Oleh: Okky Madasari
Saya adalah bagian dari generasi yang lahir dalam kebutaan.
Saat peristiwa 30 September 1965 terjadi lalu disusul pembantaian ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang di berbagai wilayah, termasuk di kampung halaman saya di Magetan Jawa Timur, ibu saya baru berumur dua tahun. Ibu saya dan ibu-ibu dari kawan segenerasi saya masih terlalu muda untuk mengerti segala yang terjadi. Sementara nenek saya, adalah bagian dari generasi yang lahir pada masa kolonial hingga masa perang. Hidup di sebuah desa di pedalaman Jawa, ia adalah bagian dari masyarakat awam yang hanya berpikir bagaimana caranya bisa tetap makan dan mempertahankan hidupnya. Nenek saya adalah bagian dari orang-orang yang tak pernah mengecap pendidikan. Ia terlalu bodoh untuk bisa benar-benar memahami apa yang sesungguhnya terjadi.
Saya dan kawan-kawan segenerasi saya, lahir pada periode awal tahun 1980an. Kami adalah janin-janin yang dikandung dan dilahirkan di tengah kemapanan rezim Orde Baru. Suharto adalah hal pertama yang kami tahu tentang negeri ini. Pancasila adalah hal pertama yang kami hapalkan di bangku sekolah. Dan film “Pengkhianatan G 30 S PKI” adalah film pertama – film dewasa pertama - yang kami tonton di ruang keluarga kami.
Saya menonton film “Pengkhianatan G30 S PKI” sejak usia yang masih belia. Mungkin kelas 1 SD atau TK, atau bisa jadi sebelumnya. Yang jelas, dalam ingatan saya yang paling awal, menonton film itu sudah menjadi ritual tahunan sebagaimana panggung 17 Agustusan dan Lebaran. Tiap menjelang tanggal 30 September, pengurus RT akan berkeliling dari rumah ke rumah mengingatkan agar setiap keluarga menonton film tersebut. Di sekolah, di tempat ngaji, guru-guru kami juga mengingatkan hal serupa. Saat itu saya dan semua orang di lingkungan saya percaya bahwa menonton film tersebut adalah sebuah kewajiban yang tak boleh dilewatkan. Apalagi saat itu tak ada pilihan tontonan lain.
Film itu begitu mempengaruhi saya. Dalam pikiran saya waktu itu, PKI adalah hantu serupa genderuwo atau pocong. Orang-orang yang terkait PKI adalah orang-orang yang menakutkan dan biadab. Sewaktu-waktu mereka bisa menyilet-nyilet wajahmu, memotong kemaluanmu, lalu memenggal kepalamu. Sementara perempuan-perempuan Gerwani adalah barisan penari-penari telanjang yang merayakan segala kebiadaban sambil menyanyikan Kembang-Kembang Genjer.
Gambaran seperti itu yang tertanam dalam benak saya saat masih anak-anak. Bukan hanya saya, tapi juga teman-teman saya, adik-adik saya, bahkan ibu dan nenek saya. Kami kembali menontonnya setahun kemudian, diulang setiap tahunnya, selama bertahun-tahun. Saya tak akan pernah bisa lupa pada gambar putri salah satu pahlawan revolusi yang membasuh mukanya dengan darah sang ayah, pada sekolah taman kanak-kanak Ade Irma Suryani, dan pada kepulan asap rokok dari orang-orang berwajah garang. Semuanya abadi dalam ingatan saya, bahkan hingga saat ini.
Film “Pengkhianatan G 30 S PKI” membentuk memori kolektif kami – generasi yang lahir dan tumbuh dalam kekuasaan Orde Baru. Tidak ada yang bisa memberi kami perspektif lain: tidak keluarga kami, guru-guru di sekolah kami, buku-buku sejarah, apalagi buku-buku sastra dan karya seni.
Kami tumbuh tanpa kenal karya-karya Pramoedya atau puisi-puisi pamflet Rendra. Sepanjang usia sekolah, kami belajar sejarah yang jelas-jelas salah. Sejak kecil kami diajari untuk takut pada petugas, pada aparat, pada PKI. Sejak kecil kami tak diajari untuk kritis dan bersuara. Sejak kecil kami dilarang untuk melawan.
Hingga kemudian tiba-tiba gelombang perubahan datang pada tahun 1998. Kami adalah generasi yang tergagap dalam perubahan zaman. Semua orang kini bisa bersuara dan berteriak di mana-mana. Semua orang kini bebas melakukan apa saja. Semua orang bisa menulis dan membaca apa saja.
Meski demikian, ada lubang besar yang tetap menganga. Lubang yang kami loncati bersama-sama, dari masa yang penuh kebisuan hingga kini kami berada di masa yang penuh kebisingan. Ingatan-ingatan yang telah ditanam sejak kami kecil tak bisa hilang begitu saja. Sementara telinga dan mata kami dipaksa untuk melihat dan mendengar setiap perubahan dan informasi baru. Lubang itu ada dalam jiwa kami. Membelah jiwa kami menjadi dua bagian: yang satu adalah bagian gelap yang penuh hantu dari masa lalu dan yang satunya adalah bagian yang menyilaukan, terang benderang penuh cahaya, tapi kadang justru menyakitkan mata karena silaunya. Segala hal yang sejak kecil dipaksa ditanam di diri kami kini harus bertempur dengan kebenaran-kebenaran baru. Kebenaran-kebenaran yang juga masih abu-abu, berlomba-lomba menguasai pikiran-pikiran kami. Berita surat kabar dan televisi, ocehan-ocehan di sosial media menjadi penguasa-penguasa baru yang kini menggiring pikiran kami. Inilah masa di mana rezim yang berkuasa adalah media massa dan sosial media. Semua orang bisa bersuara. Setiap orang bisa memiliki kebenaran. Kami, kawanan kerbau yang sejak lahir biasa digiring dan dibutakan, kini tersesat dan kebingungan.
Dalam kebingungan itu, peristiwa-peristiwa baru terus terjadi. Kekerasan dan ketidakadilan datang silih berganti dalam aneka rupa wujudnya. Lubang besar yang menganga itu kini semakin melebar. Kebutaan kami terhadap kebenaran masa lalu berpadu dengan kebingungan kami terhadap apa yang terjadi hari ini.
Dalam keruwetan inilah, seni dan sastra seharusnya mengambil peran. Propaganda masa lalu yang sudah tertanam dalam jiwa tak sadar kami harus diruntuhkan tanpa sisa. Tapi ketidaksadaran - sesuatu yang menancap perlahan dalam diri kami tanpa kami sadari - justru merupakan hal yang paling sulit untuk dilawan. Terlebih ketika hal tersebut ditanamkan melalui karya seni dan karya sastra. Film “Pengkhianatan G 30 S PKI” adalah contoh nyata bagaimana karya seni bisa menjadi sesuatu yang begitu berbahaya ketika digunakan oleh kekuasaan. Ia menyusup dalam ketidaksadaran. Mengatur pikiran, merebut jiwa, menundukkan kita semua. Karya seni dan sastra yang digunakan oleh kekuasaan tidak kurang berbahayanya dibanding kekerasan menggunakan senjata. Karya seni dan sastra yang digunakan oleh kekuasaan adalah bentuk kekerasan itu sendiri. Kekerasan pada manusia. Kekerasan pada kemanusiaan.
Karya seni hanya bisa dilawan dengan karya seni, karya sastra hanya bisa dilawan dengan karya sastra. Segala doktrin yang telah tertanam dalam diri kami sejak kecil hanya bisa dihapus dengan cara yang serupa: menyentuh langsung jiwa, menyusup dalam pikiran, hingga akhirnya menjelma jadi kesadaran baru. Hanya karya seni dan karya sastra yang bisa melakukan pekerjaan itu.
Generasi yang lahir dalam kebutaan membutuhkan karya seni dan karya sastra yang bisa menjadi mata-mata baru bagi mereka. ***