oleh Okky Madasari
PENGANGKATAN Megawati Soekarnoputri, presiden kelima RI dengan gelar profesor kehormatan dari Universitas Pertahanan, sebagai ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memunculkan pertanyaan: Mau dibawa ke mana riset dan inovasi Indonesia?
Semua orang tahu, Megawati tak punya latar belakang di bidang keilmuan, tak pernah melakukan penelitian, bahkan nyaris tak terdengar upayanya untuk memajukan riset dan inovasi melalui kebijakan. Bagaimana bisa Megawati menjadi ketua pengarah sebuah institusi yang merupakan peleburan dari empat lembaga; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan)?
Sudah sewajarnya muncul tudingan bahwa penunjukan ini politis semata. Politis artinya, posisi Megawati memang cara untuk mengamankan kepentingan politik sebagai bagian kontrol produksi pengetahuan dan ilmuwan-ilmuwan, khususnya yang berada di dalam naungan BRIN. Politis juga bisa diartikan bahwa penunjukan ini sebenarnya tak memiliki arti apa-apa selain sekadar untuk memberikan jabatan dan kehormatan pada ketua umum partai penguasa.
Tapi, kemudian muncul suara-suara pembelaan yang mengatakan bahwa penunjukan Megawati ini merupakan upaya untuk mengarahkan agar riset dan inovasi tetap berpedoman pada ideologi Pancasila. Kata para pembela penunjukan Megawati, riset dan inovasi harus digerakkan oleh ideologi. Tentu saja pernyataan ini langsung menjadi gunjingan dan bahan tertawaan.
Sebab publik tahu, ideologi dan Pancasila sudah terlalu sering menjadi lip service sekaligus senjata politik belaka. Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2018 yang juga menempatkan Megawati sebagai ketua dewan pengarah hingga sekarang pun masih terus dipertanyakan apa guna dan relevansinya. Alih-alih menunjukkan kontribusi, yang muncul ke publik adalah kontroversi.
Contohnya adalah ketika BPIP menggelar lomba karya tulis dengan tema yang seolah membenturkan Pancasila dengan Islam, antara lain soal hukum hormat bendera dalam Islam. Sebuah isu yang seharusnya sudah selesai dibahas dan tak lagi menjadi persoalan malah diusik lagi oleh BPIP. Walaupun kemudian lomba ini dibatalkan, tetap tak mengubah persepsi betapa dangkalnya pemahaman BPIP pada pemaknaan ideologi. Ditambah lagi fakta bahwa ideologi digunakan sebagai landasan untuk menyingkirkan 58 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan.
Penyalahgunaan kata ideologi telah membuat banyak orang menjadi alergi, apalagi ketika yang menggunakan kata itu adalah politisi. Lebih-lebih lagi ketika ideologi dilekatkan pada riset dan inovasi.
Ideologi sebagai Kunci
Dalam produksi pengetahuan sesungguhnya ideologi adalah kunci. Benar adanya bahwa ideologilah yang menggerakkan riset dan inovasi atau sebaliknya, riset dan inovasi digerakkan oleh ideologi. Sosiolog Jerman Karl Mannheim, yang merupakan peletak fondasi sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of knowledge), menunjukkan bagaimana cara berpikir seseorang tak akan bisa dilepaskan dari posisinya dan kelompoknya.
Melalui bukunya, Ideology and Utopia, Mannheim mendedah bagaimana ideologi menjadi landasan untuk mempertahankan tatanan masyarakat. Ideologi melekat dalam diri individu, entah itu disadari atau tidak disadari. Di tangan elite, ideologi digunakan secara sadar untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan.
Mannheim memberi alat bantu bagaimana memahami setiap fenomena dengan menelisik ideologi yang ada di baliknya. Pengetahuan, apa pun bentuknya, merupakan buah dari ideologi. Mengatakan bahwa riset dan inovasi seharusnya bebas dari ideologi hanyalah pandangan naif belaka. Masalahnya kemudian, ideologi yang seperti apa?
Bagi Indonesia, khususnya bagi pemerintah, ideologi itu adalah Pancasila. Keberadaan BPIP –sebuah badan yang ditujukan untuk pembinaan ideologi Pancasila– menegaskan bagaimana Pancasila adalah ideologi yang menggerakkan, memotivasi, memandu setiap langkah dan tujuan bangsa dan negara ini. Itu teorinya. Tentu berbeda jika kita lihat praktik dan kenyataannya.
Pancasila sebagai satu perangkat ideologi nyatanya telah diamputasi. Diambil bagian yang dirasa paling menguntungkan. Ideologi Pancasila yang jelas merangkum tujuan-tujuan terpenting berbangsa, mulai perlindungan hak-hak dasar manusia, keadilan sosial, hingga penegakan hak dalam demokrasi, sengaja dikerdilkan. BPIP yang tugasnya membina ideologi Pancasila saja bahkan gagal untuk menerjemahkan esensi ideologi Pancasila melalui program-program yang dijalankan. Apalagi ketika kita melihat realitas kesenjangan ekonomi dan kesenjangan pembangunan, penguasaan sumber daya di tangan segelintir orang, korupsi di berbagai sektor, kekerasan dan intimidasi oleh aparat negara, tidak adanya perlindungan bagi minoritas, tidak adanya penegakan hukum, hingga perampasan hak bersuara.
Ideologi Pancasila hanya digunakan sebagai semboyan bombastis untuk menghalau ideologi-ideologi lain tumbuh, bahkan ketika sesungguhnya ketakutan atas ideologi-ideologi lain itu hanyalah halusinasi belaka.
Jika pemahaman atas ideologi Pancasila masih terus sedangkal antiradikalisme atau anti-Taliban, posisi Megawati sebagai ketua Dewan Pengarah BRIN jelas hanya akan mengulang kesia-siaan BPIP. Harapan bahwa Megawati akan berperan untuk menjaga agar riset dan inovasi tetap berpedoman pada ideologi Pancasila akan kembali diterjemahkan dalam slogan kosong Saya Pancasila, Saya Indonesia, pemakaian baju adat, atau sebatas riset dan lomba karya tulis bertema potensi radikalisme.
BRIN sebagai tulang punggung riset dan inovasi sudah seharusnya bergerak dan digerakkan dengan ideologi; ideologi yang berbasis kemanusiaan dan keadilan sosial, ideologi yang membawa bangsa pada tujuan yang telah termuat dalam Pancasila. Jika nilai dan tujuan ini tak bisa dijadikan pedoman, tak usah main-main dengan ideologi. (*)
Terbit di Jawa Pos Menggerakkan Riset dengan Ideologi