oleh Okky Madasari

Dalam visi-misinya, ketiga pasangan capres-cawapres mengakui pentingnya pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, akses yang luas dan terjangkau terhadap pendidikan yang bermutu sampai perguruan tinggi menjadi kunci. Mungkinkah kuliah bisa gratis?

DUA puluh satu tahun lalu, dari sebuah desa di Magetan, saya merantau ke Jogjakarta untuk kuliah di universitas negeri yang menjadi impian banyak orang di negeri ini. Bahkan hingga hari ini. Kala itu kuliah di universitas negeri menjadi impian, bukan hanya karena merupakan wujud pencapaian, tapi karena biayanya jauh lebih murah daripada kuliah di universitas swasta.

Tapi, itu dulu. Kini biaya kuliah di universitas negeri bisa sama mahal atau bahkan lebih mahal dibanding perguruan tinggi swasta. Belum lagi ketika mahasiswa datang dari luar kota sehingga membutuhkan biaya kos dan biaya hidup selain biaya kuliah yang semakin mahal. Jelas, kuliah bukan untuk semua orang.

Bagi banyak orang, menjadi sarjana adalah sebuah impian yang tak mungkin tergapai. Bagi banyak keluarga, bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi adalah sebuah mukjizat atau sebuah pengorbanan darah dan air mata dalam makna yang sesungguhnya. Banyak orang tua yang harus menjual sawah atau berutang hanya demi mengantarkan anaknya menjadi sarjana.

Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di negeri ini. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah. Hanya 6,4 persen dari jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Sebanyak 80 persen dari populasi di Indonesia berpendidikan SMP. Bahkan amanat wajib belajar 12 tahun pun belum bisa sepenuhnya diwujudkan.

Data ini masih ada lanjutannya: Dari total pengangguran yang ada di Indonesia, sebanyak 76 persen adalah lulusan SD/SMP. Artinya, ada korelasi langsung antara tingkat pendidikan dan kesempatan untuk mendapat pekerjaan. Ketika lapangan kerja hanya terbuka untuk mereka yang menempuh pendidikan tinggi, sementara hanya kurang dari 10 persen jumlah penduduk yang punya kesempatan untuk kuliah, semakin banyak generasi produktif yang akan terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan.

Salah Kebijakan

Ada semacam mitos dalam dunia pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi memang harus mahal karena biaya operasional perguruan tinggi juga tidak murah. Mitos ini terus berkembang karena terpengaruh oleh sistem di Amerika Serikat yang memang menerapkan liberalisasi sistem pendidikan.

Sistem student loan alias utang mahasiswa untuk biaya kuliah menjadi sebuah hal yang wajar. Utang itu akan dibayar setelah si mahasiswa lulus kuliah dan mulai bekerja. Hal yang sekilas tampak mulia ini sebenarnya adalah sebuah jebakan. Para sarjana baru yang mulai meniti karier harus menanggung utang. Beban utang harus bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan lain, mulai biaya hidup, biaya anak sekolah, cicilan rumah, belum lagi ketika orang tersebut adalah bagian dari generasi sandwich yang harus membiayai orang tuanya. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan tinggi ternyata tidak menjadi elevator yang mengangkat kelas ekonomi seseorang.

Nyatanya, dalam penelitian-penelitian mutakhir yang mencoba menelisik kenapa biaya pendidikan tinggi harus sedemikian mahal, terungkap bahwa sesungguhnya biaya kuliah bisa gratis.

Robert Samuels dalam bukunya, Why Public Higher Education Should Be Free (2013), mengurai bagaimana biaya yang dibebankan pada seorang mahasiswa itu digunakan untuk menopang semua biaya, termasuk biaya administrasi dan bahkan kebutuhan riset.

Kebijakan serupa diterapkan di perguruan tinggi di Indonesia sejak adanya kebijakan perguruan tinggi badan hukum (PTNBH). Dengan status PTNBH, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan serta mencari pendapatan untuk membiayai pengeluaran mereka. Biaya pendidikan mahasiswa ditentukan secara independen oleh universitas dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Biaya inilah yang saat ini kita kenal dengan nama uang kuliah tunggal (UKT). Kebijakan inilah yang menjadi alasan mengapa biaya pendidikan tinggi publik di Indonesia menjadi mahal serta terus naik tiap tahun.

Politik Anggaran

Lantas, apakah mungkin kuliah gratis di kampus negeri? Sangat mungkin dan sangat wajar. 

Anggaran yang dialokasikan dari APBN untuk bidang pendidikan di 2023 adalah sebesar 612,2 triliun rupiah, sedangkan untuk 2024 telah dianggarkan sebesar 680,8 triliun rupiah. Anggaran sebesar ini seharusnya cukup untuk menanggung suatu pendidikan gratis yang bermutu di Indonesia jika saja ia dikelola secara baik, tepat, dan benar tanpa korupsi.

Dengan asumsi bahwa gedung sudah tersedia, biaya terbesar bidang pendidikan adalah gaji guru dan dosen di sekolah-sekolah dan universitas negeri. Total guru dan dosen di sektor publik adalah sekitar 2 juta orang. Jika untuk menjaga kualitas dan kehidupan yang layak, mereka digaji rata-rata 10 juta rupiah per bulan, total biaya gaji 2 juta dosen dan guru selama setahun adalah 240 triliun rupiah.

Terdapat sekitar 200.000 sekolah negeri (SD sampai SMA) di Indonesia dengan jumlah siswa sekitar 25 juta orang. Jika biaya operasional sekolah tersebut rata-rata 2 juta rupiah per siswa per tahun, dalam setahun biaya operasional sekolah di Indonesia adalah 50 triliun rupiah. Diumpamakan biaya maintenance, biaya pelatihan guru, dan biaya lain-lain untuk seluruh sekolah negeri Indonesia adalah juga 50 triliun rupiah, total semua dana penyelenggaraan untuk pendidikan dasar dan menengah adalah 340 triliun rupiah.

Dengan demikian, terdapat sisa sekitar 300 triliun rupiah lagi yang dapat digunakan untuk pendidikan tinggi dan riset. Ini adalah jumlah yang fantastis yang dapat menutupi semua biaya kuliah sekitar 3,4 juta mahasiswa yang sekarang kuliah di 125 PTN di seluruh Indonesia, membangun laboratorium sains canggih tiap tahun, serta membiayai riset-riset perguruan tinggi yang berkualitas. Jika 100 triliun rupiah saja yang dialokasikan untuk riset, Indonesia menjadi negara dengan dana riset tertinggi di dunia atau hampir 1 persen dari PDB-nya.

Jadi, dengan anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN tersebut pendidikan tinggi yang gratis disertai kualitas yang baik bisa dilaksanakan Indonesia dengan catatan adanya kemauan politik, tata kelola keuangan yang baik, serta bebas korupsi.

Apalagi jika presiden mendatang mengerti bahwa pembangunan sumber daya manusia adalah kunci kemajuan Indonesia, tak ada alasan untuk tak mewujudkan pendidikan tinggi gratis untuk semua. ***

Terbit di Mungkinkah Pendidikan Tinggi Gratis?

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan