Oleh: Okky Madasari

Jam sembilan malam pertengahan Desember 2010, kapal Elizabeth II yang kami tumpangi mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Kecil Ambon. Dalam gelap lautan, di antara penumpang yang terlelap, imajinasi pun merayap. Seperti apakah kapal yang empat puluh tahun lalu melintasi perairan ini? Seperti apa wajah orang-orang yang saat itu diangkut paksa dari penjuru negeri? Apa yang ada dalam benak mereka tentang tempat yang mereka tuju? Tanah baru yang menyisipkan harapan atau justru tempat berakhirnya kehidupan?

Enam jam berlayar, kapal yang kami tumpangi tiba di Pelabuhan Namlea, Pulau Buru. Tak membuang waktu lama-lama, kami segera menyusuri jalanan menuju daerah yang dulu menjadi tempat pengasingan tapol dan napol. Jalanan aspal yang mulus tapi sunyi, dataran yang luas dengan sedikit bangunan, perbukitan yang berbatas dengan laut adalah wajah Buru yang kami jumpai.

Memasuki Kecamatan Waeapo yang merupakan daerah tujuan kami, pemandangan berganti dengan hamparan sawah padi. Daerah ini merupakan penghasil padi terbesar di Maluku, yang telah ditetapkan sebagai lumbung padi untuk wilayah Maluku. Tak terdengar lagi orang-orang yang berbicara dengan dialek Ambon di wilayah ini. Yang ada adalah Jawa Ngoko atau Bahasa Indonesia dengan logat Jawa yang kental. Mereka adalah bagian orang-orang yang dulu diangkut paksa dari Jawa ke pulau ini.

Di Desa Savanajaya, kami berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Melihat rumah yang sama sekali belum dipugar sejak diberikan oleh pemerintah, juga rumah-rumah yang sudah berganti rupa berkat keberhasilan anak-anaknya. Masih banyak bekas tapol dan napol yang sekarang tetap sehat di usia tua, dengan ingatan yang masih bertahan.

Koangit Iswani, salah satu bekas tapol yang sekarang usianya 75 tahun. Ketika dibawa ke Buru tahun 1969, dia adalah pegawai koperasi di Purworejo. Sempat ditahan dua tahun di Purworejo dan Semarang, sebelum akhirnya dibawa ke Buru. Semua yang dialami pada masa itu masih bisa diceritakan ulang tanpa kebingungan.

Tahun 1978 para tapol dan napol mendapat rehabilitasi dari Kejaksaan Agung. Mereka diberi pilihan, pulang ke Jawa dengan biaya pemerintah atau tetap tinggal di Pulau Buru, diberi rumah dan ladang.

”Saya memilih tetap di sini. Istri dan anak saya menyusul ke sini,” katanya. Segala kepedihan yang dialami Koangit, kini sedikit tertebus oleh keberhasilan anaknya menduduki jabatan anggota DPRD Provinsi Maluku.

Lebih dari 30 tahun tinggal di Buru, Koangit tak menyadari betapa pulau ini juga menyimpan keindahan. Ketika rezim berganti dan dia bisa bergerak lebih bebas, segala gairah sudah terlanjur dimakan usia. Maka ingatannya tentang Buru hanyalah sebatas daerah terpencil dengan hutan-hutan lebat mengelilingi.

Koangit  yang merupakan sesepuh, generasi pertama yang mendiami pedalaman Buru, sekarang justru mendengar indahnya Pantai Jikumerasa dari cucu-cucunya. Pantai luas dan landai, yang berbatas langsung dengan sungai dan bukit-bukit.

Koangit mungkin juga tak pernah menyangka, bagaimana Buru yang dulu begitu mengerikan kini terus bergerak membangun dan mempercantik dirinya. Terutama sejak daerah ini dimekarkan menjadi dua, Buru Utara dan Buru Selatan pada tahun 2007.

Perjalanan ke Pulau Buru adalah perjalanan menyusuri ingatan, sekaligus perjalanan memelihara harapan. Bahwa di balik segala kepedihan, negeri ini menyembunyikan begitu banyak keindahan.

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan