oleh Okky Madasari
Ada upaya untuk membenarkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dengan melabelinya sebagai bagian dari nilai-nilai Asia (Asian values).
Dengan kata lain, praktik KKN, suap dengan bansos, dan jual beli suara di pemilu lalu serta usaha-usaha Presiden Joko Widodo belakangan ini untuk mendorong anak-anaknya menjadi pejabat publik dan membentuk suatu dinasti politik adalah hal yang baik-baik saja karena ia bagian dari nilai-nilai Asia. Juga bagian dari nilai-nilai yang telah hidup di Indonesia.
Tetapi, apakah KKN merupakan bagian dari nilai-nilai Asia, nilai-nilai Indonesia?
Asian values adalah generalisasi dari nilai-nilai di banyak negara Asia yang mempunyai budaya berbeda. Setiap negara di Asia berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap negara ini mempunyai nilai yang berbeda. Bagaimana kita bisa merangkumnya menjadi satu nilai Asia jika negara-negara ini sangat berbeda satu sama lain.
Di Asia Timur saja, apakah kita bisa mengatakan bahwa nilai-nilai utama bangsa Jepang dan Korea Selatan yang menganut demokrasi liberal sama dengan Korea Utara yang totalitarian dan Tiongkok yang komunis? Apakah Indonesia yang masih negara berkembang dengan demokrasi yang korup dan belum matang mempunyai nilai yang sama dengan Singapura yang sangat terkontrol atau Malaysia yang menerapkan hukum Islam bagi umat Islam-nya? Belum lagi negara-negara seperti Thailand, Kamboja, dan Myanmar yang sangat berbeda dalam hampir semua hal dengan Indonesia.
Bagi Jepang dan Korea Selatan, misalnya, nilai-nilai utama adalah kerja keras, budaya malu, penurut terhadap atasan dengan tekanannya lebih pada pencapaian bidang ekonomi. Bagi Indonesia, Asian values yang berlaku bisa berarti tidak banyak omong dan mengkritik, bukan budaya malu.
Asian values hanyalah mitos. Narasi Asian values sengaja diciptakan penguasa untuk mengontrol rakyat dan melanggengkan kekuasaannya. Dalam sejarahnya, Asian values adalah ideologi tanpa dasar keilmuan yang kuat dan dipakai untuk melawan tekanan internasional (Barat) yang dipandang mendikte dan menggugat tindakan penguasa yang tidak demokratis, melanggar HAM, membungkam suara-suara kritis, dan bahkan melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri. Bagi penguasa-penguasa ini, Asian values berarti pemimpin yang kuat dan tegas, dan bisa lama bertahan di kekuasaan karena mereka percaya bahwa hanya mereka yang bisa menyelamatkan negara. Buat mereka, Asian values juga berarti rakyat yang penurut. Sikap kritis dianggap bukan budaya Timur. Maka, di banyak negara Asia, Asian values berarti langgengnya penguasa dan dinasti politik serta KKN.
Jadi, tidak heran jika pemimpin-pemimpin Asia yang paling menonjol yang memopulerkan Asian values adalah Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew serta Soeharto. Tiga pemimpin itu memang dianggap berhasil melakukan pembangunan ekonomi di zamannya pada 1980-an dan 1990-an. Klaim Asian values dipercaya karena ditunjang keberhasilan pembangunan ekonomi yang memunculkan istilah Asian Tigers dan keberhasilan yang disebut sebagai ’’Asian Miracle’’ pada saat negara-negara Barat stagnan secara ekonomi.
Tetapi kemudian, krisis ekonomi 1998 menghancurkan narasi dan klaim Asian values. Terbongkarlah betapa korup dan tidak efisiennya pemerintahan pemimpin-pemimpin kuat itu yang membawa negara dan bangsa ke jurang kehancuran. Wacana Asian values pun tenggelam ditelan krisis itu.
Hal lain yang menarik adalah bahwa dalam sejarahnya narasi Asian values muncul bersama munculnya pemimpin kuat (strong man) atau bahkan otoriter. Dengan antisipasi bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto akan memproyeksikan dirinya sebagai pemimpin kuat, apakah munculnya kembali wacana Asian values tersebut sengaja dirancang menyambut Prabowo, yang masih dituduh sebagai pelanggar HAM?
Jika melihat kondisi Indonesia 10 tahun terakhir ini, saya mengatakan tidak ada yang namanya pengaplikasian Asian values. Yang ada hanya penerapan Jokowi’s values, yaitu penerapan ’’ends justify means’’ atau tujuan menghalalkan segala cara.
Jokowi’s values itu tecermin secara terang benderang dari wacana tiga periode, pengesahan UU Cipta Kerja, pelemahan KPK, putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka, serta putusan MA yang memungkinkan Kaesang maju dalam pemilihan gubernur di pilkada tahun ini, hingga ke pengakuan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bahwa IKN selama ini memakai dana APBN, bukan investasi asing, yang artinya Jokowi telah berbohong selama ini.
Penggunaan undang-undang untuk melayani dan melanggengkan kekuasaan, utak-atik aturan untuk mengamankan kepentingan, tidak adanya rasa malu dan beban moral dalam upaya membangun dinasti politik, serta kebohongan dan berbedanya antara apa yang dikatakan dan apa yang dijalankan adalah bagian dari nilai-nilai Jokowisme yang dijalankan selama 10 tahun kekuasaan. Tidak perlu jauh-jauh mengaitkan dengan Asian values, ketika ternyata kebobrokan itu bersumber dari keserakahan penguasa.
Para pendiri Indonesia sebenarnya telah dengan sangat bijak merangkum values kita sendiri. Mereka dengan sangat bijak telah merumuskan Indonesian values dalam Pancasila dan UUD 1945, yang jelas-jelas mendefinisikan Indonesia sebagai negara demokrasi berdasar hukum. Lima sila dalam Pancasila sangat cukup untuk dijadikan pedoman nilai dan cita-cita bersama serta amanat yang harus diwujudkan oleh penyelenggara negara.
Jangan sampai mitos Asian values dan kesesatan Jokowi’s values semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai keindonesiaan. ***
Terbit di Jawa Pos Jokowi's Values, Bukan Asian Values