oleh Okky Madasari

Kemenangan Timnas Sepakbola Indonesia dalam SEA Games 2023 adalah kebangkitan. Demonstrasi melawan rancangan undang-undang bermasalah adalah kebangkitan. Solidaritas dokter dan dosen yang memperjuangkan kesejahteraan juga bentuk kebangkitan.

Move Forward - yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti melangkah ke depan - memenangkan pemilu Thailand yang digelar 14 Mei lalu. Partai oposisi yang dipimpin anak muda berusia 42 tahun, berhaluan progresif dan mengusung ideologi kiri sosialisme-demokratis berhasil menumbangkan rezim militer yang dominan menguasai Thailand dari masa ke masa. 

Kemenangan partai Move Forward menjadi salah satu tonggak kebangkitan atas kesadaran politik rakyat Thailand yang sekaligus jadi pemecut kesadaran banyak orang di Asia Tenggara termasuk di Indonesia yang tak lama lagi akan menggelar pemilu. Dari Thailand kita kembali belajar makna menjadi muda dan progresif. Sebab muda tak semata soal usia, namun lebih pada semangat untuk terus menyongsong perbaikan dan perubahan. Sementara progresif merujuk pada upaya untuk mereformasi sistem demi menuju perbaikan.

Tiga hari setelah pemilu Thailand, Timnas Sepakbola Indonesia mengalahkan Timnas Thailand dalam SEA Games 2023 yang digelar di Kamboja. Ini merupakan kemenangan pertama tim sepakbola Indonesia setelah 32 tahun. Kemenangan ini juga diraih setelah rangkaian kabar buruk dunia sepakbola Indonesia: tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 nyawa, politisasi federasi sepakbola, hingga batalnya rencana penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia. 

Kemenangan Timnas adalah sebuah kebangkitan.

Kebangkitan tidak selalu perkara kemenangan. Ketika hari-hari ini kita melihat para dokter tiba-tiba demo turun ke jalan, itu adalah bentuk kebangkitan. Kelompok profesi yang selama ini cenderung apolitis, nyaris tak pernah bersuara atas isu publik, kini turun ke jalan untuk berdemonstrasi menolak RUU Kesehatan. Hari-hari ini kita juga melihat bagaimana dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi bersuara terbuka tentang beban kerja yang tak sebanding dengan rendahnya gaji mereka. 

Pekerjaan dosen dan dokter yang selama ini dicitrakan sebagai pekerjaan “priyayi”, berstatus sosial tinggi, tabu untuk membicarakan upah, kini didudukkan setara sebagai buruh - orang yang mendapat upah dengan menukar tenaga, keahlian atau waktunya.

Buruh - identitas yang sama sekali tak hina, terlanjur dibuat hina oleh kekuasaan. Akibatnya banyak yang menolak disebut buruh dan anti demonstrasi karena konon hanya buruh yang demonstrasi di jalan. 

Kesadaran bahwa dokter, dosen, dan semua profesi yang mendapat upah adalah buruh merupakan sebuah kebangkitan. 

Sepanjang Sejarah

Sepanjang sejarah, momentum kebangkitan sebuah bangsa selalu digerakkan oleh ide-ide progresif dan semangat untuk mengubah kondisi. Kebangkitan tak akan pernah hadir dalam situasi mempertahankan kekuasaan dan ketertundukan gagasan.

Berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang menyemai kesadaran nasionalisme sebuah bangsa terjajah merupakan salah satu tonggak awal kebangkitan bangsa Indonesia. Pemuda-pemuda yang mengenyam pendidikan Belanda dan terpapar gagasan-gagasan Barat terusik atas kondisi dalam masyarakat dan memutuskan untuk bergerak bersama. 

Memang benar bahwa pendiri Boedi Oetomo hanya para lelaki kelas atas Jawa - sebuah cerminan atas situasi zaman itu, di mana pendidikan dan informasi hanya bisa diakses oleh golongan tertentu dalam masyarakat. Fakta itu tak menggugurkan kebenaran bahwa Boedi Oetomo merupakan organisasi sosial-politik pertama yang didirikan oleh bumiputera dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan. Boedi Oetomo adalah kebangkitan sebuah bangsa yang sekian lama dinina-bobokkan oleh penjajahan.

Boedi Oetomo hanyalah sebuah awal - satu dari rangkaian kebangkitan-kebangkitan lainnya. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, Reformasi 1998 adalah tonggak-tonggak kebangkitan yang mewujud dalam peristiwa politik. Pada setiap momentum kebangkitan itu, perubahan sistem sosial, sistem politik, budaya dan cara pandang terjadi. 

Kebangkitan tidak melulu mewujud dalam sebuah peristiwa politik berskala besar. Momentum kebangkitan hadir dalam surat-surat Kartini, juga dalam upaya Tirto Adhi Soerjo menggugat kesewenang-wenangan penguasa - baik itu penguasa kolonial maupun penguasa lokal - melalui tulisan-tulisan di koran. 

Kebangkitan sebuah bangsa juga tampak dalam karya-karya sastra penulis Tionghoa sebelum era Balai Pustaka yang telah menghadirkan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang hidup di Nusantara. Sajak-sajak Chairil Anwar yang menandai sebuah era baru dalam sastra atau lagu-lagu Rhoma Irama yang menggoyangkan tubuh dan kesadaraan jutaan manusia juga merupakan sebuah kebangkitan.

Di era internet, kebangkitan itu bisa menjelma dalam konten-konten TikTok atau utas Twitter. Ketika seorang anak muda dengan sadar membuat video yang mengkritik pemerintah daerah yang abai terhadap kondisi jalanan yang rusak atau ketika seorang selebritis menggunakan Instagramnya untuk menyebarkan pengetahuan tentang kesetaraan, maka mereka itulah agen-agen kebangkitan.  

Dalam arena politik praktis, pemilu yang digelar lima tahun sekali semestinya bisa menjadi momentum kebangkitan. Melalui pemilu, rakyat kembali diingatkan bahwa kita yang punya kuasa. Rakyatlah yang memutuskan pada siapa hendak memberi mandat. Sebagai momentum kebangkitan, pemilu juga menjadi kesempatan untuk mengoreksi dan menilai bagaimana mandat itu digunakan selama lima tahun ini. 

Bagi seorang politisi, semangat kebangkitan semestinya menjadi dasar dalam memperjuangkan mandat rakyat. Kebangkitan seorang politisi akan terlihat dari caranya bekerja; apakah ia sedang menjadi petugas partai atau dia adalah seorang pelayan rakyat. 

Kebangkitan pun bisa mewujud dalam upaya bertahan hidup setiap individu yang bahkan tak tersimpan dalam ingatan banyak orang apalagi tercatat dalam buku sejarah. Pada akhirnya, kebangkitan adalah wujud penolakan kita untuk tunduk pada keadaan dan kekuasaan.
 

Terbit di Jawa Pos

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan