Oleh: Okky Madasari
Gara-gara ditemukan buku pelajaran TK yang memuat soal jihad, bantai, dan bom, sekarang saya jadi semakin hati-hati saat membelikan buku cerita untuk anak saya. Jika sebelumnya hanya membaca judul dan sinopsis, sekarang saya harus membaca detail isinya sebelum membawanya pulang.
Tentu saja saya takut. Sebagai seorang penulis, saya sangat percaya pada kekuatan sebuah buku, sebuah cerita, dalam mempengaruhi jiwa dan pikiran pembacanya. Apalagi jika pembacanya itu anak kecil.
Saya tak bisa membayangkan apa yang akan ada dalam pikiran anak saya yang masih balita saat mendengar atau membaca sendiri cerita-cerita pembunuhan, pengeboman, perang dan kekerasan. Apalagi jika itu semua dibungkus dalam cerita perjuangan untuk mempertahankan keyakinan, ideologi, sesuatu yang dianggap benar. Tentu anak seusia itu akan percaya bahwa kekerasan, pembunuhan, dan perang merupakan hal yang wajar dan memang harus dilakukan.
Tapi kemudian saya jadi gamang. Berapa banyak buku yang harus saya baca lebih dulu sampai tuntas sebelum membawanya ke meja kasir. Masih mudah jika itu hanya buku-buku cerita bergambar dengan halaman yang tak terlalu tebal dan tulisan yang tak terlalu banyak. Bagaimana dengan buku-buku cerita tak bergambar, dengan tebal hingga ratusan halaman, yang tak bisa habis dibaca dalam sekali duduk saja.
Suatu hari saya membaca buku cerita anak karya Roald Dahl, The Witches. Buku ini sangat populer dan sudah dibaca jutaan anak di seluruh dunia. Saya yang baru berkesempatan membacanya di usia dewasa, terhenyak ketika mendapati cerita tentang seorang penyihir perempuan yang licik dan kejam yang suka mengganyang satu anak setiap minggu, lima puluh dua anak dalam setahun.
Buku itu penuh dengan adegan sadis, membuat pembacanya merinding ngeri, dan yang paling membuat saya gusar, buku ini penuh dengan aroma kebencian dan kemarahan pada perempuan. Walaupun pada akhirnya Si Penyihir Jahat bisa dikalahkan oleh tokoh utama yang baik hati sebagaimana wujud dari pelajaran moral tertinggi bahwa kejahatan akan selalu kalah oleh kebaikan, tetap saja tak bisa menghilangkan pengalaman kekerasan pada pembacanya.
Belakangan saya tahu buku Dahl yang terbit pertama kali tahun 1983 ini memang banyak dikritik karena dianggap terlalu seksis dan terlalu misoginis. Tapi toh buku itu tetap dibaca dan menjadi salah satu bacaan anak yang laris di seluruh dunia. Ia juga sudah terbit dalam edisi Bahasa Indonesia yang pastinya juga dibaca oleh banyak anak Indonesia.
Saya membaca ulang buku itu untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa buku itu pasti layak untuk dibaca anak saya. Tidak mungkin suatu buku menjadi bacaan banyak anak di seluruh dunia jika ia tak layak untuk anak-anak. Setidaknya pastilah ini buku yang menawarkan petualangan dan imajinasi yang luar biasa untuk anak-anak. Ternyata membaca ulang buku itu justru membuat saya semakin yakin buku itu tak cocok untuk anak saya di usianya sekarang.
Saya menyimpan buku itu, tak memberikannya pada anak saya hingga suatu hari nanti ia siap untuk membacanya. Saya tak peduli di luar sana jutaan anak-anak lainnya membaca dan menyukai buku ini. Saya memilih untuk mengikuti apa yang saya yakini tanpa harus melarang orangtua-orangtua lainnya memberikan buku itu untuk anaknya. Saya tak bisa menggugat penerbit untuk menarik buku itu dari peredaran, menggalang petisi untuk menolak buku itu, lebih-lebih meminta pemerintah untuk melarang terbitnya buku itu.
Kita masih ingat saat beberapa waktu lalu penerbit buku terjemahan Why Pubertas dipaksa untuk menarik buku itu dari peredaran. Buku itu sesungguhnya merupakan buku ensiklopedi, buku pengetahuan tentang serba-serbi perkembangan seksualitas untuk anak-anak remaja. Hanya karena di dalamnya ada juga gambar dan percakapan tentang hubungan sesama jenis dan transgender, buku itu dianggap menyebarkan LGBT ke anak-anak.
Buku itu ditarik dari pasar mengesampingkan kenyataan bahwa ada banyak remaja yang memang membutuhkan pengetahuan itu. Penarikan buku itu juga dilakukan tanpa melihat bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam memahami pengetahuan dan informasi tergantung pada usia dan latar belakang masing-masing. Buku itu dilarang beredar hanya karena ada sebagian orang yang gagah berteriak hingga membuat banyak orang ketakutan.
Menyensor dan menyortir pengetahuan untuk anak-anak kita mestinya adalah sebuah kegiatan intim yang tak selalu sama untuk setiap orangtua. Setiap rumah dan keluarga punya pengalaman dan kisah yang berbeda. Setiap orangtua punya nilai dan prioritas yang tak sama. Buku yang menurut saya berbahaya untuk anak saya bisa jadi dengan santai akan dibacakan oleh keluarga lain untuk anaknya karena mereka yakin anaknya bisa memahaminya.
Selama buku itu tak diwajibkan di sekolah, kita tak bisa mengandalkan tangan-tangan negara untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh diketahui oleh anak-anak kita. Kita tak bisa menggantungkan karakter dan pengetahuan anak-anak kita dalam cetakan yang ditentukan oleh negara dan orang-orang kebanyakan.
Biarkan orangtua menjadi pintu gerbang pengetahuan bagi anak-anaknya, memilah mana yang layak diberikan untuk anaknya dan mana yang tidak. Biarkan setiap rumah membangun sekat-sekatnya sendiri, mengikuti napas dan jiwa dari masing-masing rumah itu. Biarkan sensor itu menyisip pelan-pelan lewat bisikan tiap malam, pelukan erat, dan pengalaman-pengalaman yang berbeda di tiap-tiap keluarga.
Dan untuk itu, saya lebih memilih untuk membaca hingga tuntas setiap buku yang hendak saya berikan pada anak saya daripada harus menyerahkannya ke tangan orang lain, apalagi tangan negara. ***
*Dimuat di Jawa Pos