Jika saya baca dalam berbagai liputan wawancara dengan Mbak Okky, Mbak sudah memiliki minat di bidang menulis sejak kecil. Boleh saya tahu bagaimana awalnya Mbak tertarik untuk menulis? Apa yang membuat Mbak berkeinginan menjadi jurnalis?
Minat di bidang menulis tumbuh sejak kecil karena saya suka sekali membaca. Sayang, akses saya pada bacaan terbatas jadi saya tak banyak baca sastra. Koran Jawa Pos dan berbagai majalah adalah bacaan utama saya sejak kecil. Dari situ tumbuh minat saya pada jurnalisme hingga akhirnya saya ingin jadi jurnalis.
Boleh saya tahu background/pekerjaan orangtua Mbak Okky? Bagaimana peran kedua orangtua Mbak dalam menunjang kemampuan Mbak dalam menulis?
Ayah saya PNS, Ibu saya Ibu Rumah Tangga. Keduanya berpendidikan tinggi (sarjana), sesuatu yang cukup langka di desa saya masa itu. Keduanya cukup awam dengan dunia tulis menulis. Kontrobusi mereka adalah mereka sejak awal sadar pentingnya pendidikan dan bacaan.
Mbak Okky anak ke berapa dari berapa bersaudara?
Anak pertama dari 3 bersaudara.
Ketika pertama kali Mbak menyatakan ingin jadi jurnalis, bagaimana tanggapan keluarga? Apakah langsung menyetujui?
Tidak keberatan.
Bagaimana pula tanggapan keluarga ketika Mbak memilih menjadi penulis novel?
Agak ragu dan khawatir karena keputusan itu membuat saya meninggalkan pekerjaan saya. Konsep penulis sebagai profesi belum mereka kenal. Tapi semuanya berubah setelah saya meraih Khatulistiwa Literary Award.
Sebelum menjadi penulis, Mbak memiliki pengalaman sebagai wartawan hukum. Boleh saya tahu di harian/media mana saja Mbak dulu pernah bekerja?
Di harian Jurnal Nasional. Koran baru yang cukup prestisius saat itu. Merekrut lulusan terbaik dengan gaji tinggi sebagai reporter. Sayang sekarang sudah tak ada.
Mbak Okky pernah menulis tentang diskriminasi masyarakat terhadap kepercayaan tertentu (Ahmadiyah) dalam Maryam. Jika melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang dengan mudah menghakimi orang lain yang tidak seiman dengan mereka, bagaimana tanggapan Mbak?
Ada yang pro, ada yang kontrak, ada yang memuji, ada yang mencaci. Semua saya terima sebagai bagian dari apresiasi dan kebebasan berkespresi.
Saya sempat beberapa kali membaca artikel Mbak di kolom Refleksi Akhir Pekan Jawa Pos. Boleh saya tahu bagaimana awal mula Mbak menulis di kolom tersebut? Apakah langsung mengirim artikel atau atas permintaan dari Jawa Pos?
Awalnya saya diminta untuk menulis opini. Lalu diminta untuk menulis rutin - sebulan sekali.
Saya membaca bahwa salah satu pengarang yang karyanya memberi pengaruh terhadap Mbak adalah Pramoedya Ananta Toer. Apa tanggapan Mbak tentang beliau dan karya-karyanya? Dan bagaimana tanggapan Mbak terhadap realisme sosialis sendiri?
Pramoedya dan karya-karyanya memberi saya kesadaran bahwa karya sastra seharusnya didedikasikan untuk memperjuangkan keadilan dalam masyarakat. Ia juga mengajari saya makna konsistensi dan daya tahan.
Realisme sosialis merupakan gagasan penting yang ingin menempatkan pengarang dan karya-karyanya untuk terlibat langsung dalam persoalan masyarakat. Realisme Sosialis percaya bahwa sebuah karya harusnya hadir untuk menyuarakan dan memperjuangkan keadilan dalam masyarakat. Yang menjadi kritik atas realisme sosialis yang diusung Pramoedya dan Lekra masa itu adalah mereka kerap terjebak dalam kepentingan partai dan penguasa masa itu.
Saya percaya sebagai pengarang kita harus Merdeka, independen, tidak menjadi perpanjangan tangan partai atau penguasa manapun.
Mengenai novel 86, saya mendapati realitas kehidupan yang diangkat dalam novel tersebut, di mana masyarakat menengah ke bawah seperti Arimbi begitu ingin meningkatkan taraf hidup hingga tak ragu melakukan segala cara untuk bisa membeli smartphone, baju bagus, dan memenuhi gaya hidup lainnya. Bagaimana tanggapan Mbak terhadap fenomena tersebut?
Ini fenomena umum dalam masyarakat kita hari ini. 86 hadir untuk memotret sekaligus mengusik rasa nyaman kita pada fenomena yang dianggap wajar itu.
Di masa ini, perkembangan fiksi Indonesia sudah begitu luas. Tidak hanya banyak novel sastra, tetapi juga booming novel-novel fiksi populer, novel dengan setting dan tokoh ala negara Asia Selatan (Jepang, Korea), juga novel yang diangkat dari cerita internet. Bagaimana tanggapan Mbak terhadap perkembangan novel populer tersebut?
Keberagaman karya adalah hal yang diperlukan. Masing-masing penulis juga punya kesadaran dan alasan yang berbeda kenapa ia menulis. Maka yang jadi tantangan kita adalah terus mengedukasi publik bagaimana memilih bacaan yang berkualitas.
Saya percaya membaca adalah aktivitas politik. Maka kita harus selalu memilih bacaan yang bisa membangun kesadaran kita, cara pandang kita, dan sikap kritis kita.
Jika suatu saat ada orang yang berminat untuk mengangkat salah satu cerita novel Mbak menjadi film, apakah Mbak setuju?
Tergantung. Tapi pada dasarnya, untuk novel, saya tidak ingin terburu-buru difilmkan. Saya ingin lebih dulu novel itu dibaca dan menjadi bagian dari masyarakat.
Jika diminta mendeskripsikan, bagaimana Mbak mendeskripsikan keadaan masyarakat Indonesia dan perekonomiannya saat ini?
Menantang. Setiap hal yang ada di masyarakat kita menantang kita untuk jadi kritis dan kreatif.
Wawancara dengan Winta Hari Arsitowati, 2017