oleh Okky Madasari
Di tengah inkompetensi pejabat publik dan bobroknya birokrasi, setiap langkah yang diambil dengan akal sehat demi kepentingan publik harus didukung dan diperjuangkan bersama.
—
BULAN Mei 2021, Mahkamah Agung resmi membatalkan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri tentang pemakaian seragam di sekolah. Isi SKB itu adalah melarang sekolah negeri untuk mewajibkan seragam yang identik dengan agama, termasuk jilbab, kepada peserta didik. Sebaliknya, sekolah negeri tidak boleh melarang peserta didik untuk mengenakan seragam sesuai yang diyakini. SKB mengharuskan kepala daerah dan kepala sekolah yang telah membuat aturan wajib berjilbab di sekolah untuk mencabut aturan tersebut.
Penerbitan SKB 3 Menteri itu dipicu oleh pemaksaan pemakaian jilbab pada siswi Kristen di SMKN 2 Padang, Januari 2021. Video orangtua siswa beradu pendapat dengan Wakil Kepala Sekolah viral di media sosial hingga menjadi isu nasional. Dari kasus itu kemudian publik tahu, ternyata ada banyak kasus pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi Kristen di Sumatera Barat. Di SMKN 2 Padang saja, ada 46 siswa non-Muslim yang menggunakan jilbab di sekolah.
Di titik ini kita sudah bisa mengurai beberapa pokok masalah. Pertama, kenapa siswa non-muslim yang bersekolah di sekolah negeri berjilbab? Kenapa sekolah negeri seluruh siswinya berjibab? Kenapa orangtua murid yang anaknya menolak berjilbab harus dipanggil sekolah sampa perlu berdebat?
SKB 3 Menteri memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Jelas, SKB ini sejalan dengan nalar dan akal sehat, melindungi kebebasan berkeyakinan, dan menempatkan setiap warga negara dengan setara. Tapi pengadilan tak melihat apakah sesuatu bagus atau buruk, sesuai nalar atau tidak. Pengadilan hanya melihat apakah SKB itu sesuai dengan jalur yang telah ditetapkan, apakah sebuah peraturan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan lain – terutama jika peraturan itu lebih tinggi posisinya.
Uji materi terhadap SKB 3 Menteri tersebut diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat. MA mengabulkan gugatan itu dan menyatakan SKB 3 Menteri bertentangan dengan peraturan di atasnya. Yaitu UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Seperti deja vu, Permendikbud tentang Kekerasan Seksual kini menghadapi ancaman serupa. Tuduhan bahwa peraturan ini memiliki masalah materiil dan formil telah dikemukakan – salah satunya oleh Muhammadiyah. Hingga tulisan ini ditulis, gugatan resmi memang belum dilayangkan. Tulisan ini pun bukan bicara tentang perdebatan hukum. Tulisan ini adalah semacam colekan kecil yang mengajak untuk melihat realita sekaligus dilema kita sebagai sebuah bangsa.
Proses Politik
Setiap peraturan dan undang-undang selalu lahir dari proses negosiasi dan kompromi. Baik melalui proses politik di DPR atau di level terkecil, melalui musyawarah yang melibatkan berbagai pihak. Peraturan dan undang-undang yang telah terbit pun masih memberi ruang untuk kembali dinegosiasikan melalui gugatan hukum. Ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugat Undang-Undang dan ke Mahkamah Agung untuk menggugat aturan di bawahnya.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PSK) yang hingga kini masih belum disahkan oleh DPR karena ada yang keberatan dengan isinya, adalah contoh mutakhir bagaimana sebuah undang-undang diganjal sekaligus dinegosiasikan. Sebaliknya, pengesahan RUU Cipta Kerja dalam waktu singkat, mengabaikan protes dan demonstrasi, menunjukkan bahwa kepentingan politik dan kepentingan para pembuat undang-undang kerap menjadi dasar utama dalam pembuatan undang-undang.
Perdebatan dalam RUU PSK serupa dengan kontroversi seputar Permendikbud tentang Kekerasan Seksual. Keduanya sama-sama dituduh melegalisasi seks bebas. Penggunaan konsep persetujuan korban (consent) dianggap sama dengan menyatakan bahwa jika ada persetujuan korban maka hubungan seksual adalah hal yang diperbolehkan. Lebih jauh lagi, penggunaan kata consent dianggap tidak sesuai dengan Pancasila.
Dalam proses politik di DPR, posisi kelompok yang anti pada konsep konsen berhasil menjegal pengesahan RUU PSK hingga hari ini. Semuanya jadi merasa kecolongan ketika Menteri Pendidikan mengeluarkan peraturan tanpa harus melalui proses yang melibatkan mereka.
Keributan seputar Permendikbud lebih banyak berakar dari kepentingan politik, tawar-menawar kekuatan dan pengaruh, upaya untuk membangun citra kepada publik bahwa kamilah yang paling peduli pada urusan moral. Sulit sekali untuk mendudukkan perkara bahwa peraturan ini harus ada untuk melindungi mahasiswa dan pelajar dari kekerasa seksual, untuk mencegah agar tak lagi ada korban, untuk memastikan agar mereka yang terlanjur menjadi korban bisa terlindungi dan mendapat keadilan. Bahkan sekadar membawa pembicaraan untuk fokus ke upaya perlindungan korban kekerasan seksual saja tak mampu dilakukan.
Sama halnya dalam perkara SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah. Keputusan yang sudah begitu gamblang mengatur bahwa tak boleh ada paksaan untuk memakai jilbab dan sebaliknya tak boleh ada larangan bagi mereka yang mau berjilbab, malah diartikan ke mana-mana, bahkan ujungnya harus dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan aturan di atasnya. Pertanyaannya kini, aturan macam apakah yang bertentangan dengan aturan yang mencoba melindungi kebebasan warga negara dalam berkeyakinan? Nilai macam apa yang bertentangan dengan semangat untuk melindungi setiap peserta didik dari pemaksaan dan intimidasi dalam berjilbab atau tak berjilbab?
SKB 3 Menteri dan Permendikbud tentang Kekerasan Seksual adalah bukti komitmen Nadiem pada nilai-nilai Pancasila, nilai moral dan agama. Sebagai Menteri Pendidikan ia berani membuat perubahan demi kebaikan, dan bukan sekadar bermain aman.
Untuk Indonesia yang lebih baik, Permendikbud tentang Kekerasan Seksual harus didukung dan diperjuangkan agar tak kandas seperti SKB 3 Menteri. ***
Terbit di Jawa Pos Membela Nadiem