Oleh: Okky Madasari
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, banyak hal telah dicapai dengan diplomasi dan sekaligus banyak hal telah dihancurkan oleh agresi. Dahulu agresi itu berupa pengiriman pasukan, penyerangan dengan bermacam senjata. Kini, agresi itu semudah menggerakkan jari-jari tangan, menyerang dengan keji, tak manusiawi. Ironisnya, agresi ini justru dilakukan setelah diplomat-diplomat muda kita menjalankan tugas sebaik-baiknya di meja diplomasi.
Penyerangan masif terhadap akun media sosial resmi negara Vanuatu setelah negara tersebut menyinggung persoalan Papua dalam sidang PBB, telah menunjukkan level kebarbaran kita sebagai bangsa. Olok-olok rasis yang menghina warna kulit dan bentuk fisik dihujamkan tanpa peduli bahwa kulit itu serupa dengan mereka yang kita akui sebagai saudara. Serangan-serangan tak beradab itu akan membuat siapa pun yang berakal sehat justru kembali bertanya: Benarkah kita mencintai Papua? Apalagi jika benar dugaan pejabat Vanuatu bahwa serangan ke media sosial itu terkoordinir dan bukan tindakan spontan dari warganet, maka itu menunjukkan bahwa serangan rasis dan barbar itu adalah bagian dari langkah resmi yang diambil otoritas.
Kemerdekaan Papua adalah satu isu yang bisa dibicarakan terpisah dari rasisme. Apakah bangsa Papua ingin merdeka atau tetap ingin menjadi bagian Indonesia adalah hak orang Papua itu sendiri untuk menentukan. Diplomasi yang menempatkan persuasi, negosiasi, pendekatan sebagai kawan yang setara adalah cara yang harus digunakan jika kita ingin tetap membujuk Papua agar memilih bersama kita. Itu artinya, diplomasi bukan sekadar berbicara di sidang PBB dan forum internasional. Diplomasi yang jauh lebih penting justru adalah negosiasi kita pada orang Papua itu sendiri. Para juru runding dengan berbagai latar belakang yang harus lebih banyak dikirim ke Papua, bukan tentara bersenjata.
Di sisi lain, ketika kita bicara tentang rasisme, menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita semua untuk turut melawan dan menghapus segala bentuk rasisme. Yang sekarang terjadi justru sebaliknya. Kita menjadi pelaku rasisme dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik itu secara sadar maupun tak sadar, dalam tindakan atau hanya dalam pikiran.
Kita tak pernah merasa bersalah, ketika menolak orang dari suku tertentu untuk menyewa kamar yang kita miliki atau mengontrak rumah di sekitar tempat kita tinggal. Kita merasa sudah hal yang lumrah untuk menganggap orang dari suku tertentu bodoh, malas, pelit, atau pelaku kejahatan – tanpa mau membuka mata bahwa anggapan seperti itu bukanlah fakta yang terberi, melainkan sengaja dibentuk dan akibat dari sistem kekuasaan sejak dulu kala. Ketika orang dari suku atau ras tertentu mendapat label bodoh, yang sesungguhnya terjadi adalah keterbatasan akses bagi mereka untuk menjangkau pendidikan yang baik. Bukan sekadar karena mereka tak mampu, tapi karena sistem ekonomi telah membuat mereka lebih miskin dan tak punya keleluasaan untuk menentukan nasib sendiri. Ketika seseorang dari ras tertentu terlihat malas, jangan-jangan karena dalam pekerjaan asli mereka sebagai petani atau pelaut, mereka hanya butuh beberapa jam saja untuk bekerja dalam sehari. Ketika seseorang dari suku tertentu dianggap sebagai pelaku kejahatan, kenapa kita tak pernah menghitung pelaku kejahatan serupa dari suku lain yang jelas lebih banyak jumlahnya?
Kita terus mempertahankan labelisasi dan stereotip itu, mempercayainya sebagai kebenaran, hingga akhirnya itu seolah menjadi fakta dan kebenaran. Kita terus percaya bahwa kulit yang terang itu lebih unggul dan kulit yang lebih gelap selayaknya memang selalu lebih rendah, tanpa kita mau belajar bagaimana asal mula sejarah gelap peradaban kulit warna terang yang menculik bangsa yang kulitnya lebih gelap untuk dijadikan budak. Bahkan kita lupa bahwa kita pun bagian dari sejarah itu. Ketika bangsa yang kulitnya lebih terang datang ke negeri ini, mereka menjadikan nenek moyang kita pekerja paksa, merampas tanah-tanah kita, menganggap kita adalah bangsa yang tak beradab dan harus dididik oleh tuan-tuan yang datang dari negeri jauh itu untuk tahu apa itu peradaban. Lalu sekarang kita mengulang hal yang sama, pada mereka yang kulitnya lebih gelap dibanding kulit kita.
Manusia tidak dilahirkan sebagai rasis. Manusia dibentuk dan dididik untuk menjadi rasis. Sikap rasis kita merupakan hasil dari perilaku orangtua kita, tontonan televisi, buku yang kita baca, cerita-cerita yang kita dengar, aturan-aturan mulai dari level yang tak tertulis di tingkat keluarga hingga aturan dalam undang-undang.
Dalam persoalan Papua, sulit sekali bagi kita untuk mengakui bahwa kita memang rasis, bahwa kita memandang orang asli Papua sesuai dengan prasangka yang tertanam dalam pikiran kita, bahwa kita percaya posisi dan kemampuan kita lebih unggul daripada mereka. Segala komentar pada Vanuatu sesungguhnya hanya menegaskan wajah asli rasisme kita.
Sebagaimana rasisme yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka anti-rasisme juga bukan hal yang bisa dimiliki seseorang begitu saja. Ia adalah buah dari pengalaman dan pengetahuan. Ia adalah rasa malu dan gelisah yang tak buru-buru kita matikan ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan akal sehat kita.
Komentar-komentar tak beradab pada Vanuatu sekali lagi hanya mengingatkan betapa masih rasis dan barbarnya kita sebagai bangsa.
Dimuat di Jawa Pos Kita Masih Rasis dan Barbar