oleh: Okky Madasari

Apa gambaran Anda tentang tempat bulan madu? Paket lengkap wisata Bali  atau perjalanan ke berbagai negara, mendatangi tempat yang ditawarkan di brosur wisata?

Impian saya tentang bulan madu adalah pulau yang sepi dengan pantai yang indah. Tak ada belanja, tak ada musik dan keramaian. Tempat dimana saya dan suami hanya akan bermalas-malasan dan bermesraan dengan bebas. Di alam terbuka, kapan saja, karena pulau itu hanya milik saya dan dia.

Impian itu yang membawa kami berdua ke Gili Meno –salah satu pulau di Lombok - minggu terakhir Desember 2008. Kami memilih Meno setelah mempertimbangkan beberapa pulau impian lainnya. Seperti Togian di Teluk Tomini,  Wakatobi di perairan  Sulawesi Tenggara, hingga beberapa pulau di Kepulauan Riau.

Sama-sama indah, sama-sama sepi, semuanya menggoda.Akhirnya kami memilih Gili Meno dengan mempertimbangkan kemudahan akses. Karena ini perjalanan bulan madu, mood kami tidak bisa berkompromi dengan perjalanan darat atau laut yang terlalu jauh. Perjalanan ini harus benar-benar berbeda dari perjalanan kami sebelumnya yang selalu ala backpacker. Di perjalanan kali ini, kami ingin menghemat tenaga, memanjakan diri dengan biaya ngirit, untuk menikmati sepenuhnya pulau impian bulan madu kami.

Hari itu kami tiba di Bandara Selaparang, Mataram, jam 22.00. Lion Air -maskapai penerbangan yang kami gunakan - hanya terbang sekali sehari dari Jakarta ke Mataram, jam 19.00. Selain Lion Air, hanya Garuda yang melayani rute Jakarta-Mataram tanpa transit di Surabaya atau Bali.

Keterbatasan pilihan membuat kami terpaksa berangkat malam hari meski tanpa berbekal informasi yang cukup tentang Gili Meno. Internet tidak menyediakan banyak informasi tentang Meno. Lombok seringkali diidentikkan dengan Senggigi dan Gili Trawangan.

Hanya ada beberapa profil hotel Gili Meno di situs pariwisata Lombok. Itupun tanpa ada layanan pemesanan online. Nomor telepon yang tercantum juga susah dihubungi. Pulau itu memang  tidak memiliki jaringan telepon dan miskin koneksi internet. Dengan kenekatan, kami tiba di Lombok tanpa memesan kamar dan mobil jemputan, dua hari setelah pesta pernikahan.

Hanya informasi seorang teman beberapa jam sebelum pesawat take off yang menjadi pegangan kami. Dia meyakinkan kami pasti mendapat tempat menginap di Meno karena hanya sedikit wisatawan yang datang ke pulau itu. Kami makin optimis akan mendapatkan tempat menginap yang nyaman, saat mendengar omongan sopir taksi yang kami jumpai di bandara.

"Jarang saya mengantar tamu lokal menginap di Meno," kata Razak, sopir taksi bandara yang mengantar kami ke Bangsal, tempat penyeberangan dari Lombok ke Gili Meno. Kami memilih menggunakan taksi layanan bandara untuk mengantar ke tempat penyeberangan, dengan tarif Rp150 ribu.

"Biasanya tamu lokal menginap di Senggigi, lalu ikut tour sehari ke gili, itupun biasanya Trawangan," lanjut Razak. Omongan sopir taksi itu semakin meyakinkan kami inilah tempat impian kami.

Jarak bandara ke Bangsal sejauh 80 kilometer ditempuh dalam waktu satu setengah jam.  Dalam gelap, perjalanan Mataram-Bangsal yang membelah Pulau Lombok dari bagian tengah ke ujung utara tak meninggalkan gambaran visual apapun. Kami hanya bisa merasakan jalanan yang naik turun dan berkelok. Kata Razak, kami sedang melewati perbukitan dengan hutan di kanan kiri jalan.

Di Bangsal, taksi berhenti di depan rumah penduduk yang berhadapan dengan bibir pantai. Karena sudah malam, kami harus menyewa perahu untuk ke Meno. Harga sewanya Rp300 ribu, 30 kali lipat lebih mahal dibanding menggunakan perahu umum yang tarifnya hanya Rp8 ribu tiap orang. Perahu umum hanya menyeberang saat hari masih terang.

Kami punya pilihan, menginap di rumah penduduk di Bangsal untuk menyeberang esok pagi, menginap di Sengigi dengan menambah ongkos taksi Rp80 ribu, atau menyeberang malam itu juga tanpa menawar harga lagi.

Dengan mempertimbangkan untung rugi, membandingkan uang yang akan dikeluarkan, kami putuskan langsung menyeberang. Dalam gelap, selama 45 menit kami melintasi perairan antara Lombok dan tiga Gili – Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Tak terlihat apapun, selain kerlap-kerlip lampu di Trawangan.

Inikah Surga?

Sinar lembut matahari menembus kaca jendela kamar yang kami tempati. Inilah pagi pertama kami di Meno. Cottage yang kami sewa memiliki jendela kaca lebar persis di samping tempat tidur. Dari tempat tidur, saat membuka mata pertama kali, kami langsung bisa melihat hamparan pasir putih dan pantai berbatas langit yang serba biru.

“Sayang, kita terdampar di pulau,” kata suami saya setengah menggoda.

Ya..ya..ya, kami memang seperti terdampar. Seolah angin telah membawa kami begitu saja ke suatu tempat antah berantah yang begitu indah.  Ketika tiba di pulau ini malam hari, sedikitpun tak bisa kami membayangkan keindahan macam apa yang terhampar tepat di depan mata.  Dalam gelap itu pula, kami buru-buru menyewa kamar, tanpa terlebih dulu melihat kondisinya apalagi membandingkan dengan penginapan yang lain.

Ternyata, yang kami dapatkan adalah kesempurnaan. Meski harganya cukup murah, Rp300 ribu per malam, cottage yang kami tempati memiliki fasilitas kelas hotel berbintang. Satu cottage terdiri dari teras, ruang duduk di dalam, tempat tidur kecil, tempat tidur utama, dan kamar mandi. Kami memilih kamar AC tanpa TV. Lagipula siapa yang hendak menonton TV di tempat yang begitu indah ini?

Di depan cottage kami, terhampar pasir putih lembut berbatasan dengan tiga warna air : biru muda, biru kehijauan, dan biru tua. Di cakrwala- laut dan langit dibatasi dengan dua gunung. Jam 5 pagi kami bisa melihat matahari muncul perlahan di antara dua gunung itu. Mengingatkan pada gambar pemandangan yang sering kami buat saat kanak-kanak.

Penginapan di Gili Meno berkumpul di satu sisi pulau, tak jauh dari tempat penyeberangan. Kebanyakan model cottage, dengan harga kamar yang dilengkapi AC Rp300 ribu hingga Rp750 ribu tiap malam. Kamar tanpa AC bisa didapatkan dengan harga Rp75 ribu hingga Rp300. Listrik belum masuk ke pulau ini. Penerangan dan peralatan elektronik dinyalakan dengan genset.

Di antara penginapan-penginapan itu tersebar bangunan-bangunan yang berrfungsi sebagai café. Sederhana saja, hanya berupa kursi malas dan gazebo dari bambu yang langsung menghadap ke pantai.

Omongan Razak, sopir taksi yang mengantar kami ke Bangsal, memang benar. Wisatawan yang berlibur di Meno kebanyakan wisatawan asing. Biasanya mereka menginap dalam waktu yang lama 2 minggu, sebulan, hingga tiga bulan.

Mungkin ini tempat yang mereka cari. Pantai indah dengan sinar matahari melimpah. Tempat dimana waktu seolah berhenti. Mereka mengisi hari dengan berenang, tiduran di kursi malas sambil membaca buku, atau latihan yoga. Memesan pancake dan juice nanas, menikmati makanan sambil merebahkan diri di gazebo juga menjadi ritual yang menyenangkan.

Hmm..kenapa justru orang-orang dari negeri nun jauh yang menyadari keindahan ini?

Land for Sale

Kami yang ingin mendapatkan tempat yang benar-benar privat sengaja berjalan menuju sisi pulau yang lain, bagian yang tidak ada hotel dan café. Pulau ini cukup luas untuk memberikan kesempatan wisatawan yang ingin menikmati kesendirian tanpa harus berebut lahan. Dan kami mewujudkan mimpi lain bulan madu kami. Bercinta di alam terbuka, disaksikan keindahan.

Banyak teman tidak percaya ketika saya ceritakan pengalaman ini. Apalagi bagi mereka yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Bagaimana mungkin ada tempat yang begitu sepi, tanpa ada seorangpun di siang hari, sehingga kami bisa mendapatkan kebebasan sepenuhnya.

Tapi memang seperti itulah Gili Meno. Masih cukup panjang garis pantai yang bersih dari hotel dan café. Hanya berjalan kaki lima belas menit dari pusat keramaian, kami sudah mendapatkannya.

Pantai-pantai sepi ini mengingatkan kami pada Lombok Times, koran gratis yang kami dapatkan di Bandara Selaparang. Lombok Times adalah koran gratisan Bahasa Inggris yang memuat banyak informasi untuk wisatawan. Dengan memuat iklan penjualan lahan di koran itu, jelas sekali target pasar yang hendak dibidik : wisatawan asing.

Koran itu menampilkan banyak iklan penjualan lahan pinggir pantai di tiga gili dan pantai-pantai di Lombok. Lahan-lahan itu ditawarkan dengan harga USD1250 untuk tiap 100 meter persegi. Dengan kurs  1 Dollar setara Rp10 ribu, harganya mencapai Rp12,5 juta untuk 100 meter persegi.

Bayangkan jika semua lahan kosong itu terbeli. Pulau akan penuh dengan hotel, bangunan, rumah-rumah baru.Hal seperti ini telah terjadi di Gili Trawangan. Pulau itu telah menjadi kampung turis,  lengkap dengan segala fasilitas dan hiruk pikuknya. Kalau Meno menjadi seperti Trawangan,  lalu kemana lagi impian kami tentang kebebasan dapat diwujudkan? ***

 

Desember 2008

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan