oleh Okky Madasari

BERADA tak jauh dari Jakarta-sekitar empat jam perjalanan menggunakan mobil-masyarakat Baduy di pedalaman Banten masih kokoh dengan tradisi yang dimiliki. Hidup dengan rumah mungil terbuat dari bambu, tanpa listrik, tanpa kendaraan bermotor, dan dengan pakaian adat yang seragam.

Memiliki kesempatan libur selama tiga hari, saya dan tiga teman sengaja masuk Baduy dari Desa Nangrang-bukan Ciboleger sebagaimana jalur yang biasa dilewati wisatawan. Kami mampir di tiga desa Baduy Dalam, yakni Cikesik, Ciwanakarta, dan Cibeo, baru keluar dari Ciboleger. Padahal, jalur konvensional wisatawan biasanya hanya sebatas Ciboleger-Cibeo-kembali lagi ke Ciboleger.

"Gila, kalian masuk dari Nangrang? itu kan jauh sekali?" kata seorang teman petualang yang bertemu dengan kami di Ciboleger, sesaat sebelum bertolak ke Jakarta.

Tak ada jawaban yang kami berikan, hanya senyum kepuasan seraya menahan pegal-pegal di sekujur badan. Yup, memang jarak yang cukup jauh. Dua hari kami habiskan untuk menyusuri medan yang cukup sulit, becek, dan menyeberang puluhan sungai. Jaraknya melebihi perjalanan ke puncak Merbabu. Kata teman yang sudah melalang buana ke berbagai puncak Nusantara, naik gunung pun capeknya tidak seperti ini. Selama perjalanan, kami menginap di dua desa, Cikesik dan Balimbing. Cikesik merupakan Desa Baduy Dalam yang paling jauh dan paling jarang menerima tamu. Sedangkan Balimbing, desa Baduy Luar yang paling dekat dengan Ciboleger dan sudah menjadi langganan bagi wisatawan.

****

"Kalo punya uang mau dipakai apa, Ayah Narva?" tanya saya pada orang Baduy Dalam Cikesik tempat kami menginap. Kami berbincang di tengah cahaya lampu teplok, di sebuah ruangan berukuran sekitar 6x6 meter. Ruangan itu berfungsi sebagai tempat tidur, tempat masak, dan satu-satunya tempat beraktivitas. Tak ada satu pun perabot. Hanya periuk dan belanga yang tersusun rapi di samping pawon tempat memasak.

"Buat beli minyak, ikan asin, sama manik-manik," jawab Ayah Narva sambil tersenyum.

Orang Baduy biasa memanggil laki-laki yang sudah memiliki anak dengan ayah dilanjutkan nama anaknya. Narva adalah anaknya yang pertama, dari empat bersaudara. Narva juga sudah menikah dan sudah memiliki anak namun masih tetap tinggal di rumah tersebut. Bagi Suku Baduy, jumlah kompor yang ada di rumah menunjukkan jumlah kepala keluarga. Di rumah Ayah Narva ada dua kompor, satu milik Ayah Narva dan satunya milik Narva.

Pertanyaan soal uang, saya rasa sangat penting untuk ditanyakan. Melihat sekilas kehidupan mereka, seolah tak ada gunanya selembar alat tukar-menukar tersebut. Tak butuh sekolah, tak butuh beragam baju, tak butuh kendaraan, dan tak butuh beraneka perabotan ala orang kota.

"Memang sudah aturan adatnya kayak gitu," ujar Ayah Narva saat saya tanya soal berbagai pantangan orang Baduy, seperti tidak naik kendaraan dan tidak menggunakan listrik.

Orang Baduy memang suka sekali makan ikan asin. Setiap seminggu sekali ketika hari pasaran tiba, mereka menempuh jarak puluhan kilo ke pasar terdekat hanya untuk membeli ikan asin. Selain itu, tentu saja untuk membeli minyak goreng dan manik-manik.

Sebenarnya, tidak dari dulu orang Baduy membeli minyak goreng. Mereka membuatnya sendiri dari kelapa yang banyak terdapat di wilayah tersebut. "Tapi karena sekarang banyak yang jual ya beli saja," kata Ayah Narva.

Soal manik-manik, tak ada alasan khusus yang mereka kemukakan. Yang jelas, mereka menganggap manik-manik yang berwarna orange, merah, atau hijau, sebagai sebuah perhiasan yang berharga. Mungkin sama sebagaimana orang modern melihat emas dan berlian.

***

Semalam menginap di Cikesik, esok harinya kami melanjutkan perjalanan. Setelah sekitar empat jam berjalanan kami sampai di Cibeo, Desa Baduy Dalam, yang menjadi kunjungan utama wisatawan. Sama-sama Baduy Dalam namun memiliki suasana sangat berbeda dengan Cikesik. Sangat Ramai. Maklum, rombongan besar dari sebuah SMU tengah menginap di sana. Rumah setiap penduduk dipadati dengan ABG-ABG kota besar, dengan dandanan khas mereka.

Agak aneh juga melihatnya. Apalagi setelah saya tahu suasana seperti itu dipastikan akan terjadi setiap akhir pekan. Bagi orang Baduy ini bisa menjadi berkah. Setiap menginap di rumah penduduk tamu pasti memberikan ongkos 'inap'. Mereka pasti juga membawa beraneka bekal makanan yang belum pernah dirasakan masyarakat Baduy sebelumnya. Orang Baduy pun kemudian berlomba membuat beraneka barang khas Baduy untuk cinderamata. Perjalanan ke lokasi yang cukup jauh juga memberi kesempatan bagi orang Baduy untuk menjadi penunjuk jalan sekaligus porter. Hasilnya, mereka tentu bisa membeli banyak ikan asin, minyak goreng, dan manik-manik.

Namun, di sisi lain, saya melihat kini orang Baduy hampir tak ada bedanya dengan orang modern. Berlomba-lomba mencari uang. Hanya pemanfaatannya saja yang berbeda. Padahal, sebagai suku tradisional, saya yakin mereka sebeanarnya bisa dan biasa memenuhi kebutuhan sendiri. Mereka bisa memintal kain sendiri, bisa membuat minyak sendiri, dan mereka juga bisa membuat perhiasan sendiri. Apalagi dari cerita mereka, mereka juga masih biasa melakukan perburuan untuk mendapatkan binatang-binatang tertentu. Dalam pengelompokan masyarakat tradisional, mereka masih masuk dalam kategori berburu dan meramu. Lalu kenapa kini ketergantungan mereka pada uang sedemikian besar?

Kearifan Lokal

Di tengah berbagai ancaman modernitas, ada beberapa kearifan lokal masyarakat Baduy yang perlu diteladani. Dalam hal pangan misalnya. Orang Baduy memiliki banyak lumbung-lumbung beras, yang bentuknya menyerupai rumah, hanya ukurannya saja yang lebih kecil. Di lumbung ini, beras bisa tahan hingga dua puluh tahun. Tikus pun tak bisa mendekatinya. Padahal, lumbung-lumbung ini berada di dekat sawah. Konon, mereka memiliki ramuan rahasia berupa daun-daun tertentu yang ditaruh di dalam lumbung.

Bagi orang Baduy, beras merupakan kebutuhan yang sangat vital. Mereka memiliki prinsip bahwa beras harus selalu tersedia di lumbung, dan jumlahnya tidak boleh sedikit. Karena itu, orang Baduy menanam padi dalam jumlah yang cukup banyak namun senantiasa terjaga kualitasnya.

Mungkin, pemerintah sekali-kali perlu studi banding ke Baduy untuk mencapai target swasembada pangan 2009.

 

 

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan