oleh Okky Madasari
Lima puluh ribu lebih pertambahan kasus harian. Enam puluh sembilan ribu lebih nyawa hilang. Rumah sakit penuh. Oksigen langka. Banyak yang isolasi mandiri, lalu mati sendirian. Vaksinasi masih jauh dari yang seharusnya. Negara sudah gagal?
—
KETIKA bulan April lalu novelis India peraih Booker Prize, Arundhati Roy, menyebut apa yang sedang terjadi di negaranya sebagai kejahatan kemanusiaan, sama sekali tak terlintas dalam pikiran saya bahwa hal serupa akan terjadi di Indonesia. Betapa pun buruknya penanganan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 hingga April 2021, masih tersimpan kepercayaan bahwa pemerintah Indonesia akan bisa diandalkan untuk melindungi rakyatnya. Apalagi sudah ada pergantian menteri kesehatan, sudah terbongkar kasus korupsi bantuan pandemi, sudah melalui setahun kegegabahan yang telah menelan puluhan ribu nyawa.
Ternyata memang pemerintah tidak belajar dari kegagalan. Bahkan mereka tak merasa perlu untuk melakukan evaluasi, untuk mengoreksi dan mengakui kesalahan, meminta maaf, lalu menyusun strategi terbaik untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Saat artikel ini ditulis, pertambahan kasus harian di Indonesia telah menjadi yang tertinggi di dunia sekaligus menempatkan Indonesia sebagai pusat persebaran (epicenter) Covid-19 di dunia. Di luar angka, dengan kasatmata kita bisa melihat rumah sakit kewalahan menerima pasien, permintaan informasi ketersediaan ICU atau sekadar tempat tidur rumah sakit bermunculan tiada henti di media sosial, silih berganti dengan permintaan tabung oksigen dan donor plasma konvalesen. Bahkan direktur utama RS Sardjito di Jogjakarta sampai menulis surat resmi menyampaikan bahwa persediaan oksigen segera habis yang itu artinya puluhan nyawa manusia yang sedang dirawat di rumah sakit itu sedang dipertaruhkan. Syahdan, permintaan oksigen tetap tak dipenuhi dan 63 orang meninggal dalam sehari. Walaupun kemudian muncul klarifikasi bahwa 63 orang yang meninggal itu bukan akibat dari habisnya oksigen, tak menghilangkan fakta bahwa sebuah rumah sakit besar rujukan penanganan Covid-19 kehabisan oksigen, padahal ada banyak nyawa yang tergantung pada ketersediaan oksigen.
Dalam Leviathan yang terbit pertengahan abad ke-17, Thomas Hobbes sudah menggambarkan masyarakat tanpa pemerintahan hanya akan menjadi kawanan serigala, penuh kekacauan, tanpa tatanan, bahkan bisa saling memangsa satu sama lain. Karena itulah setiap masyarakat perlu pemerintah. Agar ada tatanan, ada perlindungan, ada jaminan atas keselamatan. Fungsi dan tugas negara yang paling mendasar adalah melindungi warganya. Melindungi dari kekerasan, dari serangan pihak luar, dari kelaparan, dari segala hal yang merampas nyawa, termasuk wabah penyakit menular, apalagi ketika jelas-jelas wabah itu bermula dari negara asing.
Setelah perlindungan, fungsi utama berikutnya dari pemerintahan adalah penyedia jasa dan kebutuhan yang tidak bisa disediakan sendiri oleh masing-masing individu. Rumah sakit, tenaga kesehatan, oksigen, vaksin, hingga kebutuhan makan untuk mereka yang tak sanggup bekerja karena wabah adalah contoh nyata hal-hal yang wajib dipenuhi pemerintah demi menjalankan perannya sebagai penyedia, provider.
Tentu saja kita paham bahwa untuk melaksanakan tugas itu, pemerintah perlu uang. Maka, warga negara wajib membayar pajak yang uangnya akan digunakan pemerintah untuk melaksanakan tugasnya. Pemerintah juga punya kewenangan untuk mengontrol dan mengelola sumber daya alam yang hasilnya digunakan untuk menjalankan tugas melindungi rakyat. Bagaimana jika ia tidak mampu mengumpulkan uang yang cukup untuk bisa menjalankan fungsi sebagai pelindung dan penyedia? Maka jelas, negara sudah gagal.
Bagaimana jika ternyata ada uang, tapi sengaja tak digunakan untuk melindungi dan menyediakan yang dibutuhkan rakyat? Maka, itu adalah kejahatan. Kejahatan pada kemanusiaan.
Kejahatan Kemanusiaan
Setiap tindakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa adalah kejahatan. Bahkan ketika tindakan itu seolah tak disengaja, hukum memungkinkan untuk melihat apakah ada faktor keteledoran, kelalaian, pengabaian. Ketika lebih dari 69 ribu nyawa hilang, sudah patut diduga bahwa ini bukan perkara keteledoran satu atau dua warga, apalagi perkara takdir. Jika memang kata ”pembunuhan” dirasa tak pas untuk menggambarkan situasi ini, filsuf Friedrich Engels sejak abad ke-19 telah menawarkan istilah ”pembunuhan sosial”. Pembunuhan sosial terjadi ketika elite penguasa membuat kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan terbunuhnya kelompok miskin dan masyarakat secara umum yang tak berdaya. Dalam definisi Engels, pembunuhan ini bahkan tak hanya berupa hilangnya nyawa, tapi juga terbunuh secara ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam konteks Indonesia, perilaku jahat elite yang jelas melanggar hukum tampak dalam kasus korupsi bantuan sosial, pejabat yang melanggar aturan protokol kesehatan, penggunaan alat tes bekas, mengatakan situasi terkendali di kala semua sudah di luar kendali, dan muslihat-muslihat lainnya. Kegagalan negara dalam penanganan Covid-19 bukan karena uangnya tak ada dan negara tak mampu, tapi karena orang-orang yang berkuasa tidak mau dan tidak mampu mengambil kebijakan yang tepat atau memang ada niat melakukan rangkaian kejahatan yang dilakukan dengan sengaja.
Kini, ketika sudah terlalu banyak yang jadi korban, prioritas utama adalah keselamatan rakyat. Langkah yang telanjur salah tak bisa lagi diteruskan dengan mengorbankan mereka yang tak berdaya. Segeralah mengakui kesalahan, meminta maaf pada rakyat, kemudian memperbaiki kebijakan serta segera meminta pertolongan pada negara-negara sahabat.
Setidaknya sekali ini saja, tunaikanlah tugas negara sebagai pelindung rakyatnya. Jangan biarkan rakyat mati perlahan di pangkuan negara. (*)
Terbit di Jawa Pos Mati Perlahan di Pangkuan Negara