Halo mbak Okky, sepertinya belakangan ini sedang asyik nulis kolom di media. bagaimana pandemi memengaruhi aktivitas menulis mbak Okky? 

Pandemi ini justru bisa membuat saya lebih fokus dan produktif dalam menulis. Selama pandemi ini saya menyelesaikan satu naskah novel, yang akan jadi buku keempat, buku penutup, seri novel anak-anak Mata. Bukunya sebentar lagi terbit. Selain itu rutin nulis kolom, sempat juga nulis cerita pendek bertema pandemi yang terbit di Kompas, dan tentu saja menulis ilmiah karena saya sedang studi doktoral. Bagi saya pandemi ini menjadi periode terbaik untuk kembali menghayati rasa, mengolah kegelisahan, lebih memahami realita.

Novel-novel Mbak Okky kerap membahas masalah sosial, pun begitu dengan yang dilakukan mbak Okky di medsos, kerap mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan berkembangnya berbagai produk best-seller macam UU ITE hingga polisi siber, apa tidak takut? 

Nah ini juga yang menarik. Dalam pandemi ini pula saya dihantam berita hoaks sebagai provokator demo dengan label WNI Singapura. Soal rasa takut, selama ini, sejak mulai menulis novel, saya sama sekali tak merasa takut dan tak seharusnya takut. Tapi situasi belakangan ini, mau tak mau, menumbuhkan rasa takut. Rasa takut yang lebih karena memikirkan dampaknya pada keluarga dan orang-orang terdekat saya. Misal kalau saya diciduk, sebenarnya bukan saya takut diciduk, tapi lebih bagaimana keluarga saya kalau saya diciduk. Saya juga melihat realita, bagaimana kalau kita sudah terjerat, akan susah sekali lolos. Kita belum bisa percaya sepenuhnya pada sistem hukum.

Tapi rasa takut itu tak juga bisa membuat saya diam dan berhenti bersuara. Selalu saja ada yang menggelisahkan yang membuat saya tak tahan untuk diam dan melihat. Rasa takut itu kemudian dikalahkan oleh kebutuhan yang tak kalah mendasar: untuk bersuara dan menyampaikan kegelisahan. Untuk terus mempertanyakan.

Rasa takut kini saya olah menjadi bentuk kehati-hatian. Jadi saya sangat mengukur agar setiap pernyataan dan tulisan saya tetap bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Sebagai medium penyampai pesan, kalau boleh diadu, pesan atau gagasan di novel dibanding opini di medsos, mana yang lebih efektif dalam tujuan menyadarkan penerima pesan? Atau mungkin peran keduanya berbeda? 

Keduanya berbeda. Cara bekerjanya juga berbeda. Opini di medsos bagi saya lebih bersifat spontan, reaksi atas isu-isu terkini yang terkait kepentingan publik. Suara di medsos akan lebih mudah mempengaruhi kebijakan, lebih mudah mendapat perhatian, tapi juga akan lebih mudah dilupakan. Sementara novel, kita sedang bicara tujuan jangka panjang. Kita sedang ingin mengubah pandangan pembaca, kita ingin mempengaruhi kesadaran satu-dua individu, yang mungkin suatu hari nanti jadi pemegang kebijakan – atau bisa juga tidak. Novel membentuk wajah kehidupan. Ini bukan kerja satu atau dua hari.

Sebagai medan pertarungan gagasan, dua-duanya dibutuhkan.
 

Kita sering mendengar bagaimana industri kreatif dihantam pandemi, tapi kenapa jarang terdengar dampaknya di dunia buku, baik dari penerbit mau pun penulis. Apakah industri buku memang lebih bisa ‘survive’ dibanding industri kreatif lainnya di tengah pandemi begini? 

Justru saya melihat industri buku salah satu yang paling terdampak. Ok, kita bisa melihat penerbit terus menerbitkan buku lalu mengandalkan jalur distribusi online seperti BukuAkik ini. Tapi mari kita lihat secara lebih detail. Jumlah buku yang dicetak berkurang drastis, yang biasanya sekali penerbitan bisa 3000 exemplar sekarang bisa kurang dari 1000 exemplar. Bahkan banyak yang hanya mengandalkan PO. Saya pribadi sebagai penulis, sangat tidak nyaman dengan mekanisme PO ini.

Distribusi online memang opsi terbaik. Tapi kita harus akui pasar kita belum sepenuhnya pindah ke online. Akibatnya, pasar yang terbentuk di toko buku hilang begitu saja karena selama pandemi banyak toko tutup dan atau banyak yang enggan ke toko buku. Kegiatan tatap muka penulis dan pembaca selama ini juga menjadi jalur distribusi. Tapi itu sama sekali tak bisa dilakukan. Saya juga salah satu yang berdampak. Tahun 2020 lalu harusnya saya merayakan 1 dekade perjalanan berkarya, dengan cetak ulang sampul baru semua karya saya, lalu booktour ke berbagai kota di Indonesia. Semuanya harus tertunda.

Pandemi memaksa kita beradaptasi dan terus mencari model baru yang ideal untuk industri buku. Tapi harus diakui, sampai hari ini, setahun setelah pandemi, kita masih belum menemukan formula baru itu.

Ada anggapan umum bahwa “orang dalam” membuat segalanya mudah, termasuk dalam dunia tulis-menulis, tapi mbak Okky sempat membantahnya lewat meme, di twitter.  Apakah ada tips, bagi penulis perempuan yang baru mau memulai buku pertamanya? 

Tips saya untuk penulis perempuan yang baru mau menerbitkan buku pertama: fokus pada kualitas karya kita. Miliki kepercayaan diri dan kepercayaan pada kemampuan kita. Ini bukan berarti kita merasa bahwa karya kita sudah paling baik. Ini justru bentuk kesadaran bahwa kita harus terus mengasah kemampuan dan belajar untuk memperbaiki kualitas karya. Cara belajar terbaik ya jelas dari karya-karya lain yang sudah ada. Kita tidak perlu untuk mencari patron, mencari cantolan, mendekati orang dengan harapan ia akan memuluskan jalan kita menerbitkan karya. No. Jangan lakukan itu. Menulis adalah perjalanan jangka panjang. Satu-satunya yang harus kita andalkan adalah diri kita sendiri.

Terakhir. Kemarin Nawal el Saadawi meninggal, apa ada kenangan yang berkesan tentang karya-karya beliau? 

Nawal El Saadawi itu salah satu yang memberi saya pondasi paling awal dalam berpikir, bersikap, dan berkarya. Lewat novelnya, saya belajar tentang arti keadilan dan kesetaraan. Dalam perjalanan selanjutnya, saya melihat bagaimana ia konsisten menggugat kapitalisme dan dominasi beberapa negara barat. Ia menggugat rezim di negaranya, ia anti militerisme, tapi pada saat yang sama ia juga melawan dominasi agama. Yang Nawal lawan adalah penindasan, ketimpangan, ketidakadilan, arogansi kekuasaan. Ia tak pernah takut untuk berdiri sendirian. Ia tak pernah takut untuk tak disukai atas apa yang ia katakan. Nawal adalah sebuah inspirasi dan teladan bagi saya, sebagai intelektual, pengarang, perempuan, dan manusia. 

Terakhir lagi, Mbak.. kayaknya udah lama gak belanja di buku akik, ditunggu orderannya ya hahahaha

Nah, inilah dampak pandemi yang paling nyata untuk saya. Sudah setahun lebih saya tak bisa pulang ke Indonesia dan beli buku-buku dari Indonesia. Nanti coba saya lihat biaya kirim ke Singapore berapa ya hehe

 

Percakapan dengan Buku Akik, Maret 2021

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan