Oleh: Okky Madasari
Saat ratusan ribu orang berdemonstrasi di Jakarta, saya memilih untuk membaca ulang cerita pendek Kipandjikusmin Langit Makin Mendung yang terbit di majalah Sastra pada 1968. Cerita pendek menggegerkan itu berkisah tentang turunnya Muhammad dari langit ke sekitar Monas untuk mencari tahu kenapa semakin sedikit umatnya yang masuk ke surga.
Langit Makin Mendung, sebuah karya sastra yang lahir dari buah pikir dan buah imajinasi pengarangnya, justru digugat ke pengadilan karena dianggap menistakan agama. Menistakan Islam. H.B. Jassin, sang editor, menolak untuk membuka identitas Kipandjikusmin dan merelakan dirinya untuk menanggung hukuman yang dijatuhkan pengadilan. Majalah yang dia kelola pun diberedel dan tak bisa terbit lagi. Semuanya hanya karena sebuah karya fiksi.
Sulit untuk tidak mengaitkan apa yang terjadi pada Ahok dan aksi besar-besaran 4 November dengan apa yang terjadi pada cerita pendek Kipandjikusmin 48 tahun lalu. Sama sulitnya untuk tidak mengingat apa yang menimpa Arswendo Atmowiloto pada 1990. Arswendo harus dihukum lima tahun penjara hanya karena jajak pendapat yang dibuatnya menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh pilihan pembaca nomor 11, satu peringkat di bawah Arswendo yang menempati posisi nomor 10.
Yang terjadi pada Ahok tak ada bedanya dengan yang terjadi pada Kipandjikusmin dan Arswendo. Yang sedikit membedakan hanyalah persoalan Ahok ini terkait dengan politik, perebutan kekuasaan, dan upaya memenangkan pertarungan pilkada DKI Jakarta. Asal muasal keributan dan aksi besar 4 November ini pun sudah jelas kata-kata yang dilontarkan Ahok dalam konteks pilkada DKI Jakarta.
Yang juga membedakan barangkali adalah posisi tiga orang itu. Ahok memiliki posisi politik yang kuat, yang membuatnya tak mudah diadili massa, tak mudah diseret ke pengadilan, menjadi tersangka, apalagi masuk penjara hanya karena urusan sepele yang menjadi besar hanya karena mendapat embel-embel ’’penistaan agama’’.
Seandainya ini bukan seorang Ahok, saya yakin kasus ini akan dengan cepat diselesaikan kepolisian, Ahok diciduk dari rumahnya, dipenjara sembari kasusnya disidang, lalu ujungnya dipenjara. Setahun, tiga tahun, atau lima tahun. Tak perlu pemberitaan berkepanjangan, tak perlu elite politik sibuk bermanuver sana-sini, tak perlu ribuan orang turun ke jalanan.
Ya, semua ribut besar ini memang gara-gara seorang Ahok yang tak bisa menjaga mulutnya dengan bijak. Tapi, lebih dari sekadar persoalan Ahok, segala huru-hara ini adalah buah persoalan sistemik dan fundamental bangsa ini yang terus memelihara kebodohan, kebebalan, pikiran sempit, kemalasan berpikir, serta kebencian. Sialnya, itu semua dilegitimiasi dalam sebuah perangkat undang-undang yang sah: Undang-Undang Penodaan Agama.
Undang-Undang Penodaan Agama jelas sebuah perangkap untuk akal sehat dan nurani kita. Ia bisa memenjarakan seorang pengarang hanya karena imajinasi dan kreativitasnya. Ia menghukum orang hanya karena membuat sebuah jajak pendapat. Dengan mudah pula ia akan menghukum orang yang bicara tentang ayat Alquran sesuai pemahaman yang dimilikinya. Dengan mudah pula Undang-Undang Penodaan Agama akan dipakai orang-orang yang punya kepentingan untuk mencapai tujuannya.
Sebagai seorang pengarang, tentu saya bisa membayangkan betapa dekatnya kesialan nasib yang menimpa karya Kipandjikusmin dengan diri saya. Siapa yang bisa mengatur dan melarang imajinasi dan pikiran seseorang? Bagaimana saya bisa membatasi imajinasi dan pikiran saya sendiri?
Kata-kata yang diucapkan Ahok sesungguhnya juga bukan kata-kata yang tak pernah kita dengar dalam pergaulan kita sehari-hari, baik hanya sedang bercanda maupun dalam perdebatan serius. Siapa yang berhak menjadi hakim atas itu semua? Akankah semua harus dibawa ke kantor polisi dan berakhir dengan penjara hanya karena aturan hukum memberi kita ruang untuk melakukannya?
Kali ini kesialan menimpa seorang Ahok. Lain waktu ia bisa menimpa kita. Sialnya, kita bukan seorang politikus dan pejabat yang memiliki posisi tawar tinggi. Kita tak punya teman di kekuasaan yang bisa mengatur polisi. Kita juga bukan pemilik media yang bisa mengatur opini.
Menjunjung tinggi aturan hukum adalah sebuah kewajiban. Tapi, berani mempertanyakan aturan yang tak lagi sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan tentu jauh lebih dibutuhkan.
*Dimuat di Jawa Pos