Pidato Kebudayaan Okky Madasari di UGM, 19 November 2023
Dua puluh satu tahun lalu, dari sebuah desa di kota kecil di kaki Gunung Lawu Magetan, saya merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di universitas negeri yang menjadi impian banyak orang di negeri ini. Bahkan hingga hari ini. Kala itu, kuliah di universitas negeri menjadi impian - bukan hanya karena merupakan wujud pencapaian - tapi karena biayanya jauh lebih murah daripada kuliah di universitas swasta.
SPP saya satu semester adalah 500 ribu Rupiah. Itu saja, sudah cukup menjadi beban untuk kebanyakan mahasiswa. Tapi kemudian, ada kebijakan tambahan Biaya Operasional Pendidikan - BOP - sebesar 500 ribu Rupiah tiap semester - yang artinya setiap mahasiswa harus membayar total 1 juta Rupiah tiap semester, kami tak bisa terima.
Tahun 2002, mahasiswa angkatan saya, bergerak untuk melawan kebijakan BOP. Kami demo ke Balairung, selama beberapa hari kami menduduki Balairung untuk menyampaikan tuntutan kami. Syahdan, tuntutan kami dipenuhi. BOP ditangguhkan - dihapuskan. Setidaknya hingga angkatan kami lulus, 4-5 tahun kemudian - tidak ada BOP, tidak ada biaya tambahan selain SPP 500 ribu yang kami bayarkan setiap semester.
Satu periode kecil perjuangan penghapusan BOP itu meyakinkan saya atas 2 hal.
Pertama, tak ada kebijakan apa pun yang tak bisa diubah. Kita adalah kunci dalam mendorong perubahan itu.
Kedua, penghapusan biaya yang dibebankan pada mahasiswa - pada siswa - sangat dimungkinkan. Penghapusan biaya itu nyatanya tidak serta merta berdampak pada kualitas pendidikan.
Tapi itu dulu. Kemenangan kecil kami dalam memperjuangkan BOP ternyata hanya bertahan singkat.
Kini, biaya kuliah di universitas negeri bisa sama mahal atau bahkan lebih mahal dibanding perguruan tinggi swasta. Belum lagi ketika mahasiswa datang dari luar kota, sehingga membutuhkan biaya kos dan biaya hidup selain biaya kuliah yang semakin mahal. Jelas, kuliah bukan untuk semua orang.
Bagi banyak orang, menjadi sarjana adalah sebuah impian yang tak mungkin tergapai. Bagi banyak keluarga, bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi adalah sebuah mukjizat atau sebuah pengorbanan darah dan air mata dalam makna yang sesungguhnya. Banyak orang tua yang harus menjual sawah atau berutang hanya demi mengantarkan anaknya menjadi sarjana.
Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di negeri ini. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah. Hanya 6,4% dari jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Sebanyak 80% dari populasi di Indonesia berpendidikan SMP. Bahkan amanat wajib belajar 12 tahun pun belum bisa sepenuhnya diwujudkan.
Data ini masih ada lanjutannya: Dari total pengangguran yang ada di Indonesia, sebanyak 76% adalah lulusan SD/SMP. Artinya, ada korelasi langsung antara tingkat pendidikan dan kesempatan untuk mendapat pekerjaan. Ketika lapangan kerja hanya terbuka untuk mereka yang menempuh pendidikan tinggi, sementara hanya kurang dari 10% jumlah penduduk yang punya kesempatan untuk kuliah, maka semakin banyak generasi produktif yang akan terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan.
Jangan salah artikan fakta ini sebagai bentuk pemujaan terhadap gelar sarjana. Gelar sarjana jelas tidak menjamin kemampuan, keterampilan dan intelektualitas seseorang. Nyatanya banyak juga sarjana yang tak mampu memahami persoalan-persoalan mendasar, yang tak punya kemampuan berpikir logis, analitis, yang tak bisa berpikir kritis.
Namun, ketika sistem yang berlaku hari ini, mengharuskan seseorang memiliki gelar sarjana untuk melamar pekerjaan, maka - mau tidak mau - suka tidak suka - gelar sarjana telah menjadi sebuah kebutuhan. Tanpa gelar sarjana, seseorang kehilangan akses, kehilangan kesempatan.
Di sisi lain, kita melihat sebuah ironi besar di negeri ini, bisa dikatakan kearifan lokal khas Indonesia, pejabat-pejabat berlomba untuk punya gelar Doktor. Baik itu dengan mengambil studi S3 di universitas negeri, universitas swasta, universitas yang dipertanyakan akreditasinya, atau bahkan yang paling gampang dan dianggap paling mulia… berebut mendapat gelar Doktor Honoris Causa atau bahkan Profesor Kehormatan.
Gelar Doktor yang sesungguhnya menandakan bahwa seseorang memiliki kelayakan sebagai seorang peneliti - dan hanya dibutuhkan untuk kerja-kerja akademis - dianggap sebagai pengesahan atas derajat dan kemuliaan mereka. Dari Bupati, Walikota, Menteri, anggota DPR, pejabat publik… semuanya dengan bangga menuliskan nama lengkap bergelar Doktor. Dari total 0,02% penduduk yang bergelar S3, banyak yang justru punya kesempatan mengambil Doktor tanpa memberi dampak pada perkembangan riset dan pengetahuan.
Kita pura-pura maklum, dipaksa untuk menelan kembali pertanyaan kita: Apakah iya, bapak ibu pejabat ini sempat meneliti? Sempat menuliskan penelitiannya? Memang mau dipakai apa sih gelar Doktornya itu.
