Oleh: Okky Madasari
Apakah maaf-memaafkan berlaku juga bagi rakyat dan pejabat?
Haruskah kita memaafkan kesalahan-kesalahan negara sebagaimana kita memaafkan teman dan tetangga?
Lebaran 2024 adalah Lebaran Politik. Jatuh tak lama setelah penetapan hasil Pemilu 2024 oleh KPU dan di tengah-tengah gugatan pemilu, Lebaran tahun ini bukan hanya momen silaturahmi dan bermaaf-maafan, tapi juga menjadi momen politik untuk saling menunjukkan dukungan dan kekuatan, juga jadi kesempatan untuk lobi-lobi mencuri kesempatan.
Presiden Jokowi kembali menggelar open house di Istana, setelah empat tahun absen. Menteri-menteri dan pejabat tinggi mengantre untuk bersalaman dengan Presiden dan Ibu Negara. Rakyat juga dipersilakan hadir sekaligus untuk menerima sembako. Saking banyaknya yang mengantre, lalu ricuh sampai ada yang terjatuh bahkan pingsan.
Menteri-menteri, pejabat, politisi pun menggelar open house sendiri-sendiri dalam berbagai versi. Prabowo Subianto, presiden terpilih berdasarkan ketetapan KPU, sudah menggelar kumpul-kumpul sejak malam takbiran. Yang hadir adalah para pendukung, baik dari kalangan politisi maupun selebritis. Yang menarik, tuan rumah yang mengadakan open house ini akan membalas kehadiran tamunya dengan gantian menghadiri open house. Contohnya setelah Ketua Partai pendukung Prabowo menghadiri open house Prabowo, berikutnya gantian Prabowo akan berkunjung ke open house-open house yang digelar para Ketua Partai itu.
Di sisi lain, kita sama-sama bisa melihat, tak ada silaturahmi antara Megawati dan Jokowi. Antara dua orang tersebut, sepertinya pintu maaf sudah tertutup rapat. Sebuah ironi di saat semua orang justru saling mengumbar kata mohon maaf lahir dan batin. Tapi sesungguhnya ini bukan hal yang asing. Kita sama-sama tahu, tak ada silaturahmi dan kata saling memaafkan juga antara SBY dan Megawati. Saling mengunjungi dan bermaafan juga tidak terjadi antara Capres yang kemarin berkompetisi dan politisi-politisi yang berbeda koalisi.
Dalam dunia politik yang penuh basa-basi dan nir ideologi, Lebaran adalah arena transaksi; transaksi pengaruh, transaksi kedekatan, transaksi kepentingan. Kata maaf saling diucapkan, tapi tak ada yang benar-benar minta maaf atas kesalahan yang nyata dilakukan. Politisi dan pejabat hanya berkumpul dengan sesamanya, tanpa menyadari bahwa kesalahan terbesar mereka justru pada rakyat, pada warga negara.
Kawula vs Warga Negara
Ada idiom yang mengatakan bahwa masyarakat kita pelupa dan pemaaf. Kalau dilihat secara mikro - relasi antar sesama - mungkin idiom itu tak benar. Banyak orang yang bermusuhan lama dengan tetangga, ada saudara yang seumur hidup tak saling sapa, banyak kisah tentang dendam dan kebencian yang berujung hingga kekerasan, santet, atau pembunuhan.
Namun, ketika kita geser pandangan kita untuk melihat konteks yang lebih luas dan struktural, kita akan temukan bahwa ada kebenaran dalam kata-kata tersebut. Contoh paling dekat adalah ketika ada sebuah kasus melibatkan pesohor yang ramai di media, dalam hitungan hari kasus itu akan dilupakan begitu saja dan pelakunya pun akan dengan mudah dimaafkan seolah tak pernah melakukan kesalahan apa-apa. Apalagi ketika yang terlibat dalam kasus itu adalah selebritis yang rupawan, semua kesalahan akan dengan mudah dimaafkan.
Dalam kehidupan bernegara, sifat pelupa dan pemaaf terlihat dalam cara pandang kebanyakan orang atas kesalahan-kesalahan politisi dan pejabat negara. Bahkan banyak yang tak menyadari bahwa seorang pejabat negara bisa melakukan kesalahan yang merugikan rakyatnya.
Sifat pelupa dan pemaaf ini berakar dari ketidaksadaran atas kedudukan sebagai warga negara. Warisan feodalisme masih menyisakan kesadaran kawula dalam diri banyak orang. Para kawula hanyalah menumpang hidup di tanah kerajaaan, tanah milik penguasa. Karena hanya menumpang, tentu tak boleh menuntut macam-macam. Para penggede alias elite tak pernah punya salah, juga tak punya kewajiban apa-apa.
Lawan dari kesadaran kawula adalah kesadaran warga negara. Sebagai warga negara, seorang individu menyadari bahwa hak-haknya dilindungi oleh konstitusi dan para pengelola negara wajib untuk melindungi dan memenuhi hak-hak tersebut. Hak-hak warga negara bisa berupa hak ekonomi, hak untuk hidup layak, hak untuk mendapat jaminan kesejahteraan hingga hak-hak politik untuk turut menentukan bagaimana seharusnya negara dijalankan.
Sebagai warga negara, rakyat berhak untuk menuntut, bahkan berhak untuk marah dan menghukum para elite pengelola negara yang tak menjalankan amanat. Seorang warga negara tak perlu untuk munduk-munduk, merasa kecil di hadapan para pejabat. Justru para pejabat itulah yang harus munduk-munduk minta maaf atas ketidakbecusan dan segala kesalahan.
Tak Cukup Maaf
Bicara soal maaf-memaafkan antara warga negara dan pejabat pengelola negara saat ini, ada beberapa lapis situasi yang perlu untuk dipahami.
Pertama, belum adanya kesadaran dari negara dan pejabat publik untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf pada warganya. Ini berlaku mulai dari yang sifatnya kesalahan dalam pengambilan sebuah kebijakan hingga ke sebuah bentuk kejahatan negara pada warga negaranya. Contoh nyatanya mulai dari kebijakan penanganan Covid yang mengakibatkan kematian begitu banyak orang hingga kejahatan berupa kekerasan dan pembunuhan seperti kasus seputar 98 atau pelanggaran HAM 65.
Kedua, bahkan ketika pejabat atau negara secara resmi menyatakan permintaan maaf, ada jenis-jenis kesalahan yang tak selesai meski warga sudah memaafkan. Tetap harus ada sebuah mekanisme hukum untuk mengukur akuntabilitas pejabat negara. Ada proses pertanggungjawaban yang bisa diukur baik secara etika maupun hukum.
Pengakuan adanya kesalahan menjadi awal dari pertanggungjawaban hukum. Inilah bentuk kemenangan sesungguhnya bagi setiap warga negara. ***
Terbit di Jawa Pos Lebaran Politik