oleh Okky Madasari
Ketua DPRD Kabupaten Lumajang mundur dari jabatannya karena tak hapal Pancasila. Sebuah keputusan yang tampak begitu ksatria, menjunjung tinggi nasionalisme dan nilai-nilai Pancasila. Padahal…
Padahal, hapal atau tidak hapal Pancasila sesungguhnya bukanlah sebuah ukuran dalam melihat apakah seseorang Pancasialis atau tidak Pancasialis. Apalagi ada situasi di mana seseorang bisa tiba-tiba lupa, keselip lidah, grogi, lalu akhirnya tampil ambyar meskipun sesungguhnya sudah sangat hapal. Tapi begitulah adanya, puluhan tahun kita terlanjur salah memperlakukan Pancasila.
Bagi generasi yang bersekolah di masa Orde Baru, yang harus dihapalkan bahkan bukan hanya lima sila Pancasila; tapi juga 36 butir-butir Pancasila. Butir-butir itu akan keluar di ujian Pendidikan Moral Pancasila (PMP), guru juga sewaktu-waktu membuat tes lisan hapalan butir-butir itu. Sejak tahun 1978, kegiatan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) wajib diikuti murid sekolah, mahasiswa, hingga pegawai negeri dalam setiap jenjang kenaikan jabatan. Pada tahun 1979, pemerintah juga membuat lembaga bernama Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang salah satu fungsinya adalah untuk mengelola pelaksanaan Penataran P4. Penataran P4 digelar selama beberapa hari, menyesuaikan dengan jenjang peserta, pelaksanaannya ala-ala pendidikan militer yang menekankan pada kedisiplinan dan kepatuhan. Pada jenjang pejabat eselon, akan langsung ditatar oleh BP7. Setiap peserta akan mendapat predikat lulus atau tidak lulus. Jika tidak lulus akan berakibat fatal pada jenjang pendidikan dan pekerjaan. Hingga tahun 1990 tercatat 33 juta orang Indonesia sudah mengikuti Penataran P4.
Di situlah kemudian letak masalahnya. Doktrinasi Pancasila yang serba formalitas dan penuh paksaan, menghadirkan Pancasila dalam simbol dan pemahaman yang serba artifisial. Seseorang dipaksa untuk menghapal 5 sila dan 36 butir tanpa benar-benar memahami apa maknanya. Menjadi Pancasialis diartikan sekadar kepatuhan dan mengikuti apa kata negara. Menjadi Pancasialis artinya juga tidak perlu untuk mempertanyakan sesuatu apalagi mengkritik karena itu hanya akan membuat kegaduhan dan mengganggu stabilitas dan keamanan.
Selama pemerintahan Orde Baru, di sudut-sudut desa dibangun tugu-tugu Pancasila, lengkap tertulis sila-silanya. Televisi dan radio milik pemerintah menyiarkan program pembinaan Pancasila
Pemerintah Orde Baru telah berhasil membuat Pancasila begitu sakti, disegani sekaligus ditakuti. Peristiwa 30 September 1965 yang dinarasikan sebagai sebuah upaya kudeta untuk mengganti ideologi Pancasila – berhasil digagalkan berkat kesaktian Pancasila. Itulah sebabnya, 1 Oktober hingga kini diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Tuduhan “tidak Pancasialis” adalah sebuah label yang menakutkan, karena dengan demikian berarti orang tersebut adalah “komunis”.
Pancasila, sebagai dasar negara yang dirumuskan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), telah dibajak oleh pemerintahan Soeharto untuk mengendalikan warga negara, membangun sebuah ketakutan kolektif atas kesaktian Pancasila. Pancasila pun tidak lagi diperlakukan sebagai buah pemikiran yang perlu untuk terus dikaji ulang, didiskusikan dan diperdebatkan. Pokoknya Pancasila adalah sesuatu yang sakti.
Maka wajar saja jika hingga sekarang – 24 tahun setelah Orde Baru tumbang dan Penataran P4 tak lagi diwajibkan, doktrin-doktrin atas kesaktian Pancasila itu masih kuat tertanam. Tidak hapal Pancasila adalah sebuah kesalahan besar yang tak bisa dimaafkan, sementara di saat yang sama; para pejabat tak akan merasa bersalah telah melakukan korupsi, polisi tak merasa malu menyalahgunakan kewenangan, dan politisi menganggap bahwa tugas mereka adalah mengamankan jabatan saja.
Lihat saja bagaimana dalam waktu yang hampir bersamaan dengan mundurnya Ketua DPRD Lumajang, mantan Bupati Labuhanbatu Utara (Labura) bebas dari penjara karena korupsi. Saat keluar dari penjara, mantan Bupati tersebut langsung disambut oleh ormas Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI). Di daerah-daerah lain hal serupa juga terjadi. Mantan bupati bebas dari penjara karena korupsi disambut warganya dengan meriah, selamatan dan shalawatan. Sebab korupsi tak pernah dianggap sebagai kesalahan atau pelanggaran atas nilai-nilai Pancasila. Melakukan korupsi jauh lebih bisa dimaafkan daripada tak hapal Pancasila.
Lima sila Pancasila tak benar-benar menjadi pijakan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan. Di bulan September ini juga, Wali Kota Cilegon menolak pembangunan gereja di wilayahnya tanpa merasa bahwa yang dilakukannya jelas bertentangan dengan sila pertama Pancasila dan melanggar hak yang jelas dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Di tingkat lokal hingga nasional, pemerintah dan pemodal beramai-ramai mengeruk kekayan alam tanpa sedikit pun ingat pada sila kelima Pancasila. Kekerasan dan penganaiayaan terhadap warga terus dilakukan padahal jelas-jelas itu bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila. Peserta demonstrasi ditangkap dan ditakut-takuti seolah berunjuk rasa adalah hal yang melanggar hukum, padahal itu adalah bagian dari pengejawantahan sila keempat Pancasila.
Ironisnya, berbagai hal tersebut terus terjadi di masa pemerintahan Jokowi ini kita kembali melihat semangat tinggi pemerintah untuk kembali menggaungkan kebesaran Pancasila. Mulai dari penetapan hari libur pada 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila hingga pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang serupa dengan BP7 di masa Orde Baru.
Tepat di bulan September yang penuh dengan catatan sejarah ini, menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, saatnya kita bertanya: Jangan-jangan kita semua memang tak pernah paham Pancasila? ***
Terbit di Jawa Pos Lupa Pancasila