Oleh: Okky Madasari
Nh Dini telah mangkat. Ia pergi dengan meninggalkan puluhan karya yang tak akan pernah usang untuk dibaca dan dikaji oleh generasi hari ini dan generasi masa depan. Ia adalah pengarang yang sedari awal memporak-porandakan bangunan ideal sosok perempuan, perkawinan, kisah cinta, dan keluarga. Dalam sejarah sastra Indonesia, ia melanjutkan apa yang telah dimulai Armijn Pane melalui novelnya Belenggu (1940).
Tahun 1938, Balai Pustaka menolak menerbitkan Belenggu dengan alasan karya ini tidak bermoral dan bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Belenggu akhirnya diterbitkan Pustaka Rakyat dua tahun kemudian.
Hampir empat puluh tahun kemudian, Dini mengalami hal yang serupa dengan yang dialami Armijn Pane. Dalam Pertemuan Sastrawan tahun 1974, Pada Sebuah Kapal (1972) dikecam karena dianggap membenarkan perzinahan dalam perkawinan.
Sama seperti Belenggu, karya Dini juga dianggap menyimpang dan berpotensi merusak moral dalam masyarakat. Novel-novel Dini selalu menghadirkan sosok yang dianggap menyalahi norma dalam masyarakat. Ini juga tak lepas dari sosok dan pengalaman hidup Dini yang menikah dengan pria Prancis lalu bercerai. Keputusan Dini untuk menikah dengan pria asing sedikit banyak menunjukkan bahwa ia perempuan yang berpikiran terbuka dan punya keberanian untuk melakukan hal-hal yang berbeda dari kebanyakan orang.
Dalam Pada Sebuah Kapal, Sri yang bersuamikan pria Prancis berhubungan gelap dengan seorang kapten kapal warga negara Jerman, Michel. Mereka bertemu dalam kapal yang dinaiki Sri dari Jepang ke Prancis sementara suaminya naik pesawat terbang. Di sepanjang perjalanan kapal mereka memadu cinta. Hubungan itu tetap berlanjut setelah kapal tiba di Prancis. Baik Sri maupun Michel digambarkan sebagai orang yang tak bahagia dengan kehidupan rumah tangga masing-masing dan mendapatkan kebahagiaan dari hubungan gelap yang sedang dibangun.
Masalah perkawinan kembali hadir dalam La Barka (1975). Di novel ini Dini mengisahkan sekelompok orang yang sama-sama memiliki masalah dalam perkawinan dan sedang menanti proses perceraian. Dini menjungkir-balikkan konsep umum tentang pernikahan dan kesetiaan. Dini menghidupkan keberanian bagi perempuan untuk mengambil pilihan. Berselingkuh dan bercerai bukan hal yang tabu dilakukan, jika memang itu yang bisa membawa kebahagiaan.
Keberanian dan kekuatan perempuan yang bertentangan dengan norma masyarakat pada umumnya kembali hadir dalam Namaku Hiroko (1977). Hiroko, gadis desa dan tak berpendidikan yang awalnya lugu, menjelma menjadi wanita dewasa yang materialistis yang tahu bagaimana menggunakan tubuhnya untuk mencari penghasilan. Hiroko dengan sadar memilih menjadi hostes dan penari telanjang. Sebuah profesi yang masih tak bisa diterima oleh kebanyakan masyarakat bahkan hingga hari ini.
Seseorang yang menjadi hostes dan penari telanjang pasti serta merta akan mendapat cap negatif dan dipandang hina. Tapi, Dini mengajak pembaca untuk tidak cepat menghakimi. Dengan novelnya, Dini membuat pembaca melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
Dini dengan novel-novelnya telah membawa karya sastra sebagai sarana untuk mempertanyakan dan mengkritik norma-norma dalam masyarakat. Dini menolak tunduk dalam kenyamanan, berkarya sesuai norma umum yang dianut. Dini tidak menghadirkan kisah cinta dan perkawinan hanya untuk konsumsi waktu senggang dan memanjakan imaji tentang perempuan sebagaimana yang ada dalam narasi utama zaman itu --juga zaman ini.
Membaca karya Dini hari ini mengingatkan kita betapa panjang dan berlikunya pertarungan diskursus untuk merobohkan berbagai konsep dan citra yang dibangun dari perspektif laki-laki --patriarki. Hari ini pun kita masih terus bergulat dengan hal yang sama. Narasi yang dibangun Dini ternyata belumlah dianggap sebagai hal yang lumrah, alih-alih menjadi narasi utama dalam melihat perempuan dan segala relasi yang menyelubunginya.
Tapi, justru karena inilah, karya Dini perlu dan harus terus dibaca generasi hari ini --para milenial-- dan generasi-generasi yang akan datang. ***
Dimuat Detik.com Membaca Nh Dini Hari Ini