Pidato Kebudayaan Okky Madasari

Balai Budaya Jakarta, 2 Februari 2024

Kekuasaan selalu bekerja untuk mengontrol pikiran dan gagasan. Mereka mengatur mana yang boleh dibaca dan mana yang harus dimusnahkan, mana yang perlu dipromosikan dan mana yang mesti diharamkan, apa itu yang benar dan mana yang dianggap menyesatkan.

Dari Hamzah Fansuri di abad 16, Sultan-Sultan memilih mana ulama yang boleh didengarkan dan mana ulama yang harus disingkirkan. Syair-syair Hamzah Fansuri dianggap sesat. Nama Hamzah tak tertulis dalam buku sejarah resmi Kesultanan Aceh, dari generasi ke generasi syair-syairnya terlupakan.

Ketika penjajah datang dan mengambil alih kontrol kekuasaan, mereka tak hanya mengeruk kekayaan alam, tapi juga membonsai pikiran. Kita tak mengenal Mas Marco Kartodikromo, Hikayat Kadiroen - Semaoen, dan berbagai karya lain yang digolongkan sebagai batjaan liar. Mereka pilihkan mana yang boleh kita kunyah dan mana yang harus enyah.

Menjadi bangsa merdeka, bukan berarti setiap orang punya kemerdekaan pikiran. Kekuasaan berpindah tangan dan berganti rupa, namun tak menghilangkan sifatnya untuk mengatur pikiran. Di zaman Orde Lama, atas nama semangat revolusi, jangan ada dansa-dansi. Mendengarkan Beatles tak boleh, Koes Plus menyanyikan Beatles masuk bui. Yang melawan sudah pasti anti-revolusi dan antek imperialisme.

Orde Baru pun menciptakan jargon-jargon baru. Tak lagi demi revolusi, tapi atas nama Pancasila dan pembangunan. Semua yang tak sepaham jelas-jelas disingkirkan, yang dianggap akan mengganggu dibungkam hingga gagu. Dari Pramoedya Ananta Toer hingga Arief Budiman, dari pentas puisi Rendra hingga konser Iwan Fals dan pertunjukan teater. Dan penyair Wiji Thukul pun hingga kini tak pernah kembali. Konon, penculiknya sedang nyapres lagi - untuk yang ketiga kali. Empat kali kalau nyalon wakil presidennya juga dihitung. 

Zaman Reformasi ternyata tak sepenuhnya menjanjikan demokrasi. Munir dibunuh di atas pesawat milik negara. Hingga kini pun tak terbongkar siapa dalang di baliknya. Di zaman ini pula, ada pemuda yang yang diburu polisi karena menggambar wajah Presiden Jokowi. Memang bukan wajah biasa. 404. Artinya: Apa yang Anda cari tidak bisa ditemukan. Tapi apa yang salah dengan itu? Katanya itu penghinaan simbol negara. Ah, apa pula itu simbol negara? Di Tangerang Selatan, ada pemuda didatangi polisi di rumah. Karena menulis: Tuhan, Aku Lapar. Sejak kapan rakyat tak boleh sambat? Apalagi ini bukan sambat ke pejabat lho, ini sambat ke Tuhan.

Ada yang takut meme

Tapi tak takut kerjanya memble

Ada yang takut mural

Tapi tak takut korupsi bantuan sosial

Ada yang takut kritik

Tapi tak takut rakyat menjerit dan tercekik.

Kekuasaan selalu bekerja untuk menciptakan hantu-hantu. Mitos-mitos - hal-hal palsu yang dipercaya dan terinternalisasi dalam diri setiap orang - difabrikasi, untuk membuat rakyat tunduk dan situasi terkendali. Raja-raja Nusantara membangun mitos bahwa mereka titisan dewa, penjaga buana. Penjajah menciptakan mitos pribumi malas, agar rakyat tanah jajahan bisa dipaksa bekerja di tanahnya sendiri. Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, sosok yang telah membawa bangsa ini lepas dari penjajahan, butuh melahirkan mitos baru untuk menjadi pembenar agar ia bisa menjadi Presiden seumur hidup. Soeharto tidak akan bertahan 32 tahun, tanpa ada hantu-hantu marxisme dan komunisme, tanpa ada mitos Bapak Pembangunan. Dan kini di era Jokowi… ingat 5 Mitos: Mitos pemimpin baik, mitos setiap orang memiliki kesempatan yang sama, mitos pemimpin muda, mitos pemimpin gemoy, dan mitos presiden netral. 

Produksi propaganda, mitos, tak bisa dihasilkan oleh todongan senjata dan kekerasan. Sesuatu hanya bisa dipercaya ketika menyusup pelan, membuai, menghibur, disebarkan secara masif dan sistematis. Fabrikasi mitos tak akan berhasil jika hanya dilakukan penguasa. Propaganda dan mitos hanya bisa bekerja jika diproduksi bersama dengan kelompok intelektual; seniman, sastrawan, pembuat film, media massa… celebrity social media alias istilah zaman now adalah influencer. Kita-kita yang ada di ruangan ini… adalah bagian penting dalam penyebaran mitos, fabrikasi propaganda, dan produksi pengetahuan. 

Pada setiap periode kekuasaan, pengkhianatan atas suara nurani dan kebenaran terus dilakukan oleh kelompok intelektual. Atas nama pengaruh yang lebih besar, atas nama tawaran jabatan, atau sekadar bayaran uang - mereka bukan hanya tunduk menyerahkan diri pada kekuasaan namun juga menjadi bagian mesin yang memproduksi propaganda dan mitos-mitos. Di era ini, saya akan menyebut intelektual-intelektual seperti ini adalah intelektual martabak. 

Intelektual Martabak adalah para intelektual yang kehilangan martabat, bekerja dan bersuara hanya agar bisa ikut mencicipi potongan martabak. Apalagi jika martabaknya adalah milik anak-anak Pak Lurah, yang berkat jualan martabak bisa jadi ketua partai dan calon wakil presiden. Memang inilah eranya Martabak Politik. 

Hasrat untuk mempertahankan kekuasaan dipamerkan tanpa martabat. Jabatan dianggap sebagai barang warisan yang harus dikangkangi, diamankan, dipastikan jatuh ke anak, menantu, keponakan, dan para ipar.

Muncullah secara tiba-tiba pemuda tanpa kompetensi, integritas, dan imajinasi ke dalam gelanggang politik untuk sekadar merebut jabatani. Lalu politisi-politisi nir martabat itu akan berteriak garang, ’’Ini bukan dinasti. Ini adalah demokrasi.”

Politik kian jauh dari tujuan luhurnya. Martabat politik telah digantikan oleh martabak politik. Sebagaimana martabak, politik hanya menjadi sajian perayaan yang dinikmati bersama-sama oleh kawanan.

Martabak politik menempatkan kekenyangan anggota kawanan sebagai tujuan utama. Dalam martabak politik, inovasi dan kebijakan pemimpin tak lebih dari sekadar memberi varian rasa kekinian tanpa menyentuh substansi, apalagi perubahan struktural. Martabak politik tak pernah butuh kompetensi dan visi karena yang dihitung hanyalah untung-rugi.

Ketika martabak politik telah jadi ideologi, pada mereka yang tak berada di meja perayaanlah harapan bisa dititipkan; pemuda-pemuda yang tak terlahir dari keluarga pejabat dan politisi yang telah selalu peduli dan mengabdi untuk orang-orang di luar keluarga sendiri.

Ketika martabak politik telah jadi ideologi, setiap suara kita dalam pemilu kian berarti. Hanya suara kita yang bisa membalik martabak agar politik kembali punya martabat.  ***

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan