oleh: Okky Madasari
Dalam kurun lebih dari 400 tahun sejak kehadiran syair-syair Hamzah Fansuri, sastra Islami di Nusantara terus tumbuh dan berevolusi, menghadirkan ragam pemikiran dan pendekatan estetika yang turut membentuk sejarah intelektualisme dan kesusastraan Indonesia.
Apa yang saya sebut sebagai sastra Islami adalah karya sastra yang mengolah Islam dan nilai-nilai keislaman dalam makna yang luas. Sastra Islami bukan hanya karya sastra yang dipenuhi dengan kutipan ayat Al-Quran, bukan pula sebatas karya yang mempersoalkan dosa dan pahala. Sastra Islami bukanlah karya yang sifatnya dogmatis dan sekadar menjadi medium dakwah, melainkan karya yang menawarkan perenungan kritis atas kehidupan masyarakat Islam di Nusantara.
Sejak tiga tahun lalu, saya merancang silabus Sastra Islami di Nusantara untuk program spesial Ramadan. Silabus ini menghadirkan empat sastrawan yang telah menjadi pondasi atas perkembangan sastra Islami di Indonesia; Hamzah Fansuri, Hamka, A.A. Navis, dan Achdiat Karta Mihardja. Dengan corak pemikiran yang berbeda, keempat sastrawan ini telah menghadirkan empat pendekatan utama dalam menulis dan menganalisis karya sastra Islami.
Dalam empat artikel, saya akan mengulas singkat tentang empat sastrawan tersebut. Bagian pertama ini membahas tentang Hamzah Fansuri.
Yang Mistis dan Sesat
Melalui syair-syair Hamzah Fansuri yang ditulis pada abad ke-16, ajaran sufisme atau tasawuf diperkenalkan pada masyarakat Nusantara. Sejak era Al Hallaj, penyair Persia yang disebut sebagai pelopor sufisme pada abad ke-10, sastra menjadi medium yang digemari para sufi untuk menyebarkan ajaran dan menceritakan pengalaman. Anekdot, cerita, dan alegori digunakan untuk menyampaikan pengalaman mistik dan makrifat.
Berpijak pada sufisme, syair-syair Hamzah Fansuri adalah upaya mencari kebenaran hakiki dalam Islam. Hamzah yang juga merupakan seorang ulama, menggunakan syair untuk mengingatkan pengikutnya bahwa cinta adalah peringkat tertinggi kerohanian dan cinta itu adalah cinta pada Tuhan. Hamzah menegaskan bahwa pengalaman estetik yang tinggi dapat dicapai oleh seseorang yang telah membuang keterpukauan terhadap jasmani dan dunia yang serba sementara.
Prinsip ajaran tasawuf dengan gamblang bisa dijumpai dalam syair-syair Hamzah. Misalnya;
Hapuskan ‘aqal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
Sana lihat permai rupamu
Penggalan syair ini mengisyaratkan bagaimana manusia harus menanggalkan semua yang melekat dalam dirinya, untuk bisa menemukan cinta pada Tuhan. Namun bagi mereka yang salah mengartikan, syair seperti ini dianggap sebagai seruan untuk melakukan bunuh diri agar bisa bertemu dengan Tuhan. Penyalahartian seperti ini lumrah mewarnai pembacaan atas karya-karya Hamzah pada masa itu.
Demikian juga pada penggalan syair di bawah ini :
Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua alam
Ungkapan “menjadi sultan pada kedua alam” dianggap sebagai pernyataan bahwa Hamzah merupakan seorang sultan yang menggantikan sultan yang saat itu berkuasa, dan ketika itu terjadi di kedua alam, maka Hamzah juga menyamakan dirinya dengan Tuhan.
Pada masanya, sufisme kerap dituduh sebagai ajaran sesat yang diidentikkan dengan ilmu nujum, ilmu hitam, atau ilmu sihir. Meskipun tidak berdasar bukti historis, kisah Syekh Siti Jenar dengan manunggaling kawula gusti bisa menjadi gambaran bagaimana sufisme disalahartikan. Manunggaling kawula gusti yang berarti menyatunya Tuhan dalam diri manusia – bahwa Tuhan ternyata ada di diri manusia, dianggap sebagai sebuah dogma yang menyamakan diri manusia dengan Tuhan. Sebagaimana Al Hallaj yang dijatuhi hukuman mati, Syekh Siti Jenar pun dihukum mati oleh penguasa politik dan otoritas keagamaan pada masa itu.
Meski Hamzah Fansuri tidak dihukum mati oleh Kesultanan Aceh, label sesat yang ditempelkan pada ajaran Hamzah telah membuatnya tersingkir dari narasi sejarah dan intelektualisme. Nama Hamzah Fansuri tak disebut dalam buku sejarah resmi Kesultanan Aceh, Hikayat Aceh dan Tajus Salatin. Akibatnya, Hamzah dan syair-syairnya “hilang” selama berabad-abad, tak dikenali dan dibaca oleh publik, tak banyak dikaji di dunia akademik.
Disertasi dari Syed Naquib al-Attas tahun 1966, The Mysticism of Hamzah Fansuri, mengurai kekuatan dari syair-syair Hamzah yang sekaligus menjadi bukti bahwa penyingkiran atas karya Hamzah adalah penyingkiran atas salah satu puncak pemikiran terbaik di Nusantara, terlebih ketika Hamzah merupakan seorang pemula yang telah membuahkan karyanya jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Dalam khazanah sastra Indonesia modern, pengaruh sufisme yang dijejakkan Hamzah Fansuri bisa ditemukan dalam karya-karya Amir Hamzah, Danarto, Kuntowijoyo, dan Abdul Hadi WM yang sekaligus telah meneliti karya-karya Hamzah untuk disertasinya yang terbit dalam buku Tasawuf yang Tertindas. **
Terbit di Omong-Omong Media: Mencari yang Hakiki bersama Hamzah Fansuri