Oleh: Okky Madasari
PADA mulanya, politik adalah jalan luhur. Kerja politik adalah kerja mulia, yang bagi filsuf Aristotle sejajar dengan kemuliaan pekerjaan seorang guru.
Sebagaimana guru, pelaku politik adalah orang-orang yang membawa manfaat bagi orang lain, punya kebijaksanaan dan pengetahuan yang bisa menunjukkan arah kehidupan lebih baik bagi para pengikutnya, dan punya martabat.
Dengan begitu, kepercayaan dan rasa hormat diberikan dengan sukarela kepada mereka.
Tapi, itu dulu. Atau lebih tepatnya, itu idealnya. Itu teorinya. Tentu saja lain dengan praktiknya di masa sekarang.
Dari Amerika, Eropa, hingga negeri kita tercinta, politik jadi olok-olok. Orang-orang tanpa kompetensi dan jejak rekam kepedulian ramai-ramai maju dalam pemilu.
Mereka minta dipilih tanpa membawa tujuan mulia yang bisa dipercaya. Mereka minta dipercaya walaupun tak pernah berbuat apa-apa selain untuk memakmurkan diri sendiri dan keluarga.
Lalu mereka benar-benar terpilih. Entah apakah mereka dipilih karena dipercaya atau karena bagi banyak orang pemilu sekadar suka atau tak suka dan mana yang lebih dikenal belaka.
Orang-orang nirkompetensi ini terpilih secara demokratis. Tak akan ada yang bisa menurunkan atau menggugat mereka selama menjabat, kecuali mereka terbukti korupsi atau melakukan tindak pidana lainnya.
Tak ada aturan yang memungkinkan kegagalan kebijakan pemimpin dipersoalkan. Apalagi kalau pemimpin itu hanya diam –tak melakukan apa-apa, tak membuat kebijakan apa-apa.
Pekerjaan seorang pejabat publik hanya diukur dari unggahan-unggahan foto di media sosial; peresmian, kunjungan, foto-foto rapat. Kebenaran arah kebijakan hanya didasarkan pada dukungan suara di media sosial. Pokoknya asal Twitter aman, semua aman. Penggiring opini –buzzer, influencer– pun jadi andalan.
Sampai kemudian semua diterjang wabah. Jumlah kasus dan kematian tak bisa disembunyikan walau tetap bisa sedikit-sedikit dimanipulasi.
Dampak ekonomi tak bisa dibendung walau narasi dan informasi bisa tetap dimodifikasi. Pandemi ini telah mengingatkan betapa kompetensi adalah hal yang harus dimiliki seorang pemimpin, dan tak selamanya nirkompetensi bisa ditutupi dengan citra.
Rekam jejak seorang pemimpin adalah catatan atas hal nyata yang telah dilakukan dan disuarakan untuk publik, bukan koleksi foto-foto yang diunggah di media sosial. Imajinasi seorang pemimpin adalah kemampuan untuk melihat mau dibawa ke mana bangsa ini dengan sumbangan pijakan yang ia bangun, bukannya berpikir bagaimana mau mengamankan keluarga dan keturunannya setelah ia tak lagi berkuasa.
Tapi, inilah yang sedang kita saksikan sekarang. Dari Amerika hingga Indonesia, inkompetensi seorang pemimpin dipertontonkan.
Hasrat untuk mempertahankan kekuasaan dipamerkan tanpa martabat. Dan khususnya di negeri kita tercinta, jabatan dianggap sebagai barang warisan yang harus dikangkangi, diamankan, dipastikan jatuh ke anak, menantu, keponakan, dan para ipar.
Muncullah secara tiba-tiba para pemuda tanpa kompetensi, integritas, dan imajinasi ke dalam gelanggang politik untuk sekadar merebut kursi. Lalu politisi-politisi nirmartabat itu akan berteriak garang, ’’Ini bukan dinasti. Ini adalah demokrasi.”
Politisi-politisi itu pura-pura lupa, merekalah yang memegang kunci gelanggang kontestasi. Mereka yang menentukan siapa-siapa saja yang bisa masuk arena.
Tentu saja, kalau yang memegang kunci adalah orang-orang tanpa kompetensi dan integritas, yang masuk gelanggang pun tak harus mereka yang punya dua hal itu. Yang penting adalah anakku, keponakanku, saudara-saudaraku.
Lalu rakyat dipaksa untuk memilih calon ala kadarnya itu. Proses politik pun dimanipulasi agar jalan yang ditempuh anak keturunan ini semakin mudah.
Jangan sampai ada calon lain yang mengancam. Bersaing dengan kotak kosong menjadi kebanggaan, padahal itu justru menunjukkan betapa tak sehatnya praktik demokrasi kita.
Politik kian jauh dari tujuan luhurnya. Martabat politik telah digantikan oleh martabak politik. Sebagaimana martabak, politik hanya menjadi sajian perayaan yang dinikmati bersama-sama oleh kawanan.
Martabak politik sebagai antitesis dari martabat politik menempatkan kekenyangan anggota kawanan sebagai tujuan utama. Dalam martabak politik, inovasi dan kebijakan pemimpin tak lebih dari sekadar memberi varian rasa kekinian tanpa menyentuh substansi, apalagi perubahan struktural. Martabak politik tak pernah butuh kompetensi dan visi karena yang dihitung hanyalah untung-rugi.
Ketika martabak politik telah jadi ideologi, pada mereka yang tak berada di meja perayaanlah harapan bisa dititipkan; pemuda-pemuda yang tak terlahir dari keluarga pejabat dan politisi yang telah selalu peduli dan mengabdi untuk orang-orang di luar keluarga sendiri.
Ketika martabak politik telah jadi ideologi, setiap suara kita dalam pemilu kian berarti. Hanya suara kita yang bisa menggagalkan dinasti. Hanya suara kita yang bisa membalik martabak agar politik kembali punya martabat. (*)
Dimuat di Jawa Pos Martabak Politik