Sementara itu, peneliti dan akademisi yang justru benar-benar membutuhkan kesempatan studi S3 - masih harus bertarung dengan kesulitan hidup dan tuntutan profesi. Bagi mereka ini, gelar Doktor adalah perkara kelangsungan hidup. Untuk menjadi pengajar di kampus, sekarang harus bergelar Doktor. Untuk mendapat pekerjaan sebagai peneliti, harus bergelar Doktor.
Tuntutan untuk studi berhadapan dengan kenyataan gaji yang rendah dan seabrek pekerjaan rumah.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa gaji dosen di Indonesia itu sangat rendah. Salah satu yang paling rendah di dunia. 43% dosen menerima pendapatan di bawah 3 juta. ? 3-5 juta. 1\3 di atas lima juta . Seorang dosen harus berakobrat untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk tetap bisa mengajar, melakukan penelitian dan publikasi demi memenuhi kredit kenaikan pangkat atau sekadar demi mendapatkan tunjangan - dan jangan lupa, dosen juga masih harus menjalankan yang namanya pengabdian masyarakat.
Ketika sekarang ada kesadaran di kalangan dosen muda untuk bangkit bersatu memperjuangkan nasib — eeh masih juga ada yang nyinyir. Katanya; dosen itu bukan buruh, hanya buruh yang turun ke jalan menuntut kenaikan upah. Ironisnya suara seperti ini juga datang dari sesama dosen, dari profesor-profesor senior.
Ketika dosen-dosen tak bisa memperjuangkan kesejahteraannya sendiri, maka sudah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi: Bukan hanya sekadar pertaruhan atas kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, tapi juga fenomena di mana dosen-dosen mengantri untuk bisa masuk ke gerbong kekuasaan. Jadi stafsus, staf ahli, komisaris BUMN… syukur-syukur bisa dapat jabatan Menteri. Ya begitulah kenyataan kita hari ini.
Di sinilah kemudian pertanyaan besar kita. Ketika gaji dosen tetap kecil dan biaya kuliah semakin mahal, ke mana larinya uang-uang itu?
Ada semacam mitos dalam dunia pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi memang harus mahal karena biaya operasional perguruan tinggi juga tidak murah. Mitos ini terus berkembang karena terpengaruh oleh sistem di Amerika Serikat yang memang menerapkan liberalisasi sistem pendidikan.
Sistem student loan alias utang mahasiswa untuk biaya kuliah menjadi sebuah hal yang wajar. Utang itu akan dibayar setelah si mahasiswa lulus kuliah dan mulai bekerja. Hal yang sekilas tampak mulia ini, sebenarnya adalah sebuah jebakan. Para sarjana baru yang mulai meniti karier harus menanggung utang. Beban utang harus bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan lain, mulai dari biaya hidup, biaya anak sekolah, cicilan rumah, belum lagi ketika orang tersebut adalah bagian dari generasi sandwich yang harus membiayai orangtuanya. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan tinggi ternyata tidak menjadi elevator yang mengangkat kelas ekonomi seseorang.
Nyatanya, dalam penelitian-penelitian mutakhir yang mencoba menelisik kenapa biaya pendidikan tinggi harus sedemikian mahal, terungkap bahwa sesungguhnya biaya kuliah bisa gratis.
Robert Samuels dalam bukunya Why Public Higher Education Should Be Free (2013) mengurai bagaimana biaya yang dibebankan pada seorang mahasiswa itu digunakan untuk menopang semua biaya, termasuk biaya administrasi dan bahkan kebutuhan riset.
Kebijakan serupa diterapkan di perguruan tinggi di Indonesia sejak adanya kebijakan Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH). Dengan status PTN BH, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan serta mencari pendapatan untuk membiayai pengeluaran mereka. Biaya pendidikan mahasiswa ditentukan secara independen oleh universitas dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Biaya inilah yang saat ini kita kenal dengan nama Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kebijakan inilah yang menjadi alasan mengapa biaya pendidikan tinggi publik di Indonesia menjadi mahal serta terus naik tiap tahunnya.
Apa dampaknya jika biaya kuliah mahal dan terus naik dari tahun ke tahun? Kita akan berada pada situasi yang saya definisikan sebagai Imposter Nation. Bangsa yang imposter. Bangsa yang beberapa cirinya:
-
Kehilangan daya kritis. Ketika mahasiswa, generasi muda terbebani bahkan dihantui oleh bayaran kuliah yang mahal, pelan-pelan mereka akan kehilangan keberanian. Keberanian untuk mengkritik, keberanian untuk mempertanyakan sesuatu. Mahasiswa juga kehilangan independensi.
-
Kontrol kekuasaan. Biaya kuliah menjadi sebuah alat kontrol dari otoritas. Baik itu otoritas kampus, negara, maupun kelompok-kelompok lain. Ketika mahasiswa terdesak tak bisa membayar kuliah dan terancam dikeluarkan, akan ada kemungkinan bantuan-bantuan bersyarat datang dari pihak-pihak tertentu.
-
Pragmatis. Biaya kuliah yang tinggi memaksa siapa pun untuk tak berlama-lama di kampus. Buruan lulus, buruan kerja. Jangan demo. Nggak usah ikut-ikutan organisasi macem-macem…
-
Putusnya tradisi intelektualisme. Intelektualisme tak ada hubungannya dengan gelar kesarjanaan. Kita bisa saja surplus sarjana, tapi miskin intelektual. Tradisi intelektualisme adalah bagaimana kita menggunakan pikiran dan pengetahuan kita dalam membangun masyarakat.