Oleh: Okky Madasari
Saya orang Jawa, lahir dan tumbuh besar di Magetan, kuliah di Jogja, dan membaca buku-buku Ben Anderson untuk paham apa dan bagaimana menjadi Jawa. Saya terlahir sebagai Islam dan percaya bahwa saya dan keluarga saya masuk ke dalam golongan Islam abangan berkat adanya penelitian Clifford Geertz yang masyhur tentang santri, priyayi, dan abangan di Kediri puluhan tahun silam.
Bukan saya bermaksud pamer atau mau sok intelektual dengan menyebut nama-nama besar itu. Ini justru sebuah pengakuan yang membuat saya malu pada diri saya sendiri karena gagal mengingat-ingat ilmuwan-ilmuwan Indonesia mana yang hasil risetnya begitu mempengaruhi saya. Ini juga sekaligus penyesalan betapa kita sangat tergantung pada orang-orang dari jauh, pada pengetahuan yang datang dari luar sana, untuk tahu dan paham tentang diri kita sendiri.
Kepergian Ben Anderson yang membuat kita merasa sangat kehilangan – bahkan bagi orang seperti saya yang hanya pernah sekali bertemu dan selebihnya hanya mengenalnya lewat karya-karyanya – sekaligus membuat kita harus mempertanyakan kelanjutan riset-riset ilmiah tentang Indonesia. Apakah ilmuwan Indonesia bisa melakukan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang seperti Ben, Geertz dan ilmuwan-ilmuwan asing lainnya?
Sudah bukan rahasia lagi jika ingin mempelajari tentang Indonesia, kita yang orang Indonesia ini justru harus pergi ke Leiden atau Cornell. Minimnya penelitian-penelitian berkualitas tentang Indonesia yang dilakukan oleh ilmuwan Indonesia tentu menjadi penyebab utamanya. Riset sepertinya bukan prioritas bagi kebanyakan sarjana-sarjana kita. Menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti sesuatu dengan resiko kehilangan sorot media dan tentu saja kehilangan kesempatan mendapat uang sudah jelas bukan pilihan yang menyenangkan.
Lebih mengasyikkan bagi sarjana-sarjana masa kini untuk bergabung dengan lembaga survey, melakukan penelitian berdasarkan pesanan politisi dan partai politik daripada harus mengabdikan diri dan menghabiskan umur untuk kerja penelitian sebagaimana yang dilakukan Ben dan Geertz.
Maka bagi sarjana-sarjana di Indonesia masa kini, capaian keilmuan bukanlah hasil riset, melainkan sebutan pakar yang dilekatkan televisi setelah sekali dua kali menjadi komentator di layar kaca. Jika tak mendapat kesempatan muncul di layar kaca, tak perlu terlalu khawatir: Layar-layar media sosial memberi begitu banyak kesempatan bagi para sarjana, doktor, dan guru besar – bagi siapapun – untuk menjadi pakar di bidang apapun yang tanpa harus repot-repot melakukan penelitian.
Komentar-komentar “ilmiah” di media sosial diproduksi dengan begitu cepat oleh sarjana-sarjana kita. Mulai isu politik, masalah sosial, dari tingkat nasional maupun global, lengkap dengan solusi-solusinya, dan hebatnya: Semua dilakukan tanpa perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti itu semua.
Tentu, saya yang penulis novel ini juga paham, kualitas sebuah riset tidak ditentukan oleh lama atau tidaknya penelitian dilakukan. Kalau bisa dilakukan dengan cepat, kenapa pula kita harus repot-repot menghabiskan waktu lama-lama hanya untuk meneliti. Berapa uang yang dibutuhkan untuk bisa tinggal di sebuah desa bertahun-tahun hanya untuk melihat, mencatat, dan mempelajari bagaimana orang-orang hidup? Siapa yang mau membiayai penelitian bertahun-tahun dari satu gunung ke gunung lain? Siapa yang akan membantu membayar cicilan rumah dan biaya hidup yang semakin mahal dari hari ke hari?
Sudah cukup benarlah apa yang dilakukan sarjana-sarjana kita sekarang ini: Meneliti komentar-komentar orang di Facebook, membuat komentar serius tentang komentar-komentar itu di Facebook itu juga, membuka ruang kuliah di Twitter, berdebat dan adu gagasan lewat twitwar, menjadi seleb-intelektual media sosial sembari menunggu panggilan untuk tampil di televisi dan menunggu orderan riset dari politisi.
Ini bukan soal sarjana-sarjana kita yang malas atau tak mampu untuk menghasilkan riset-riset berkualitas. Ini justru menunjukkan kemampuan para sarjana kita beradaptasi dengan perkembangan zaman, dengan minimnya dana riset dari pemerintah, dengan biaya sekolah anak yang semakin tinggi, dengan cepatnya roda informasi yang membutuhkan komentar-komentar cepat saji, dan juga dengan gemerlap popularitas yang menggiurkan hati.
Sarjana-sarjana kita bukanlah sarjana-sarjana bodong dengan otak kosong. Mereka menghabiskan waktu puluhan tahun hingga menjadi master dan doktor di bidangnya masing-masing. Sebagian besar di antara mereka adalah lulusan universitas-universitas terbaik di Indonesia dan sebagian lainnya adalah lulusan universitas-universitas bergengsi di luar negeri.
Sarjana-sarjana kita adalah pembaca serius karya Ben Anderson, Clifford Geertz, dan juga karya-karya hebat lainnya. Mereka memiliki kemampuan luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan dari ilmuwan-ilmuwan besar, menuliskannya dengan sigap di kamar-kamar dunia maya yang mereka miliki – sebuah kegeniusan yang barangkali tak dimiliki seorang Ben di sepanjang hidupnya. Saya pun juga banyak belajar dari berbagai analisa-analisa yang bertebaran di ruang-ruang maya itu. Jauh lebih mudah dan asyik daripada menghabiskan waktu untuk membaca – apalagi hasil riset.
Lha lalu kalau begitu, apa perlunya bertanya bagaimana kelanjutan riset ilmiah tentang Indonesia? Lha mbok yo ben!
*Dimuat di Jawa Pos 15 Desember 2015