oleh: Okky Madasari
Seruan Reformasi Total Polri tak boleh berhenti digaungkan. Nyawa 135 orang yang hilang di Kanjuruhan karena dipicu penembakan gas air mata tak akan pernah kita lupakan.
HARI-HARI ini, masyarakat Indonesia disuguhi tontonan baru di layar kaca: drama persidangan kasus pembunuhan Brigadir Yosua oleh atasannya, Ferdy Sambo. Bak sebuah drama sinetron, dalam setiap episode kita akan temukan kejutan plot cerita, setiap aktornya mendapat jatah peran yang bisa mengaduk-aduk emosi pemirsa. Ada Putri, istri Ferdy yang selalu tampil dengan rambut yang di-blow rapi bak baru keluar dari salon. Ada Susi si ART yang kesaksiannya bikin gemas dan membuat banyak orang bertanya-tanya apa yang sudah ia terima dari majikannya. Ada Kuat si sopir yang punya peran sentral, ada Eliezer pelaku penembakan yang tiba-tiba punya penggemar, dan tentu tak lupa kehadiran bintang baru; mantan aktivis antikorupsi sekaligus mantan juru bicara KPK yang kini menjadi pengacara Sambo dan istrinya.
Lanjutan drama persidangan Ferdy Sambo ini kini jadi tontonan yang ditunggu-tunggu, sebagaimana penggemar Ikatan Cinta selalu setia menanti episode baru dari sinetron kesayangannya. Setiap persidangan berlangsung, media sosial pun penuh dengan segala komentar tentang apa yang terlihat dan terdengar dari siaran langsung di ruang sidang tersebut. Rasanya tak ada persidangan kasus pidana yang menyita perhatian publik seperti ini. Kehebohan persidangan kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan perempuan yang berprofesi sebagai caddie golf pun tak sebanding dengan segala perhatian yang disedot oleh persidangan Sambo.
Namun kita tahu, pembunuhan Brigadir J bukanlah sebuah adegan rekaan sinetron. Setiap keterangan terdakwa dan saksi, peran pengacara dan jaksa, keteguhan hakim akan menentukan apakah persidangan Sambo hanya akan berakhir jadi opera sabun atau bisa menjadi langkah untuk menguak kebobrokan di tubuh kepolisian –bukan sekadar masalah Sambo seorang.
Sementara episode demi episode persidangan Sambo terlalui, upaya kita untuk terus merawat ingatan atas tragedi Kanjuruhan kian dipertaruhkan. Kanjuruhan mulai menepi dari halaman-halaman pemberitaan, perhatian publik semakin surut digempur oleh peristiwa dan masalah yang terus berganti. Dalam situasi ini, dibutuhkan upaya-upaya untuk terus merawat ingatan; untuk terus menyuarakan isu Kanjuruhan tanpa berpikir bahwa itu isu basi, untuk terus menyalakan keberanian dan keyakinan bahwa keadilan bisa diwujudkan betapa pun pahitnya kenyataan yang bertahun-tahun dihadapi oleh bangsa ini.
Dalam bagian upaya merawat ingatan itulah, kita akan terus meneriakkan Reformasi Total Polri meski setiap hari drama persidangan Sambo mencoba melenakan kita.
Struktural dan Kultural
Masalah yang dihadapi Polri sudah jelas bukan masalah individual. Bersembunyi di balik kata oknum hanya merupakan siasat untuk menyembunyikan masalah yang sebenarnya. Kebusukan di institusi tersebut sudah melembaga, dipertahankan oleh kekuasaan, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebuah situasi yang dalam bahasa ilmu sosial disebut sebagai struktural.
Ketika kemudian kebusukan yang melembaga itu terinternalisasi dalam diri setiap aparat polisi, maka kebusukan itu telah menjelma menjadi nilai hidup yang menuntun setiap langkah. Itulah yang kemudian disebut sebagai kultural. Maka, persoalan di tubuh Polri adalah perkara struktural dan kultural. Reformasi total Polri harus dilakukan secara struktural dan kultural dengan prioritas pada empat area.
Yang pertama adalah area kebrutalan. Yang dimaksud kebrutalan di sini adalah segala tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan polisi. Ini mencakup kekerasan saat menangani unjuk rasa, penangkapan tanpa prosedur, penembakan gas air matakepada penonton pertandingan sepak bola, penghentian pengusutan laporan kasus kekerasan seksual, apalagi ketika polisi itu sendiri yang melakukan tindakan kekerasan seksual. Pendekatan kekerasan yang diterapkan oleh aparat kepolisian harus dihentikan. Paradigma baru harus ditanamkan sejak calon polisi masih menempuh pendidikan.
Area prioritas kedua adalah korupsi. Mereformasi Polri artinya adalah mengusut tuntas korupsi yang dilakukan polisi dari pangkat terendah hingga pangkat tertinggi. Dalam berbagai hasil riset, Polri menempati posisi sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun pernah melaporkan kepemilikan rekening gendut oleh petinggi Polri. Namun, alih-alih membongkar korupsi, yang ditunjukkan kepada publik adalah tindakan artifisial berupa seruan agar polisi tidak pamer kemewahan. Seolah yang jadi masalah adalah tindakan pamernya, bukan sumber uangnya.
Masalah ketiga adalah sistem seleksi. Sudah jadi rahasia umum dalam masyarakat bahwa sistem seleksi Polri penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seorang petani harus menjual sawah yang uangnya akan digunakan untuk mendaftarkan anaknya jadi polisi. Dengan sistem seleksi seperti itu, mustahil kita bisa memiliki polisi yang profesional dan tidak korup.
Keempat adalah menghentikan politisasi Polri. Politisasi Polri terjadi di setiap rezim pemerintahan. Kekuatan politik senantiasa berusaha mengontrol Polri dan menggunakannya untuk menjaga kepentingan penguasa. Politisasi Polri kian parah ketika petinggi polisi menempati berbagai jabatan, mulai ketua KPK, kepala BIN, hingga ketua PSSI. Politisasi akan selalu menjadikan Polri sebagai tukang gebuk penguasa.
Reformasi Polri hanya mungkin terjadi ketika empat area itu dibongkar dan dibereskan. Terus melawan lupa dan merawat keberanian untuk terus bersuara adalah upaya minimal yang bisa kita lakukan. (*)
Terbit di Jawa Pos Kami Tak Lupa