oleh Okky Madasari

Sebuah pulau harus dikosongkan. Ribuan penghuninya yang dipaksa pergi melawan dengan demonstrasi. Polisi malah menembakkan gas air mata ke puluhan anak sekolah. Seolah peristiwa Kanjuruhan tak memberikan pelajaran apa-apa. Seolah represi dan kekerasan atas nama pembangunan adalah sebuah kewajaran. 

Pulau itu adalah Pulau Rempang. Pulau yang terletak di wilayah Kota Batam, Kepulauan Riau, itu akan diolah sebagai kawasan industri. Pabrik kaca besar milik perusahaan terkemuka Tiongkok akan dibangun di situ. Kesepakatan investasi ini direstui langsung oleh Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Tiongkok bulan Juli lalu.

Setelah berita kericuhan tersebar, kita bisa mendengar berbagai pembelaan dan pembenaran dari para pejabat publik. Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyatakan bahwa masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak memiliki sertifikat. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa sejak tahun 2001 pemerintah telah memberikan hak guna usaha pulau tersebut pada sebuah perusahaan. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahkan mencurigai ada campur tangan asing dalam penolakan warga ini. Kata Bahlil, ada negara-negara yang tak senang jika Indonesia jadi maju dengan berbagai rencana investasi besar-besaran ini. 

Pernyataan-pernyataan pejabat ini menyiratkan bahwa warga di Rempang tak punya hak untuk menghuni pulau tersebut. Pulau itu adalah milik negara dan terserah negara mau memberikan hak guna pada pihak mana yang punya uang.

Pengingkaran Kepemilikan

Para penjajah selalu menganggap wilayah yang mereka datangi tak berpenghuni. Itu sebabnya Columbus dianggap sebagai penemu benua Amerika - seolah dataran besar itu tak berpenghuni sebelum kedatangannya. Penjelajahan samudra bangsa Eropa ditasbihkan sebagai pembuka ke dunia baru - seolah yang disebut sebagai dunia baru itu bukanlah bagian dari dunia sebelumnya. 

Cara pandang dan logika penjajahan ini yang kembali diterapkan dalam pengelolaan berbagai wilayah di Indonesia. Negara dan investor memutuskan apa yang akan dilakukan pada sebuah pulau, pada pegunungan, pada desa-desa. Setiap tempat dianggap tak berpenghuni, setiap wilayah sepenuhnya dianggap milik mereka yang punya kekuasaan. Sebagaimana penjajah yang membawa pulang seluruh keuntungan ke negerinya, negara dan investor pun kerap tak memikirkan keuntungan untuk warga asli sebuah wilayah. 

Masyarakat asli Pulau Rempang yang telah turun-temurun menghuni pulau tersebut kini tak lagi punya hak. Kebijakan pertanahan yang semestinya ditujukan untuk melindungi hak rakyat, justru menjadi senjata legal untuk merampas hak rakyat. Cukup hanya dengan menyatakan warga asli Pulau Rempang tak punya sertifikat, warga Rempang telah kalah secara hukum.

Ini tentu sebuah ironi di tengah gembar-gembor kebijakan sertifikat era Jokowi. Bagi-bagi sertifikat telah menjadi branding Jokowi, wujud kerja nyata yang selalu ia pamerkan dalam setiap kesempatan. Jokowi menargetkan 124 juta sertifikat lahan hingga 2024. Nyatanya, alih-alih membantu ribuan warga Rempang yang tak punya sertifikat, warga Rempang justru diusir dan Pulau Rempang diserahkan pada investor Tiongkok. 

Ketika kepemilikan atas sebuah wilayah hanya dilihat dari selembar sertifikat, negara telah mengingkari keberadaan masyarakat adat, sejarah, budaya, relasi antara manusia dengan tanah air yang ditempatinya. Kepemilikan hanya diartikan sempit yang dibuktikan oleh kepemilikan sertifikat. Padahal kepemilikan adalah juga soal kesadaran dan tanggung jawab. 

Pengingkaran atas kepemilikan ini pula yang mendorong kesewenang-wenangan di Wadas dan pemaksaan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Manusia-manusia yang mendiami wilayah tersebut tak lagi dianggap sebagai tuan atas rumahnya sendiri. Ibarat penjajah, alat-alat penguasa merangsek masuk tanpa permisi, tanpa perlu bertanya dan mengajak bicara. 

Pengabaian Ilmu Kemanusiaan

Dalam sebuah makalah yang disampaikan tahun 1986, Soedjatmoko mengatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam proses pembangunan selalu bermula dari pengabaian terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Yang dimaksud dari ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu sosial, sastra, seni, sejarah, filsafat dan etika. 

Pembangunan selalu diukur dengan capaian-capaian ekonomi. Keberhasilan kerja pemerintah dilihat dari besarnya investasi yang masuk, panjangnya jalan tol yang dibangun, rangkaian pembangunan infrastruktur yang dilabeli sebagai proyek strategis nasional. 

Untuk mencapai target-target tersebut, ilmu-ilmu yang dipakai adalah ilmu yang dianggap sebagai “hard science”, ilmu-ilmu yang langsung bisa mengarahkan pada hasil nyata yang bisa dilihat, diukur, dan mendatangkan keuntungan. 

Dengan paradigma pembangunan seperti itu, ilmu-ilmu kemanusiaan pun diabaikan karena dianggap tak penting bahkan dianggap sebagai penghalang atau malah jadi beban. Padahal, hanya dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, proses pembangunan bisa dijalankan dengan pemahaman atas manusia-manusia yang terdampak dan terlibat. 

Kericuhan dan kekerasan di Pulau Rempang, Wadas, bahkan Kanjuruhan, mestinya tidak terjadi jika setiap kebijakan dan keputusan diambil dengan mempertimbangkan ilmu-ilmu kemanusian. Ilmu-ilmu kemanusiaan memberi dasar telaah atas nilai, kebutuhan, hasrat dan aspirasi, kekuatan dan kelemahan manusia. Dalam bahasa Soedjatmoko, ilmu-ilmu kemanusiaan akan membantu penyusunan kerangka moral imajinatif dalam kebijakan pembangunan. 

Ketika sebuah kebijakan berdasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan, empati - rasa senasib sepenanggungan akan dikedepankan. Negara harus selalu ingat bahwa rakyat bukanlah musuh dan warga yang tinggal di sebuah wilayah adalah tuan rumah. 

Pada akhirnya tujuan dari pembangunan adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Ketika pembangunan dan investasi menimbulkan kekerasan dan penderitaan maka sudah jelas itu tidak berdasar pada prinsip keadilan. ***

Terbit di Jawa Pos

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan