Pasung Jiwa merupakan novel yang kompleks. Novel ini membicarakan berbagai aspek. Mulai dari transgender, ketimpangan sosial, perilaku abnormal, dan lain-lain. Fenomena atau realita apa yang melatarbelakangi pembuatan novel Pasung Jiwa?
Ide utamanya adalah isu ketidakadilan dan keterkengkangan yang dialami banyak individu, utamanya transgender. Dari sudut pandang kehidupan seorang transgender kemudian bisa terpotret lapis-lapis ketidakadilan dalam masyarakat.
Dalam sebuah wawancara di Female Zone pada tahun 2017, Mba Okky pernah mengatakan: “Kebebasan seharusnya dimiliki setiap orang”, lalu untuk menggambarkan itu, dibuatlah tokoh transgender dalam Pasung Jiwa karena transgender mewakili manusia pada umumnya. Mengapa transgender? Mengapa bukan sosok lain yang dapat mewakili kebebasan itu? (Sebab transgender dalam masyarakat kita masih menjadi kontroversi)
Karena memang transgender adalah bagian dari kelompok minoritas yang harus mendapat suara. Banyak ketidakadilan yang mereka alami. Transgender mengalami banyak ketidakadilan dan keterkungkungan mulai dari aspek paling personal (tubuh) hingga negara. Tapi kemudian kita juga bisa melihat, banyak hal yang dialami transgender sebenarnya juga terjadi pada yang bukan transgender.
Berbicara tentang transgender, tentu tidak lepas dari LGBT. Bagaimana pandangan Mba Okky tentang fenomena LGBT? Apakah LGBT mewakili kebebasan?
Kebebasan untuk memilih orientasi seksual merupakan bagian dari hak asasi manusia. Tentu ini bagian dari kebebasan yang harus diperjuangkan.
Di dalam novel, Mba Okky saya amati lebih menonjolkan aspek kejiwaan. Apa yang sebenarnya ingin Mba Okky sampaikan melalui aspek tersebut terkait dengan kebebasan?
Mendapatkan kemerdekaan/Kebebasan merupakan hasrat dalam jiwa setiap manusia. Tapi kemudian manusia dibenturkan dengan norma, aturan, berbagai larangan yang mengekang. Kondisi itu kemudian menjadi pertarungan dalam diri tiap manusia.
Mba Okky saya amati sangat intens sekali membicarakan kejiwaan dalam Pasung Jiwa. Apakah sebelum menciptakan Pasung Jiwa, Mba Okky melakukan riset lebih dulu? seperti misalnya bertemu dengan pasien RSJ atau berdiskusi secara langsung dengan pelaku transgender…?
Riset menjadi bagian utama dalam tiap proses menulis saya. Untuk Pasung Jiwa saya bicara langsung dengan transgender, tapi tidak dengan pasien RSJ. Pengetahuan saya tentang Rumah Sakit Jiwa bersumber dari studi pustaka (baca buku).
Menyambung pertanyaan nomor 5, jika iya, adakah role mode di kehidupan nyata yang menjadi tokoh dalam Pasung Jiwa?
Tidak. Itu murni tokoh ciptaan saya. Tapi dalam Pasung Jiwa ada karakter Marsini, yang terinspirasi dari Marsinah.
Saya tertarik dengan sebuah kutipan dalam Pasung Jiwa yang berbunyi: “ Orang yang tak waras justru orang yang sepenuhnya memiliki dirinya. Orang yang kehilangan kewarasan adalah orang-orang yang sepenuhnya punya kesadaran.” (Pasung Jiwa hal 119). Bagaimana pandangan Mba Okky tentang orang-orang sakit jiwa?
Ini saya banyak terpengaruh oleh pemikiran Michel Foucault. Orang-orang dianggap sakit jiwa karena dianggap menyimpang dari norma dalam masyarakat. Tapi siapa yang menentukan norma? Siapa yang menentukan sesorang menyimpang? Power. Kekuasaan.
Fokus penelitian saya adalah perilaku abnormal yang ada pada Pasung Jiwa seperti transgender, bunuh diri, pelacuran, dan sodomi. Sebelumnya juga kita sudah banyak membicarakan tentang transgender. Nah, bagaimana pandangan Mba Okky terhadap fenomena pelacuran, bunuh diri, dan sodomi? Apa hubungannya dengan kebebasan?
Semuanya harus dilihat sesuatu konteksnya. Pelacuran merupakan bagian dari kebebasan jika pelakunya benar-benar melakukan itu karena kemauannya, bebas dari tekanan apapun. Tapi itu bukan kebebasan jika ia dipaksa germo dan sebagainya. Sodomi bagian dari kebebasan jika dilakukan dua manusia dewasa dan tanpa tekanan. Tapi itu bukan kebebasan jika salah satu terpaksa, apalagi di bawah usia. Bunuh diri, pada prinsipnya setiap individu bisa melakukannya. Tapi posisi saya dan karya-karya saya justru menyebarkan semangat keberanian untuk menghadapi kehidupan.
Karena penelitian saya menggunakan pendekatan psikologi pengarang, di mana saya harus mengaitkan karya dengan kehidupan pengarang, maka sebelumnya saya mohon maaf bila pertanyaan ini sedikit lancang. Adakah pengalaman masa kecil Mba Okky dalam novel Pasung Jiwa? Jika ada, pengalaman yang seperti apa?
Dalam novel ini tidak ada. Semuanya adalah kesadaran, imajinasi, dan pengetahuan yang baru saya dapatkan di usia saya yang dewasa. Dulu saya tak peduli dengan isu LGBT. Saya baru mendapatkan kesadaran akan pentingnya hak LGBT baru di usia dewasa (Lengkapnya sila baca kolom saya di The Jakarta Post, "I hate Gay Back Then, They Were not Real)
Pertanyaan terakhir, apa harapan Mba Okky kepada masyarakat melalui Pasung Jiwa?
Saya ingin masyarakat utamanya pembaca novel ini memiliki keterbukaan pikiran, memiliki pikiran yang kritis dalam melihat segala hal dalam kehidupan. Untuk itu dibutuhkan keberanian untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, untuk berani mempertanyakan segala hal yang dianggap kebenaran dan kewajaran.
Wawancara dengan Corvi dari UNS, Maret 2018