oleh Okky Madasari
Pemimpin perempuan bukan hal asing dalam sejarah masyarakat Islam Nusantara. Mereka memimpin dengan efektif, tanpa narsis, bukan teatrikal.
Aceh, salah satu kerajaan terbesar di Nusantara, pada abad 17 selama lebih dari lima puluh tahun dipimpin berturut-turut oleh empat sultanah. Mulai dari Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-75), Sultanah Nur Alam Naqiatuddin Syah (1675-78), Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1678-88), dan Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah (1688-99).
Sebuah kerajaan Islam yang mendasarkan hukumnya pada aturan Islam, yang sistem masyarakatnya dikendalikan oleh dominasi laki-laki, ternyata bisa dipimpin oleh empat perempuan berturut-turut selama lima dekade.
Namun, fakta bahwa empat sultanah memimpin Aceh, tidak serta merta menghilangkan stereotipe dan stigma atas kepemimpinan perempuan. Cara pandang yang bias ini juga mengakar dalam kajian-kajian sarjana laki-laki dari Barat. Sejarawan Anthony Reid, misalnya, berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan kemunduran Aceh pasca kepimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) adalah ketidakmampuan dan lemahnya pemimpin-pemimpin penerusnya. Sejarawan MC Ricklef juga menyebut bahwa Aceh memasuki periode panjang perselisihan setelah kepergian Sultan Iskandar Muda. Bahkan sarjana awal abad 20, Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin perempuan inilah yang menggerogoti dan membawa kesultanan pada keruntuhan.
Pandangan-pandangan ini dicoba untuk direvisi oleh Sher Banu A.L. Khan dalam bukunya Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641-1699. Sher Banu menguraikan bagaimana gaya kepemimpinan para sultanah ini justru menjadi kekuatan dan menjadi alternatif lain dari model kepemimpinan laki-laki di Nusantara yang lebih didasarkan pada kharisma, kekuatan dan kepahlawanan.
Para Sultanah ini memimpin dengan tidak mengandalkan kharisma dan sosok mereka sebagai pahlawan. Kekuatan tunggal seorang pemimpin bukan lagi yang utama dalam mengambil keputusan. Sultanah Aceh mendasarkan kepemimpinanya pada konsensus, musyawarah mufakat, dan kemampuan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan mewujudkan keadilan. Cara memimpin seperti ini memang terkesan lemah, apalagi ketika dibandingkan dengan kepemimpinan one man show yang mengandalkan kharisma dan kekuatan pemimpin laki-laki. Tapi, dari penelusuran Sher Banu, model kepemimpinan para Sultanah ini adalah bentuk soft power yang efektif. Hal ini terlihat dari cara sultanah bernegosiasi dengan kelompok yang masa itu disebut sebagai orangkaya dan bagaimana sultanah menghadapi kedatangan VOC.
Keberhasilan Sultanah dalam mengkonsolidasi dan mendapat dukungan orangkaya melalui musyawarah mufakat adalah hal yang tak pernah bisa dilakukan Sultan sebelumnya.
Para Sultanah tidak lagi menggunakan gaya kepemimpinan teatrikal dan narsis yang biasa digunakan oleh pemimpin-pemimpin laki-laki. Dari surat-surat Sultanah Safiatuddin terungkap bagaimana kesalehan dan keyakinan pada nilai agama memberinya panduan dalam tugasnya memimpin Aceh. Ia juga menolak memamerkan kekayaaan dan berfoya-foya karena itu tidak dibenarkan dalam Islam. Baginya, memimpin harus dijalankan dengan standar moral dan kebenaran yang diyakininya.
Memperkuat Stigma
Hal pertama yang ditunjukkan oleh Sultanah ini adalah Islam dan kepemimpinan perempuan bukan hal yang berlawanan. Dalam masyarakat Islam, dan dalam ajaran Islam, perempuan tak dilarang untuk menjadi pemimpin.
Hal kedua adalah anggapan bahwa perempuan tak mampu memimpin sering kali hanya didasarkan pada bias, stigma, dan stereotip yang sudah ditanamkan berabad-abad. Hanya karena perempuan memilih gaya kepemimpinan berbeda dari laki-laki, langsung dianggap bahwa perempuan tak memiliki kemampuan dalam memimpin. Hanya karena perempuan mengedepankan konsensus, musyawarah, kolektivitas, langsung dianggap itu adalah bukti bahwa perempuan adalah pemimpin yang lemah.
Pembelaan terhadap gaya kepemimpinan perempuan tidak serta merta diartikan sebagai pembelaan terhadap semua pemimpin perempuan. Mendorong perempuan untuk berani menjadi pemimpin di tengah segala stigma dan stereotip, tidak sama artinya dengan membenarkan semua tindakan yang penting pemimpinnya adalah perempuan.
Di Indonesia hari ini, kita punya cukup banyak perempuan pemimpin. Ketua DPR, Menteri Sosial, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak, termasuk Gubernur Jawa Timur yang juga mantan menteri.
Ketika setiap pemimpin memiliki gayanya sendiri-sendiri, ada hal-hal dasar yang bisa kita terapkan dalam menilai gaya kepemimpinan. Pertama tentu saja adalah nilai dan moral. Apakah para ibu yang menjadi pemimpin itu telah mendasarkan kepemimpinannya pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Kenapa seorang Ketua DPR Perempuan tak bisa mendorong disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual? Kenapa seorang Menteri Sosial perempuan justru tak punya pemahaman atas disabilitas dan masih menganggap Papua sebagai daerah buangan? Kenapa Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup perempuan justru tak punya kesadaran atas pentingnya melawan deforestasi?
Di masa ketika efektifitas adalah kunci, menjadi pemimpin yang mempertontonkan marah-marah pada publik hanya akan jadi kesia-siaan dan bahan tertawaan. Model kepemimpinan teatrikal dengan menunjukkan aktivitas berlebihan yang tak masuk akal juga tak lagi ada gunanya.
Ketika stigma dan stereotip terhadap kepemimpinan perempuan masih kuat bercokol dalam masyarakat, setiap tindakan problematik dari pemimpin perempuan ini akan dijadikan pembenaran kenapa perempuan tak layak jadi pemimpin. Terdengar tak adil, karena di luar sana lebih banyak lagi pemimpin laki-laki yang bermasalah. Tapi memang masih seperti inilah wajah masyarakat kita hari ini.
Selamat Hari Ibu! ***
Terbit di Jawa Pos Ibu Pemimpin