiman, berbeda dengan semua hewan yang ada di pulau ini – yang sama sekali tak ada rasa manusianya sedikit pun. Tikus-tikus ini, entah kenapa, terasa seperti manusia.

Suara mesin semakin dekat. Kini malah terasa berada di belakang telinga Bandiman.

“Ada manusia di sini!” Terdengar teriakan dari sumber suara mesin itu.

Bandiman langsung membalikkan badan, mencari tahu siapa yang baru saja berteriak itu. Apakah ia berhalusinasi? Atau hantu? Atau malaikat yang mau menjemputnya?

Mesin besar itu kini sudah berada di hadapan Bandiman. Eskavator yang ukurannya empat kali lebih besar dari yang dulu pernah dilihat Bandiman di kampungnya. Dengan mesin keruk sebesar ini, bukit pun akan habis sekali keruk dan gunung tinggi pun tak mustahil untuk diratakan.

“Ada manusia di sini!” Suara itu kembali terdengar. Tapi sumber suara itu belum juga terlihat.

Yang tampak di hadapan Bandiman kini lagi-lagi seekor tikus dengan ukuran jauh lebih besar dari tikus-tikus yang ada di pekarangannya. Tikus itu berjalan ke arah Bandiman, kian dekat kian terlihat bahwa tikus itu setinggi Bandiman, berjalan tegak dengan dua kaki seperti Bandiman. Tikus besar itu tak sendiri, tapi bertiga.

“Bagaimana bisa ada manusia di pulau ini?” salah satu dari mereka berseru. Ternyata suara itu datang dari tikus-tikus besar ini.

Dua tikus lainnya diam. Karena memang itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab. Mereka terus berjalan mendekati Bandiman, tanpa sedetik pun melepas pandangan dari Bandiman. Mereka terus menatap Bandiman dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bandiman pun demikian. Ia tak berhenti menatap tikus-tikus raksasa itu. Bagaimana mungkin tikus bisa sebesar itu? Bagaimana bisa tikus bicara dalam bahasa manusia?

Kini mereka berhadapan dalam jarak kurang dari satu meter. Ketiga tikus saling berpandangan, menganggukkan kepala pada satu sama lain, lalu bergerak mendekati Bandiman. Mereka meringkus tangan Bandiman, Bandiman meronta, menolak dituntun atau ditarik. Ketiga tikus itu lalu mengangkat tubuh Bandiman, membawanya ke dalam eskavator. Tentu saja tubuh renta Bandiman tak kuasa untuk melawan.

Di ruang kemudi eskavator, Bandiman meringkuk dengan tangan dan kaki diikat. Sementara tikus-tikus mengemudi dan memantau keadaan sekitar.

“Rumah ini bagaimana?” tanya tikus yang memegang kemudi sambil menunjuk rumah Bandiman.

“Biarkan saja dulu. Gampang itu,” jawab tikus yang memegang teropong.

Eskavator itu terus bergerak, mengeruk segala hal yang ada di hadapan mereka, membuatnya rata seperti tanah lapang.

Bandiman bisa melihat bagaimana hutan lebat yang selama puluhan tahun mengepungnya itu dalam sekejap telah lenyap, diganti dengan dataran luas. Ribuan tikus seukuran kucing berlarian di atasnya, seperti tikus-tikus yang berada di pekarangan Bandiman. Ah, sekarang Bandiman jadi teringat dengan kuburan-kuburan itu. Pasti tikus-tikus itu sudah menghancurkan semuanya. Perlahan air mata Bandiman menetes. Tapi bukankah jika kiamat semuanya akan hancur? Jangan-jangan memang inilah kiamat, seru Bandiman pada dirinya sendiri.

Di kejauhan, kini tampak cakar-cakar raksasa yang sedang bekerja. Eskavator yang membawa Bandiman ternyata bukan satu-satunya mesin pencakar yang tiba-tiba datang ke pulau ini. Di setiap bagian pulau, mesin-mesin lain sedang membabat hutan, meruntuhkan perbukitan, menimbun sungai-sungai.

Bandiman takjub sekaligus ngeri. Memang seperti inilah gambaran kiamat yang sejak kecil ia dengar. Tepat setelah terompet sangkakala berbunyi, pepohonan tumbang, banjir bandang, gunung meletus, api di mana-mana, semuanya habis. Manusia kocar-kacir menyelamatkan diri, tentu saja sia-sia belaka. Tapi kenapa dia malah terikat di dalam mesin ini? Bandiman masih terus bertanya dalam hati. Dan makhluk apakah tikus-tikus ini? Apakah mereka malaikat yang khusus dikirim untuk merusak bumi?

Eskavator itu berhenti. Dua tikus turun, sementara satu tikus tetap berada di balik kemudi sambil mengawasi Bandiman. Tikus itu menyodorkan air minum untuk Bandiman. Bandiman yang haus dan lapar buru-buru meraihnya.

“Bagaimana bisa kamu ada di sini, Kek?” tanya si tikus.

“Memang aku tinggal di sini!” Bandiman menjawab dengan nada tinggi, seakan ingin menunjukkan bahwa pulau ini adalah rumahnya, bahwa ia yang lebih berhak atas pulau ini daripada tikus-tikus keparat itu.

Si tikus malah tertawa. “Maksudnya, bagaimana caranya bisa tinggal di sini? Ada lagi yang tinggal di sini selain Kakek?”

Bandiman diam. Dia enggan untuk menceritakan bahwa keluarga dan teman-temannya sudah mati semua.

“Kalian siapa?” tanya Bandiman.

“Kami?” si tikus balik bertanya, heran dengan pertanyaan Bandiman.

“Kalian tikus atau manusia?”

“Tentu saja tikus!” seru si tikus. “Sudah tak ada lagi manusia di pulau seberang sana. Semua manusia bodoh. Habis semuanya!”

Bandiman tak percaya atas apa yang ia dengar. Bagaimana mungkin manusia bisa habis? Tujuh puluh lima tahun lalu ia diimingi-imingi pindah ke pulau ini, karena pulau seberang sudah semakin sesak. Harus ada yang mau dipindahkan ke pulau-pulau lain dengan imbalan sebidang tanah dan bahan pangan. Sementara di pulau seberang, bekerja seumur hidup pun belum tentu bisa membeli rumah, apalagi dengan pekarangan luas, belum lagi ladang-ladang yang bisa diolah. Tujuh puluh lima tahun lalu, ada lima juta orang di pulau seberang. Tak mungkin semuanya mati begitu saja.

“Mati semua?” tanya Bandiman.

Si tikus mengangguk. “Kami yang harus singkirkan semua mayatnya. Daripada bau busuk.”

Mulut Bandiman menganga mendengar si tikus bercerita tentang kematian manusia-manusia di pulau seberang, layaknya yang mati adalah seekor tikus… eh maksudnya… tentu saja yang mati adalah manusia, sementara yang menyingkirkan mayat-mayat itu adalah tikus.

“Kita mau buat kota baru di sini,” katanya sambil menunjuk ke cakar-cakar raksasa yang sedang bekerja. “Di situ nanti akan ada kantor presiden, di sebelah sana nanti ada bandar udara. Biar bisa naik pesawat kalau mau ke sini.”

“Lima bulan lagi, ini semua jadi kota megah, Kek!”

“Tikus-tikus akan tinggal sini?” tanya Bandiman.

“Tentu saja,” jawab si tikus, “sudah terlalu sempit di sana. Kita butuh kota baru. Kita butuh tempat yang lebih luas. Pulau-pulau lain juga akan kita garap setelah kota ini beres.”

“Lihat yang di ujung sana itu, Kek,” kata si tikus sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengan lokasi kantor presiden, “di situ nanti aku mau bangun rumahku. Rumah kecil saja, seperti rumahmu itu, Kek. Tapi banyak bunganya. Pasti senang nanti istriku aku ajak tinggal di sini.”

“Pernah punya istri, Kek?” tanya si tikus sambil menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat Bandiman.

“Pernah…” jawab Bandiman pelan. Ia tak mau bercerita. Si tikus juga tak lanjut bertanya.

Dua tikus yang tadi turun kini kembali naik ke eskavator.

“Ke kantor presiden,” kata salah satu tikus yang baru masuk.

Mesin pencakar itu kembali bergerak. Bandiman masih tetap meringkuk, sembari pikirannya melayang-layang memikirkan semua hal yang baru ia dengar. Semakin mendekat ke lokasi yang akan dijadikan kantor presiden, semakin terlihat banyak cakar-cakar raksasa yang bekerja di setiap penjuru.

Eskavator yang ditumpangi empat makhluk itu berhenti. Mereka sudah tiba di lokasi kantor presiden. Sesaat tiga tikus terdiam, seperti saling menunggu.

“Sudah ada perintah dari pusat,” salah satu tikus yang tadi turun kini membuka mulut, “jadikan sesajen.”

Dua tikus menganggukkan kepala, tanda mengerti. Mereka bangkit, lalu mengangkat tubuh Bandiman.

“Tenang saja, Kek,” kata tikus yang tadi bercakap-cakap dengan Bandiman.

Bandiman menarik napas panjang. Ia pejamkan mata. Akhirnya waktunya benar-benar tiba. Kiamat benar-benar datang.

Kent Ridge, 2022 

***

Terbit di Omong-Omong MediaIbu Kota Tikus

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan