Oleh Okky Madasari

Ada kalangan yang mempertanyakan apa sih pentingnya demokrasi? Buat negara seperti Indonesia, yang penting kan tersedianya lapangan kerja dan makan yang kenyang buat rakyatnya? Toh, zaman Soeharto semua bisa terpenuhi tanpa demokrasi. Kalau cuma ikut pemilu, toh semua juga mencoblos pada zaman itu.

JUGA ada pertanyaan-pertanyaan seperti buat apa menghabiskan puluhan triliun untuk pemilu? Apakah tidak lebih baik uang itu untuk menambah BLT saja?

Di masa kampanye Pemilu 2024 ini, masih perlu kita meyakinkan betapa pentingnya dan betapa dekatnya demokrasi dengan kehidupan kita.

Sebelum demokrasi dikenal dan dipraktikkan, segala kekuasaan berada di tangan raja yang berkuasa secara turun-temurun. Ia adalah panglima perang, pemegang semua sumber uang, pembuat peraturan, hakim, serta juga eksekutor. Kekuasaan tanpa batas raja ini tecermin dari kata-kata Raja Prancis Louis XIV ”L’Etat, c’est moi” atau ”negara adalah saya”. Dengan kata lain, negara adalah milik pribadi sang raja dan dia boleh melakukan apa saja.

Jika suatu masyarakat kebetulan mendapat raja yang baik, rakyat akan sejahtera. Tapi jika sebaliknya, anak atau keturunannya keji dan durjana, sengsaralah masyarakat tersebut. Nasib rakyat benar-benar bergantung pada kebaikan satu orang.

Tujuan demokrasi yang terpenting sebenarnya adalah melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan oleh orang-orang yang berkuasa serta memastikan semua sumber daya negara dipakai untuk kebaikan dan kesejahteraan orang banyak. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu meskipun pemilu adalah salah satu instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan terpenting tersebut.

Dua instrumen yang penting dan berkaitan dengan pemilu adalah presiden atau lembaga kepresidenan serta DPR. Isi keduanya –yaitu presiden dan anggota DPR– dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Rakyat memilih presiden karena perlu ada satu wakil mereka untuk memimpin semua usaha untuk melindungi dan menyejahterakan mereka, sementara anggota DPR dipilih rakyat untuk mewakili mereka mengawasi presiden dalam melakukan usaha-usaha itu supaya tidak melenceng.

Selain pelaksana dan pengawas, diperlukan juga aturan main atau hukum (undang-undang dasar dan undang-undang) tentang bagaimana usaha menyejahterakan rakyat dapat berjalan tanpa penyelewengan. Karena diperlukan keberadaan hukum, diperlukan juga petugas hukum. Maka dibentuklah kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian. Mereka semua bertugas mengawasi pelaksanaan hukum dan apakah semua sudah mematuhi aturan main.

Terakhir, adanya ketakutan bahwa karena kekuasaan-kekuasaan ini tidak langsung dijalankan oleh rakyat, ada kemungkinan terjadi kerja sama antara mereka untuk mengkhianati rakyat. Maka diperlukan satu lagi pihak yang melakukan pengawasan-pengawasan langsung dilaksanakan oleh rakyat. Inilah yang disebut organisasi-organisasi masyarakat sipil (LSM) yang antara lain terdiri atas organisasi HAM, lingkungan hidup, dan media.

Kata kunci demokrasi sebenarnya adalah rakyat dan bagaimana menyejahterakan rakyat. Semua instrumen, lembaga, serta petugas-petugas ini pada hakikatnya adalah alat dan pelaksana usaha menyejahterakan rakyat.

Kemerosotan Demokrasi

Apa yang dimaksud dengan kemerosotan demokrasi adalah merosotnya peran demokrasi untuk melayani kepentingan rakyat dengan melemahnya atau memburuknya kinerja instrumen, lembaga, serta petugas-petugas negara, termasuk presiden. Ini berarti tujuan paling dasar dari demokrasi untuk mencapai masyarakat adil dan makmur tidak terpenuhi karena komponen-komponen demokrasi tersebut tidak bekerja dengan benar.

Misalnya, jika penghasilan negara, baik itu dari pajak maupun dari sumber lain, yang seharusnya dipakai untuk membiayai pembangunan dan menciptakan lapangan kerja untuk rakyat, tetapi diselewengkan atau dikorupsi oleh penyelenggara negara karena pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, termasuk hakim dan polisi yang juga korup, rakyat yang akan sengsara. Korupsi adalah salah satu tanda merosotnya demokrasi karena pengawasan dan hukum tidak berjalan.

Saya mencatat lima tanda-tanda atau indikator kemunduran demokrasi. Yang pertama adalah pelemahan lembaga-lembaga demokrasi. Misalnya, dalam masa kepresidenan Jokowi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sengaja dilemahkan dengan dibuatnya undang-undang yang membatasi gerak lembaga antirasuah ini. Lembaga lain yang dilemahkan adalah lembaga kehakiman. Skandal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dengan cara melanggar etika dan hukum melalui pengaruh ketua MK yang juga adalah ipar Jokowi atau paman Gibran jelas adalah perusakan terhadap lembaga ini.

Indikator kedua adalah mobilisasi aparat untuk kepentingan pribadi pihak tertentu. Pengerahan kepala-kepala desa untuk mendukung calon presiden tertentu adalah jelas bentuk penggunaan aparat untuk kepentingan pribadi sang calon.

Indikator ketiga adalah lemahnya pengawasan terhadap pihak yang memegang kekuasaan karena tidak adanya oposisi. Lemahnya oposisi ini membuat lemahnya pengawasan yang antara lain akan menciptakan korupsi bersama karena tidak ada lagi pihak yang mengingatkan. Gerindra dengan ketuanya, Prabowo, misalnya, adalah oposisi yang cukup kuat. Tetapi, bergabungnya Prabowo menjadi anggota kabinet Jokowi mengakibatkan oposisi menjadi lemah.

Indikator keempat adalah penyalahgunaan dan pemanfaatan undang-undang untuk mencapai ambisi pribadi. Ketika Jokowi punya ambisi untuk menjadi presiden Indonesia yang berjasa memindahkan ibu kota negara ke tempat baru, yang pertama ia lakukan adalah membuat UU IKN. Walaupun tanpa melalui prosedur pembuatan UU yang benar dan tanpa partisipasi publik, UU tersebut disahkan dan Jokowi dapat berlindung di balik UU ini dalam melaksanakan ambisinya.

Indikator kelima adalah merosotnya kebebasan mengeluarkan pendapat karena tindakan represif negara. Kebebasan mengeluarkan pendapat adalah salah satu bentuk pengawasan rakyat serta dasar dari semua karya untuk memajukan bangsa. Di bawah Jokowi, seniman, mahasiswa, dan anggota masyarakat ditangkap karena melancarkan kritik.

Demokrasi bukan hanya slogan. Baik-buruknya demokrasi langsung memengaruhi ketenangan dan kesejahteraan hidup rakyat. Karena itu, jangan pilih calon presiden yang tidak pernah berbicara tentang demokrasi, baik karena ia tidak mengerti maupun tidak percaya pada hal ini, atau memang punya rencana melanggarnya atau bahkan untuk tidak menerapkannya. (*)

Terbit di Jangan Pilih Capres Perusak Demokrasi

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan