Oleh: OKKY MADASARI
Dalam Pidato Kebudayaan tahun 1977, Mochtar Lubis menyebut salah satu ciri manusia Indonesia adalah artistik. Tumbuh dekat dengan alam membuat manusia Indonesia memiliki daya kesenian yang menonjol dibanding bidang-bidang lainnya.
—
HAL serupa diungkapkan intelektual asal Malaysia, Syed Naquib Al-Attas. Menurut Naquib, karakter asli bangsa di kepulauan Nusantara adalah kepandaian dalam ekspresi seni. Sedangkan olah pikir ilmiah baru masuk ke Nusantara setelah bangsa-bangsa asing datang ke kepulauan ini. Dimulai dari pengaruh Islam pada abad ke-15 dilanjutkan dengan kedatangan bangsa Eropa pada masa-masa selanjutnya.
Manusia Nusantara belajar tentang alam dan masalah kehidupan melalui karya sastra dan karya seni, bukan melalui ilmu ilmiah. Dari dongeng yang disampaikan turun-temurun, dari tembang-tembang macapat, sejarah dicatat, dan nilai-nilai kehidupan ditanamkan. Dalam sejarah kesusastraan klasik Nusantara, bentuk-bentuk tulisan yang pertama muncul selalu berupa syair, sajak, atau dalam bahasa Jawa disebut geguritan.
Ketika kita memahami bahwa sejarah selalu berulang hingga membentuk pola yang bisa dipelajari, sesungguhnya semua hasil olah rasa manusia Nusantara tersebut adalah catatan atas berbagai tantangan yang dihadapi sepanjang sejarah dan apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapinya.
Tapi, kita selalu lupa dan akibatnya selalu gagap menghadapi setiap peristiwa seolah itu adalah hal yang baru kali pertama terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Pandemi ini contohnya. Kita kelimpungan, kita sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan kita terus mengulang-ulang kebodohan hingga membuat virus semakin tersebar dan kita semua harus menanggung akibat berkepanjangan. Kisah tentang wabah telah muncul dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-18. Dikisahkan bahwa setelah Amangkurat I wafat, banyak orang sakit di Mataram. Udara terasa kurang enak, hujan tak turun, suhu bumi terasa panas hingga seperti sedang terbakar. Banyak orang kena sakit borok, kudis, patek, bubul, dan berbagai penyakit sejenis. Orang yang sakit di pagi hari meninggal di sore hari.
Kata pagebluk yang berarti wabah atau dalam skala besar di kehidupan modern disebut pandemi telah menjadi bagian dari pengetahuan dan pelajaran kehidupan. Maka, tak usah heran ketika minggu-minggu pertama pandemi covid19 di Indonesia beredar informasi viral mengatasnamakan Sri Sultan Hamengkubuwono X menyerukan agar rakyatnya memasak lodeh tujuh warna, yang terdiri dari kluwih, cang gleyor, terong, kulit mlinjo, waluh, godong so, tempe.
Bagi yang melihat hanya di permukaan, anjuran seperti ini akan sekadar dimaknai secara harfiah. Maka seketika mereka yang patuh akan berbelanja ke pasar, membeli berbagai bahan yang dibutuhkan, memasak lodeh sesuai yang dianjurkan, lalu bismillah simsalabim wabah akan musnah dan semua mendapat keselamatan. Padahal, sebagaimana layaknya sebuah syair, perintah sayur lodeh dari Raja Mataram tersebut harus dimaknai lebih dari sekadar apa yang tertulis.
Pagebluk hanya satu contoh saja dari bencana yang telah dan akan dihadapi manusia Nusantara. Berbagai bentuk bencana alam, mulai dari gempa bumi, tsunami, puting beliung, tanah longsor, banjir, gunung meletus, semua telah terjadi sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu dan semuanya telah dituturkan dari generasi ke generasi, dicatat dalam ingatan, didendangkan dalam aneka tembang, diabadikan dalam berbagai bentuk tulisan. Kisah-kisah tentang bencana bukan sekadar cerita tentang kematian manusia, tapi juga catatan atas tanda-tanda alam dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah kematian.
Tapi kita selalu menganggap segala pengetahuan yang tersaji dalam cerita, dongeng, dan kepercayaan lokal adalah omong kosong belaka. Dominasi agama dan klaim atas kebenaran tunggal juga kian memojokkan pengetahuan lokal. Atas nama musyrik dan kafir, semua ditendang dan disingkirkan, termasuk sesajen yang sudah sejak dulu kala menjadi bagian dari masyarakat kita.
Modernisme yang menempatkan segala yang berdasar rasionalisme Barat lebih unggul, membuat kita kian asing pada pengetahuan yang telah berakar lama di kepulauan Nusantara, jauh sebelum bangsa Eropa menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kepulauan ini. Apalagi ketika produksi pengetahuan senantiasa berkelindan dengan kekuasaan politik dan ekonomi, pengetahuan lokal kian tersisih, sengaja dipinggirkan dan disenyapkan dengan alasan bahwa ia tak memenuhi kriteria atau tak memenuhi ukuran untuk bisa dianggap sebagai pengetahuan yang berdasarkan rasionalitas dan logika.
Pertanyaannya, rasionalitas dan logika siapa? Siapa yang menentukan ukuran rasionalitas dan logika itu? Siapa bilang pengetahuan lokal Nusantara tak berdasar rasionalitas dan logika? Jangan-jangan ketiadaan logika dan rasionalitas itu dikarenakan pemahaman yang salah atas pengetahuan yang ada.
Contohnya ada dalam perintah membuat lodeh tujuh warna yang diartikan secara harfiah dengan memasak lodeh tanpa upaya memahami makna yang ada di baliknya. Akibatnya, anjuran yang sesungguhnya sangat sejalan dengan logika dan rasionalitas ilmu pengetahuan modern itu hanya dianggap sebagai klenik belaka. Contoh lain adalah kepercayaan agar nelayan tak melaut saat bulan purnama. Pemaknaan yang ngawur hanya akan menempatkan bulan sebagai simbol dari raksasa penjaga lautan. Padahal, penjelasan rasionalnya adalah saat bulan purnama, gelombang laut akan pasang akibat tarikan kuat grativasi bulan.
Pandemi dan gunung meletus menjadi pengingat bagi kita untuk semakin menggali dan memproduksi pengetahuan yang berpijak pada tanah sendiri, agar kita tak kian terasing di tanah sendiri. ***
Terbit di Jawa Pos Mungkin Kita Kurang Sesajen