oleh Okky Madasari
Yang fana adalah jabatan, kepentingan politik tetap abadi.
—
INI adalah sebuah cerita pulang kampung, dari orang Indonesia yang sudah hampir tiga tahun tak pulang ke tanah air. Keluar dari Bandara Soekarno-Hatta, memasuki tol saya langsung disapa dengan baliho besar Partai Nasdem dengan wajah salah satu politikusnya yang dikenal sebagai crazy rich Tanjung Priok. Beberapa meter mobil melaju, ada baliho yang tak kalah besar milik Partai Demokrat lengkap dengan wajah sang ketua umum. Tak sampai satu kilometer, ada wajah ketua umum Golkar yang sekaligus Menko perekonomian menyapa dengan ucapan Siap Kerja 2024. Ketum PKB yang sejak Pemilu 2019 mendeklarasikan diri sebagai cawapres –lalu kini capres– pun tak ketinggalan menyambut kedatangan setiap orang yang baru mendarat di Jakarta.
Dari Jakarta, saya melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur. Dari ibu kota provinsi hingga kota-kota kecil, dari pusat kabupaten hingga pelosok kecamatan, ramainya baliho dan spanduk membuat kita merasa seperti sudah berada di tahun 2024. Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa hampir tiga tahun ke depan ini semua pejabat dan elite politik hanya memikirkan bagaimana merebut kekuasaan yang lebih besar atau minimal mengamankan diri dan posisi pada dan setelah pemilu akbar 2024 tersebut.
Lantas, bagaimana dengan nasib rakyat atau program nyata untuk kesejahteraan rakyat? Ya, justru semua akan mengusungnya sebagai jargon paling sakti di masa-masa ini. Toh sedari awal semboyan kerja untuk rakyat ini memang hanyalah jargon semata.
Tidak ada simbol yang lebih nyata yang menunjukkan mentalitas mengamankan diri sendiri, jabatan, kekayaan, serta kekuasaan sendiri selain keputusan Presiden Joko Widodo untuk menunjuk ketua dan elite partai politik serta para loyalisnya menjadi menteri dan wakil menteri.
Beberapa hari setelah saya mendarat di Indonesia, Presiden Jokowi mengumumkan perombakan kabinet sekaligus mencopot beberapa menteri dan melantik menteri-menteri baru. Langkah ini kemungkinan besar adalah peluang terakhirnya untuk membuat gebrakan berarti dalam memperbaiki kinerja pemerintahannya di akhir masa jabatannya.
Peluang ini dibuang sia-sia oleh Jokowi dengan mengganti menteri dan mengangkat penggantinya bukan berdasar keahlian, kemampuan, pengalaman, ataupun kinerja, tetapi berdasar apakah orang tersebut dapat mengamankan sang presiden dan keluarganya –terutama anak menantunya yang memegang jabatan politik dan bisnis– setelah ia tidak menjabat lagi.
Maka, diangkatlah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang tidak pernah terdengar rekam jejaknya sebagai ahli kebijakan atau teori atau praktisi perdagangan sebagai menteri perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi. Pada pertengahan 2020 lalu Zulkifli ramai diberitakan sedang diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap alih hutan menjadi perkebunan sawit semasa ia menjadi menteri kehutanan. KPK bahkan telah memanggilnya sebagai saksi dalam kasus tersebut. Tetapi, penyelidikan kasus tersebut seperti menguap ketika PAN dengan cepat mengubah posisinya dan masuk ke dalam koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi. Pengangkatan Zulkifli ini kelihatannya selain merupakan balas jasa kepada PAN, juga sebagai langkah untuk menjamin partai ini tidak mengganggu Jokowi setelah lengser serta kalau bisa mendukung anak dan menantunya ke depan.
Jokowi juga membalas jasa kepada para pendukung setianya. Maka, diangkatlah mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto sebagai menteri agraria dan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Raja Juli Antoni sebagai wakilnya. Kedua orang ini sama sekali asing dan tidak memiliki pengetahuan tentang pertanahan di Indonesia. Di tengah ambisi Jokowi untuk membangun banyak proyek yang mengambil tanah rakyat serta maraknya konflik pertanahan di negeri ini, tak dapat kita dibayangkan nasib sektor yang sangat bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak ini.
Tapi, memang sudah jamak di Indonesia bahwa setiap orang yang menjadi menteri atau wakil menteri bukanlah karena ia berprestasi, atau juga bukan karena ia sangat ahli. Tidak seperti sistem parlementer, yang mengharuskan menteri adalah juga anggota parlemen terpilih –yang artinya adalah orang yang mendapatkan suara rakyat saat pemilu– dalam sistem presidensial, siapa pun bisa menjadi menteri jika presiden menghendaki.
Jabatan menteri dan wakil menteri adalah bagian dari tawar-menawar kepentingan politik. Kalaupun memang ada kerja keras di baliknya, itu adalah kerja keras dalam membela dan melobi presiden, baik itu lewat keputusan politik, mobilisasi massa, maupun yang paling sederhana: ngetwit!
Kasus ini sama juga dengan pengisian jabatan komisaris BUMN. Siapa pun bisa tiba-tiba menjadi komisaris bank pelat merah, Pertamina, Garuda, atau perusahaan-perusahaan tak terkenal anak usaha BUMN, asal menteri BUMN dan tentu saja atas dukungan presiden menghendaki.
Sekarang ada lagi lowongan jabatan baru: gubernur atau bupati tunjukan untuk menggantikan kepala daerah yang telah habis masa jabatannya, sementara pilkada baru digelar 2024. Tanpa harus melalui kerja keras pemilu, tanpa harus mendapat suara rakyat, orang-orang yang ditunjuk ini bisa menduduki kursi empuk bupati dan gubernur selama 1 atau 2 tahun.
Bersamaan dengan itu, para elite di negeri ini sudah fokus pada Pemilu 2024, melakukan segala upaya untuk mengamankan jabatan atau merebut jabatan. Kerja nyata untuk rakyat? Kerja apa?
*Terbit di Jawa Pos Jabatan